Syukur itu amanah dalam rangka berterima kasih atas nikmat yang diwujudkan melalui berbagai hal mencakup ilmu, perilaku dan amal.  Rasa syukur kita wujudkan dengan mengembangkan kenikmatan yang didapat. Dikembangkan lewat amal sholeh demi tujuan bisa berterima kasih lagi kepada Gusti Allah. Saat terbukti dengan nikmat itu kita bisa amanah untuk beramal sholeh dan mau berterima kasih lagi, Gusti Allah terus mempercayai kita dengan menambah kenikmatan-kenikmatan lain.

Bak orang dapet modal dari investor buat usaha, terus mengembangkan modal itu untuk usaha. Kalo terbukti usaha berkembang baik, investor tidak segan menambah modalnya buat usaha kita. Jadi syukur bukan cuma bilang alhamdulillah, tapi kudu diwujudkan lewat amal.

Karena itu, Gusti Allah dawuh

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah, saat Tuhanmu memberi pengumuman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu berbuat buruk dengan nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Surat Ibrohim 7)

Kalo kita tidak amanah dengan nikmat, tidak bakal kita diberi tambahan nikmat. Seperti kalau investor kecewa dengan kinerja kita, proposal tambahan modal ya tidak diterima. Bahkan bisa-bisa kita dianggap punya hutang sama investor. Dan celakanya, penyakit manusia pada umumnya kalo dapet rejeki dan nikmat yang banyak, syahwat konsumtifnya meledak-ledak tidak ukuran. Sampai lupa bahwa rejeki itu adalah modal usaha untuk beramal sholeh. Akhirnya jiwa korup pun merajalela. Modal tidak jadi untung, malah hidup tergulung-gulung.

Keumuman sifat manusia yg seperti itu sudah dikabarkan Gusti Allah lewat dawuh

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-Ku yang bersyukur” (Surat Saba’ 13)

Maka kita harus khawatir kalau kita kehilangan kemauan untuk bersyukur.

Makanya, syukur itu tandanya tersenyum atau ketawa puas. Misal kalau kita di warung makan, terus puas dengan pelayanan dan makanannya, maka kita meringis senang dan mengucap terima kasih. Bahkan kasih tips buat pelayanannya. Begitu juga kalau kita ridho, puas dan ikhlas pada pemberian Gusti Allah, maka kita harusnya ketawa puas dan bersyukur. Maka tidak salah kalau orang tidak pernah ketawa itu perlu digojlok biar bisa ketawa.

Jadi, jangan lupa bahagia dan ketawa. Ada anekdotnya.

Satu hari, 3 sahabat, seorang Romo Katholik, seorang Bedande Hindu dan guru Qur’an kampung Kyai Sarip, sedang berbincang-bincang.

“Dari sumbangan umat yang anda terima, berapa bagian untuk Tuhan dan berapa bagian untuk anda sendiri?” Tanya Romo Katholik pada 2 sahabatnya.

“Semua sumbangan umat yang saya terima, saya bagi dua. Bagian besar untuk Tuhan, yang kecil buat saya,” kata Bedande.

“Kalo saya bagi dua sama rata. Setengah untuk Tuhan, setengah buat saya,” kata Romo, “Kalo anda, Kyai Sarip?”

“Kalo saya lain,” kata Kyai Sarip, “Semua uang sumbangan itu saya lemparkan ke atas. Dalam hati saya bilang, kalo Tuhan boleh ambil berapa saja yang Dia mau, dan yang berjatuhan ke lantai buat saya,”

Syukur atas Kenikmatan

Kalo ada yg bertanya-tanya, pingin sih jadi wali, tapi gak kuat tirakat berat, puasa segala macem, gimana caranya?

Takut istri, syaratnya istrinya kudu sholehah. Karena istri sholehah itu selalu mengingatkan kita pada Gusti Allah. Efeknya kita jadi rajin sholat, rajin puasa, rajin berbuat baik, gak ada kepinginan buat nakal. Lama-lama juga jadi wali. Makanya, punya istri galak dan pelit itu kudu bersyukur. Kalo dieksploitasi keunggulannya, sampeyan bisa jadi wali.

Lha kalo jomblo?

Jadilah tukang makan tapi suka bersyukur pada Gusti Allah. Orang tukang makan tapi rajin syukur itu derajatnya sama kayak orang puasa sunnah.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW dawuh

للطاعم الشاكر منزلة الصائم الصابر عند الله

“Di sisi Gusti Allah, orang yang makan dan disertai rasa syukur itu kedudukannya sama dengan orang yg sabar dalam puasa sunnahnya”

Logikanya begin,. 

Syukurnya orang yang dapat nikmat itu bukan syukur ecek-ecek. Tapi bener-bener syukur, kalo pas makan yang terbayang keagungan Gusti Allah dan kebaikann-Nya. Karena naluri orang itu baru bisa berterima kasih kalau udah dapat nikmat yang memuaskannya. Naluri tersebut kalo kita arahkan kepada Gusti Allah, bisa mempertajam bashiroh atau mata batin kita.

Seperti seorang guru saya yang bernama KH Kholilurrohman atau biasa disebut Manaji. Beliau itu selalu menasehati santrinya untuk macak melas (berperilaku butuh welas) kepada Gusti Allah, biar diwelasi oleh Gusti Allah. Tiap makan, beliau selalu bilang, “Duh, aku ini lho siapa, bukan siapa-siapa, banyak dosa, tapi kok ya Gusti Allah baik banget, ngasih nikmat kayak gini sama saya yang bukan siapa-siapa dan banyak dosa,”

Hal itu beliau lakukan karena ingin menghujamkan pada batinnya untuk selalu mau bersyukur. Kita yang bukan siapa-siapa, banyak dosanya, tapi Gusti Allah masih mau aja ngasih kita rejeki. Sedangkan kalau kita lihat orang yang selalu bikin kesel kita, pasti males ngasih duit atau makan. Itu bukti Gusti Allah itu baiknya super.

Gak heran, dengan perilaku macak melas gitu, guru saya tersebut jadi peka hatinya pada kesusahan orang lain. Beliau tahu saat ada tetangganya atau santrinya terlibat satu masalah, walau tetangga atau santri itu tidak mengeluh kesusahannya pada guru saya. Itu karena hati beliau peka.

Dan salah satu tanda kewalian beliau menurut saya itu selalu menangisi kesusahan orang di sekitarnya dan gak segan membantu sekuat tenaga. Karena Kanjeng Nabi juga begitu. Bahkan pernah ada yang terlibat hutang jutaan rupiah sama, beliau ganti dengan uang pembangunan pondok. Nyawa orang lebih penting daripada bangun pondok, dawuh beliau.

Dawuh beliau juga, jangan terlalu banyak menikmati kenikmatan, perbanyak waktu buat bersyukur. Orang bisa bersyukur karena punya ilmu, maka selalu ditekankan pada santrinya untuk selalu niat ngaji biar bisa bersyukur. Untuk guru saya, KH Kholilurrohman Jetis Sidoarjo, Al Faatihah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *