Jakarta, jaringansantri.com – Salah satu tokoh pionir kebangkitan pemikiran arab modern, namanya Syaikh Rifa’ah Badawi Rafi al- Thahhtawi. Dalam sejarah pemikiran Islam modern pasti mengenal nama ini. Ia menggelorakan kebangkitan pemikiran Arab Islam modern dengan berkaca pada kebangkitan Eropa masa Renaisans.
Rifa’ah Thahthawi berkata dalam proyek nahdlahnya (kebangkitan), “Kita akan mulai proyek kebangkitan ini dengan menyambungkan terhadap akar tradisi kita terhadap pondasi pemikiran kita berupa warisan kitab-kitab yang telah dikarang oleh para cendikiawan ulama arab klasik.”
Hal ini disampaikan oleh Ah. Ginanjar Sya’ban dalam Kajian Islam Nusantara Center di Rumah Dinas Menteri Agama, Jakarta. Sabtu, (7/4). Proyek yang dilakukan Thahthawi, kata Ginanjar, adalah mentahqiq kitab-kitab Umahatul Qutub. “Kitab-kitab ulama Islam itu, dikaji secara filologis, dicetak ulang dan ditanamkan kesadaran bahwasanya inilah pondasi peradaban kita, inilah akar kebudayaan kita dan inilah identitas kita. Sehingga proyek kebangkitannya punya akar kuat,” tandasnya.
Direktur INC ini mengatakan “di Indonesia ini saya sangat optimis, saat ini proyek kebangkitan pemikiran dan peradaban Islam di Nusantara itu akan menemukan momentumnya ketika ia mulai menyandarkan diri, mengembalikan terhadap akar tradisinya yang itu bersumber dari manuskrip-manuskrip.”
Apalagi jika dilihat perkembangan kajian manuskrip ada perkembangan. Dosen Filologi di Unpad ini mengatakan “Sekarang ada kabar menggembirakan dari kajian kemanuskripan dan filologi. Karena dari tahun ke tahun minat kepedulian terhadap manuskrip sangat signifikan. Mulai ada banyak generasi muda yang perhatian terhadap khazanah manuskrip , setelah sebelumnya orang itu asing.”
“Sebelumnya banyak orang menganggap manuskrip itu seperti jimat. Tetapi mulia kesini banyak orang mulai sadar kalau ternyata manuskrip itu selain sebagai sumber sejarah tertulis a+1 juga menjadi inspirasi, pijakan, identitas sumber ilmu pengetahuan yang telah dirancang oleh para pendahulu kita,” imbuhnya.
Bentuk Manuskrip Nusantara dan Aksaranya
Nusantara ini unik, karena peradaban itu berada sulam menyulam, sambung menyambung. Kekayaan dan keragaman manuskrip Nusantara itu bukan hanya tentang keislaman. Tetapi lebih dari itu, keragaman keagamaannya ini bisa dilihat dari kekayaan manuskrip.
Sebelum lebih jauh melihat keragaman Keagamaan dan pemikiran, manuskrip sudah kaya mulai dari bentuknya. Kalau di Turki, manuskripnya kebanyakan berbentuk kodek (kitab).
Nusantara berbeda, ada yang berbentuk kodek/kitab berupa jilidan-jilidan mushaf. Ada juga yang berbentuk daun lontar, Pustaka, gulungan dan manuskrip yang ditulis di batang bambu.
Ginanjar menunjukkan gambar manuskrip berbentuk kodek dengan aksara dan bahasa Jawa, manuskrip berbentuk kodek dengan aksara Arab berbahasa melayu. Kemudian menunjukkan dua gambar manuskrip berbentuk daun lontar. Manuskrip al-Qur’an dan manuskrip hindu Bali. “Yang menarik, tradisi penulisan di daun lontar ini diadopsi ketika Islam baru berkembang di Nusantara,” ujar filolog santri alumni Pesantren Lirboyo ini.

Manuskrip berbentuk kodek dengan aksara dan bahasa Jawa (kanan), manuskrip berbentuk kodek dengan aksara Arab berbahasa melayu (kiri).
Ada lagi bentuk manuskrip, lanjut Ginanjar, yang tidak ditemukan di negara lain. Itu hanya ada di Nusantara, tepatnya di Medan yaitu manuskrip berbentuk Pustaka. Menuskrip Pustaka, bahannya terbuat dari serat pohon kemudian ditumbuk dijadikan panjang lalu dilipat-lipat. Ia menunjukkan gambar manuskrip beraksara dan berbahasa batak kuno.
Bentuk-bentuk lain manuskrip nusantara diantaranya ada yang berbentuk gulungan, berbentuk batang atau bilah bambu. Sayangnya, kebanyakan manuskrip nusantara tersimpan di Eropa. Karena kita tidak mau atau tidak merawatnya. Semoga generasi sekarang bisa menyelamatkan kekayaan manuskrip tersebut.
Tidak berhenti di situ, selain kekayaan dari segi bentuk, manuskrip nusantara juga kaya dari segi aksaranya. Aksara manuskrip Nusantara tersebut antara lain aksara Sunda dan Jawa Kuna, aksara Ka-ga-nga dan Batak, aksara Bugis dan Bali, aksara Jawi-Pegon, dll. (Damar Pamungkas/Nizar Fuadi).
Comments are closed