Jalan kebahagiaan itu banyak, sebanyak bilangan bebatuan di alam. Pagi ini saya mendapati satu di antara jalan kebagiaan itu. Bagaimana tidak? Seorang sahabat karib yang mukhlis (ikhlas) menghadiahi saya kitab nadir (langka) yang sangat lama saya idamkan, yaitu Risalah Aqwal al-Washitah fi al-Dzikri wa al-Rabithah karya Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi (al-Naqsyabandi) Canduang atau yang dimasyhurkan dengan Inyiak Canduang, ulama terkemuka di Minangkabau. Tidak tanggung-tanggung, kawan karib yang mukhlis tersebut menghadiahi saya kitab aslinya, cetakan Mathba’ah al-Islamiyah Fort de Kock (Bukittinggi) tahun 1925 M (berusia sekitar 95 tahun). Fisik kitab masih sangat baik, sebab dirawat dengan sangat apik. Kitab ini telah lama dalam simpanan beliau, dan ketika kami berjumpa, ibarat santan dan tangguli, kami saling mengisi akal dan spritual, diakhir pertemuan beliau mengamanahi saya kitab ini. Syukur tiada terkira.
Kitab ini, [al]-Aqwal al-Wasitah, merupakan salah satu kepustakaan penting dalam dinamika intelektual ulama Minangkabau di awal abad 20. Sudah maklum, bahwa pada masa itu terjadi perdebatan di kalangan ulama, yang disebut dengan istilah Kaum Tua dan Kaum Muda. Salah satu bagian yang menjadi topik perdebatan ialah masalah Rabithah dalam amalan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, thariqat mu’tabar yang menjadi pakaian ulama-ulama tua dan kaum Muslimin Minangkabau, terutama di Darek.
Perdebatan itu bermula dari kritik yang dikemukakan oleh ulama-ulama dari Kaum Muda, yaitu sederetan ulama, sesuai namanya, berusia muda, yang dipengaruhi oleh faham modernis Mesir (Abduh dan Rasyid Ridha) dan kitab-kitab Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Dengan dalih memperbaiki agama yang mereka anggap telah bercampur dengan bid’ah dan khurafat, mereka mengkritik keras amal Rabithah. Di antara mereka mengirimkan surat kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah, bertanya tentang fasal Rabithah.
Sebagai ulama, yang awalnya menonjol dalam fiqih, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau menjawab dengan pengetahuan beliau tersebut. Lewat risalah yang cukup tebal, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, menjelaskan beberapa amal dalam thariqat tersebut ialah bid’ah belaka, termasuk perkara Rabithah. Risalah itu berjudul Izhar Zaghlil Kadzibin. Risalah tersebut sampai di Minangkabau , dan membuat ulama-ulama muda menjadi “gembira”. Mereka kemudian mencetak risalah tersebut di Padang dan menyebarkannya secara luas. Risalah itu tentu saja membuat keadaan semakin tidak kondusif, apalagi ketika Risalah itu dibaca oleh orang awam. Terjadilah bantah dan debat.
Bagaimana dengan ulama-ulama Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, bagaimana respon mereka? Tentu tidak tinggal diam. Bermunculan tanggapan terhadap Risalah Syaikh Ahmad Khatib tersebut, mulai dari mudzakarah di depan khalayak ramai, hingga yang secara khusus menulis risalah untuk membantah dan mempertahankan amal Rabitah itu.
Setidaknya ada empat “pendekar” yang memberikan tanggapan terhadap Risalah Syaikh Ahmad Khatib, hingga mempertahankan amal Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Mereka adalah:
(1) Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (Payakumbuh, Lima Puluh Kota)
(2) Syaikh Muhammad Dalil “Syaikh Bayang” (Bayang, Pesisir)
(3) Syaikh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi (Solok Selatan)
(4) Syaikh Sulaiman Arrasuli Canduang (Bukittinggi, Agam)
Mereka merupakan ulama-ulama masyhur yang memberikan penjelasan tentang kedudukan amal Thariqat Naqsyabandiyah. Di antara ulama tersebut, Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi, merupakan yang paling berpengaruh. Selain sebagai pimpinan Ittihad Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera), beliau juga diakui alim sebab menguasai berbagai fak keilmuan secara mendalam, seperti Fiqih, Ushul Fiqih, Mantiq, dan Tasawuf. Beliau juga tokoh Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dituakan. Beliau, dengan Syaikh Ahmad Khatib, saling berbalas kitab. Hingga lahirlah 4 buah kitab, saling jawab berjawab antara mereka. Ini berakhir dengan pertemuan mereka di Mekkah dalam sebuah jamuan makan; mereka lantas menutup debat tertulis dengan saling menyapa dan bertutur ibarat kawan yang lama tidak berjumpa. Meskipun ada indikasi bahwa Syaikh Ahmad Khatib menulis bantahan terakhir terhadap Syaikh Sa’ad, namun Risalah terakhir beliau ini disinyalir tidak pernah sampai ke Minangkabau.
Tokoh keempat, dari sederatan pendekar Naqsyabandi ini, ialah Syaikh Sulaiman Arrasuli (1871-1970). Berbeda dengan Syaikh Sa’ad yang sezaman dengan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Sulaiman Arrasuli terbilang murid langsung dari Syaikh Ahmad Khatib sendiri.
Kisah Syaikh Sulaiman Arrasuli ini agak menarik. Riwayatnya, Syaikh Sulaiman Arrasuli yang telah dipanggil malin (‘alim, sebab telah menguasai Mahalli dan Jam’ul Jawami’) berangkat ke Mekkah untuk belajar agama. Di Mekkah beliau belajar agama dengan beberapa ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Dengan beliau, syaikh kita ini belajar berbagai ilmu, terutama fiqih. Bukan hanya itu, Syaikh Ahmad Khatib juga “menghembuskan” faham kritik thariqat itu kepada Syaikh Sulaiman. Sekitar tiga tahun di Mekkah, Syaikh Sulaiman Arrasuli pulang ke kampung halamannya. Beliau kemudian memimpin halaqah pengkajian agama di surau ayahnya, dan juga aktif dalam dakwah. Di antara dakwah beliau ialah mengkritik amal Thariqat Naqsyabandiyah, termasuk rabithah, sesuai dengan faham Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi ini. Khabar mengenai sikap anti-thariqat ini sampai kepada gurunya di Batuhampar, yaitu Syaikh Muhammad Arsyad (ahli Qira’at Tujuh ternama, sekaligus ulama Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah terkemuka).
Syaikh Sulaiman Arrasuli lantas dipanggil oleh Syaikh Arsyad. Di Surau Gadang, Batuhampar – Payakumbuh, segala faham anti Syaikh kita ini “dibasuh” oleh gurunya, dan akhirnya taubat. Syaikh Sulaiman Arrasuli kemudian mengambil talqin Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Syaikh Arsyad, yang bersuluk di Batuhampar, mengamalkan zikir-zikir derajat dalam Thariqat Naqsyabandiyah. Kabarnya sampai 60 hari, siang malam, lamanya. Setelah suluk, berdasarkan hasil tilik Syaikh Arsyad, beliau lantas diberi ijazah irsyad dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan berhak mengajarkannya. Sejak itulah “Angku Mudo Sulaiman Arrasuli” dimasyhurkan dengan gelar “Syaikh Sulaiman Arrasuli’. Kisah ini disampaikan oleh Abuya Syaikh H. Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (masih sehat wal afiyat sampai saat ini dalam usia lebih dari 95 tahun), beliau mendapatkan kisah dari alm. Syaikh Dhamrah Arsyadi Batuhampar (anak Syaikh Arsyad Batuhampar, sekaligus murid Syaikh Canduang).
Sejak itulah, Syaikh Sulaiman Arrasuli gigih mempertahankan thariqat Naqsyabandiyah lewat lisan maupun tulisan. Secara lisan, beliau berulang kali muzakarah dengan ulama-ulama muda, seperti Syaikh Thahir Jalaluddin Falaki dan Haji Rasul. Bahkan pernah terjadi Muzakarah besar di Mesjid Bonjo Alam, di hadiri masyarakat ramai. Tidak main-main, Syaikh Sulaiman Arrasuli , seorang diri, berhadapan dengan beberapa ulama kaum muda sekaligus, termasuk yang dipandang alim yaitu Syaikh Thahir Jalaluddin al-Falaki (ahli Falak terkemuka yang mukim di Pulau Pinang, Malaya).
Lewat tulisan, Syaikh Sulaiman Arrasuli, menulis beberapa kitab khusus membahas Thariqat Naqsyabandiyah, di antaranya “Risalah Dawa’ul Qulub” dan kitab ini, “[al]-Aqwal al-Wasithah”. Kitab ini tersebar luas (dimasa itu, namun kemudian menjadi teks nadir), dan menjadi “penenang” bagi masyarakat awam untuk tetap istiqamah di atas jalan Naqsyabandi.
Bagaimana dengan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau?
Beberapa sumber memberikan informasi bahwa beliau rujuk dalam masalah thariqat. Ini diungkapkan dua orang murid beliau, yaitu (1) Syaikh Arifin Batuhampar, dan (2) Syaikh Muhammad Sa’id al-Khalidi Bonjol. Bukti lain bahwa beliau kemudian banyak menulis kitab-kitab mengenai tasawuf dan thariqat, seperti terakhir ditemukan kitab “Maslakul Raghibin” yang memuat thariqat yang diamalkan dan diajarkan oleh Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Di antara ulama-ulama yang menerima thariqat dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ialah Syaikh Harun Toboh Pariaman, Syaikh M. Zain Tasak (Sumatera Utara), dan Syaikh Muhammad Sa’id al-Khalidi Bonjol. Syaikh Harun Toboh memberikan informasi penting, bahwa thariqat yang diamalkan dan diajarkan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ialah Thariqat Khalwatiyah. Perlu kita ketahui bahwa thariqat-thariqat mu’tabar tersebut menjadikan amal tawasul dan rabithah sebagai unsur penting dalamnya.
Mungka, 19 April 2020/ 25 Sya’ban 1441 H
No responses yet