Dalam dunia tasawuf, term syariat dan hakikat seringkali diperbincangkan. Syariat berkaitan erat dengan amal perbuatan yang bersifat lahiriyah seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya. Sementara hakikat identik dengan makna “batin” di balik setiap ibadah itu sendiri.

Ironisnya, kedua term tersebut seringkali dipertentangkan oleh sebagian kalangan. Dan, pertentangan ini melahirkan sebuah kesimpulan bahwa yang terpenting dalam ibadah itu adalah hakikatnya, bukan syariat. Di pihak yang lain, ada yang berpandangan sebaliknya.

Seakan-akan, keduanya benar-benar dapat dipertentangkan satu dengan yang lain. Bahkan, terkadang dipertanyakan mana yang lebih utama dan harus didahulukan.

Menurut Syeikh al-Buti, mempertentangkan dua hal di atas termasuk salah satu pemahaman yang dangkal terhadap ajaran tasawuf itu sendiri. Sebab, dalam dunia tasawuf, tidak ada pemisahan antara syariat dan hakikat. Tidak mungkin, seseorang bertasawuf tanpa bersyariat. Demikian pula, bersyariat tanpa berhakikat.

Syeikh al-Buti mengamini bahwa syariat identik dengan hal-hal yang bersifat formalistik (yang tampak), sementara hakikat identik dengan makna yang terdalam dari setiap perbuatan manusia (yang tak tampak). Akan tetapi, secara aplikatif, tidak mungkin hakikat bertentangan dengan syariat.

Bahkan, Syeikh al-Buti menyatakan bahwa orang-orang yang mempertentangkan syariat dan hakikat ini termasuk kategori orang-orang yang fasik.

Bagi Syeikh al-Buti, setiap ibadah yang bersifat lahir (tampak) seperti salat, zakat, haji dan sebagainya belum sempurna, jika tidak dibarengi dengan perbuatan batin, yaitu beribadah secara ikhlas, tanpa unsur riya di dalamnya.

Misalnya, seseorang telah menunaikan salat dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya. Maka, secara syariat ia telah menggugurkan kewajiban salatnya. Namun, jika salat tersebut ada unsur riya dan ujub di dalamnya, maka kewajiban salatnya secara batin belum tertunaikan secara sempurna.

Tidak heran, jika Al-Izz ibn Abdussalam pernah berkata demikian: “Hakikat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syariat, tetapi syariat merupakan sarana untuk memperbaiki kondisi hati dengan pengetahuan, komitmen, dan tujuan yang berhubungan dengan aktivitas hati.”

Lebih lanjut, Al-Izz menyatakan: “Oleh sebab itu, memahami hukum-hukum yang bersifat lahir berarti memahami kebesaran syariat, dan memahami hukum-hukum batin berarti memahami kepekaan syariat.”

Dengan demikian, apapun jenis ibadahnya, baik itu ibadah lisan maupun ibadah gerak badan, tidak akan “diterima” di sisi Allah dan tidak berbuah “pahala”, jika tidak dibarengi dengan kebersihan hati dari sifat riya. Sebab, kebersihan hati dan jiwa adalah pangkal kesempurnaan dalam ibadah.

Jadi, secara substansial ibadah dalam Islam adalah beribadah secara syariat dan hakikat sekaligus, tanpa memisahkan keduanya. Karena syariat tanpa hakikat itu “kosong” dan hakikat tanpa syariat itu “bohong”.

Wallahu a’lam.

Rabu bakda Subuh, 15 Juli 2020

Catatan: Bagi yang berminat mengkaji topik ini, dapat membaca referensi ini .

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *