Diskusi tentang tradisi tafsir Alquran tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Jauh sebelum berdiri lembaga pendidikan formal dan sebelum negeri ini merdeka,  lembaga pendidikan pesantren telah ada dengan karakter yang khas dan unik. Sayangnya dalam konteks dunia intelektual,  pesantren seringkali hanya dilihat melalui tradisi fikih dan tasawuf. Padahal, di pesantren, salah satu kitab yang dibaca dan dikaji adalah tafsir. Dan banyak orang-orang pesantren yang menulis tafsir.

Di Sunda, misalnya, KH. Ahmad Sanusi adalah contoh penulis tafsir yang lahir dan hidup dalam kesadaran pesantren. Tamsiyatul Muslimin, Raudlatul Irfan, dan Tafrij Qulub al-Mu’minin adalah contoh tafsir yang ia tulis. Ia berkawan Kartosuwiryo tapi berpisah di simpang jalan: ia mencintai tanah kelahirannya dengan peneguhan pada konsep Pancasila dan berperan aktif  dalam BPUPKI. 

Di Jawa, kita bisa menyebut sederet kiai penulis tafsir. Kiai Saleh Darat, salah satu mahaguru ulama nusantara, menulis tafsir Faidl al-Rahman dan Hidayah al-Rahman dengan aksara Pegon. Penghulu Tafsir Anom, murid kiai Saleh Darat, menulis Tafsir Al-Quran al-Karim. H.Raden Muhammad Adnan, putra Tafsir Anom, menulis Tafsir Suci Boso Jawi.  Para guru di Manbaul Ulum, seangkatan mbah Adnan, juga melahirkan kitab Tafsir, yaitu Ustadz  Imam Ghazali menulis Tafsir al-Balagh dengan aksara Pegon dan Bagus Ngarpah menulis Quran Jawen dengan aksara honocoroko.

Masih di Solo, KH. Muhammad bin Sulaiman, seorang kiai hamil al-Quran yang sanad ilmu Qurannya diperoleh dari mbah Munawwir Krapyak, menulis tafsir Jami’ al-Bayan berbahasa Arab lengkap 30 juz. Tafsir ini, hingga kini dibaca sebagai bahan ngaji di pesantren Brabu Grobogan.

Bergeser ke pesisir utara, banyak kiai pesantren menulis tafsir. Di antaranya adalah Mbah Bisri Mustafa, abahnya Gus Mus, dan Misbah Mustafa, adik kandung mbah Bisri. Mbah Bisri menulis tafsir Al-Ibriz dan sebelumnya pada era 1950 beliau telah menulis tafsir Surah Yasin. Adapun mbah Misbah menulis tafsir Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dan Tajul Muslimin. Kedua bersaudara ini, meskipun kadang berbeda pendapat dalam beberapa hal, tak diragukan adalah orang yang mencintai tanah airnya.

Di Kediri, kiai Yasin Asmuni, dengan dilengkapi makna gandul, juga menerbitkan beberapa kitab tafsir. Dari tangan dia, lahir penerbitan kitab dengan model “pethukan”‘: istilah untuk menyebut edisi kitab cetak yang dilengkapi dengan makna gandul.

Yang saya kemukakan di atas sekadar contoh. Masih banyak lagi karya tafsir yang lahir dari tangan kiai dalam denyut nadi pesantren di berbagai wilayah Indonesia.

Di tengah arus gerakan revolusi menghadapi penjajah, kiai pesantren di samping mbalah kitab di langgar dan pesantren kepada para santrinya, juga turun langsung mengambil peran di garda depan melawan penjajah. Lebih dari itu, di tengah keterbasan yang terjadi, mereka juga menulis beragam kitab, termasuk kitab tafsir. 

Para kiai pesantren telah berhasil mempersatukan rakyat yang berserak dan tercabik akibat penjajahan dalam rumah bernama Negara Republik Indonesia dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai Islam. Dan fakta ini tak bisa dibantah. Mereka begitu mencintai tanah kelahirannya, sebagaimana mereka mencintai kedua orangtuanya dan para gurunya.

Jazirah Arab yang dulu pernah dipersatukan dengan kesadaran keadaban oleh Nabi saw., kini tercabik cabik, karena ego politik dan kepentingan kapital politik dan ekonomi dunia.

Tafsir dan Islam Nusantara

Nusantara di sini dipahami bukan sebagai tempat, tetapi sebagai kesadaran, tradisi, dan kebudayaan yang di dalamnya nilai nilai dan kearifan hidup dan bergumul.

Dalam konteks tafsir, ada sederet nama penulis dan judul tafsir yang jarang dikemukakan dalam eksemplar buku kajian tafsir.  Bila kita buka tulisan A.H. John, Riddell, maupun Howard M Federspiel, misalnya, nama nama itu tidak muncul. 

Setelah buku Turjuman al-Mustafid yang muncul pada abad 17M,  terdapat karya tafsir berjudul Tafsir al-Asrar. Tafsir ini ditulis oleh Habib Arifuddin di Cirebon memakai bahasa Arab pada abad 18 M. Bergeser ke Jawa Tengah pada awal abad 19 Kiai Saleh Darat menulis Faidl Al- Rahman. Kawan karibnya, yaitu Penghulu Tafsir Anom V keraton Surakarta, pada era itu juga menulis tafsir berjudul Tafsir Al-Quran al-Aziz dengan memakai aksara Pegon. Sebagai Penghulu Kraton dan salah satu penggerak berdirinya Madrasah Manbaul Ulum Solo, peran beliau sangat strategis. Karyanya ini juga menjadi bukti bahwa Tafsir pegon telah lama lahir dan tidak melulu berasal dari pesantren pesisir.

Dari rahim madrasah yang disokong kraton tersebut banyak nama kiai yang menulis tafsir. Sebutlah misalnya Bagus Ngarofah.  Kiai yang pernah menjadi kepala madrasah modern itu, menulis Quran Jawen, lengkap 30 juz, dengan memakai cacarakan. Ia juga menerjemahkan teks fiqih, seperti Taqrib dan Tahrir ke dalam bahasa Jawa cacarakan.

Selain Bagus Arofah, terdapat nama Imam Ghazali al-Ustad yang menulis Tafsir Al-Balagh. Tafsir ini ditulis dengan Pegon dan Jawa Latin. Selain menulis tafsir ia juga menulis tema tema lain, terutama bidang hadis.

Putra Tafsir Anom V, yaitu Kiai Raden Muhammad Adnan juga menulis Tafsir lengkap 30 juz. Tafsir yang lebih mirip sebagai tarjamah tafsiriyah ini mula mula ditulis memakai Pegon, tetapi setelah diedit oleh putranya, M. Basith Adnan, edisi publikasinya dalam aksara Latin. Tujuannya agar lebih luas pembacanya. Tafsir ini diterbitkan oleh PT. Maarif Bandung.

Sebelumnya, Perkumpulan Mardikintoko di Solo, juga mempublikasikan tafsir yang dicetak berjilid jilid. Ditulis dengan aksara Pegon. Terdapat juga manuskrip tarjamah tafsiriyah yang pada 1927 telah dipakai sebagai bahan ajar di Manbaul Ulum. Karya anonim ini ditulis memaka aksara Pegon.

Di luar komunitas Manbaul Ulum dan Mardikintoko, terdapat pula Serat Patekah, karya anonim dan Tafsir Wal Ngasri karya C. Cahjati.  Moenawar Chalil seorang pemikir modernis dan puritanis pada era 1950 an menulis tafsir Hidajatur Rahman. Ditulis memakai bahasa Jawa aksara Latin. Karya ini diterbitkan oleh AB Siti Sjamsijah Solo. Sayang sebelum selesai 30 juz, ia wafat.

Era selanjutnya, Kiai Bisri Mustafa Rembang menulis tafsir surah Yasin. Pada satu dekade kemudian beliau menyelesaikan Tafsir Al-Ibriz.  Prestasi ini disusul adik kandung beliau, Kiai Misbah yang menulis tafsir Al-Iklil. Pada era 1970 an, penulis produktif di Solo, Jafar Amir, menulis Tafsir Al-Huda, berbahasa Jawa Aksara Latin. Dengan judul yang sama, Bakri Syahid, seorang dg latar belakang militer dan aktivis Muhammadiyah, pada 1979 mempublikasikan tafsirnya. Tafsir ini di beberapa bagian mendukung kebijakan2 rezim Orde Baru.

Di beberapa wilayah yang lain juga banyak ulama menulis tafsir. Di Jawa Barat, misalnya, KH Ahmad Sanusi,  KH. Moh. Romli, Kiai Hasan Mustafa, A. Hasan, Emon Hasim, adalah diantara mereka yang menulis tafsir, Di Sumatra, selain Mahmud Yunus, ada Omar Bakri yang juga menulis tafsir. Di Makasar ada AG Daud Ismail juga menulis tafsir dengan memakai bahasa Bugis aksara Lontara. Bagaimana kisahnya? Pada Kesempatan yang lain akan saya kisahkan.

Pesantren dan Karya Tafsir

Sebagai ruang sosial kultural, pesantren telah melahirkan banyak khazanah keilmuan, bukan hanya di bidang fiqih, tasawuf, tata bahasa dan ilmu Kalam, tetapi juga Tafsif Alquran.

Salah satunya adalah Tafsir Al-Tibyan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an ini. Tafsir ini ditulis  oleh KH. Ahmad Nashrullah bin Abdurrahim Hasbullah, pengasuh Ponpes Bahrul Ulum Jombang. Disusun dengan memakai bahasa Arab dan mengaju  pada karya-karya  tafsir muktabar. Menurut beberapa informasi, karya ini dipakai sebagai bahan ajar di pesantren.

Tafsir ini terdiri dari tiga jilid. Ditulis dengan khath naskhi. Di halaman cover disertakan logo pesantren.  Tampaknya karya ini belum pernah dicetak secara massal. Hanya dengan difotocopi bila seseorang ingin memilikinya.

Secara teknis, susunan tafsir ini mirip dengan model tafsir Shafwah al-Tafasir karya syekh Ali al-Shabuni. Dari segi isi, menjelaskan makna kosa kata, asbab al-nuzul dan simpulan dari ayat yang dijelaskan. Secara umum, tema tema fiqih menjadi fokus bahasan dengan mendiskusikan pandangan imam mazhab empat.

Selain memberikan informasi dan kesan corak fiqih dalam karya tafsir, karya ini secara budaya mengungkapkan bahwa masyarakat pesantren sejatinya telah terbiasa dengan perbedaan pandangan dalam dunia fiqih.

Dalam kajian tentang pesantren, terkait dengan metode pengajaran yang dilakukan, biasanya model sorogan dan badongan yang sering disebut. Padahal, disamping mengajar dan mengaji kitab, dulu para kiai pesantren juga menulis kitab. Karya kitab ini meliputi topik yang beragam dan sangat kaya. Mulai karya syarh, hasyiah, hingga karya yang ditulis secara mandiri. 

Model yang digunakan juga beragam. Ada yang dalam bentuk prosa dan ada yang berbentuk nadham. Demikian halnya dengan aksara yang digunakan. Dari aksara pegon, jawi, carakan, hingga lontara. 

Dalam berbagai kajian, dari sisi bidang ilmu yang dikaji, pesantren lebih sering dikaitkan dengan kitab atau tradisi fiqih dan tasawuf. Hanya sedikit yang mengulas dan mengaitkannya dengan bidang tafsir. Padahal, saya menemukan banyak karya tafsir yang lahir dari rahim pesantren. Untuk beberapa saya sebutkan di sini: Faidl ar-Rahman karya Kiai Saleh Darat, Tafsir Alqur’an karya Tafsir Anom, Raudlah al-Irfan dan Tamsyiyah al-Muslimin  karya KH. Ahmad Sanusi, Jami’ al-Bayan karya KH Muhammad bin Sulaiman, Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustafa, Al-Iklil dan Taj al-Muslimin karya KH. Misbah Zainul Mustafa, Tafsir Suci Boso Jawi karya KH.R. M. Adnan, Tafsir Al-Balagh karya Imam Ghazali Solo. 

Raudlatul ‘Irfan fi Ma’rifah al-Qur’an misalnya, adalah salah satu karya Tafsir Nusantara yang lahir dari rahim pesantren dan ditulis oleh orang pesantren. Beliau adalah Kiai Haji Ahmad Sanusi Sukabumi.

Selain karya ini, beliau juga menulis tafsir Tafrij Qulub al-Mu’minin Tafsir Surah Yasiin. Kedua tafsir ini ditulis dengan aksara Pegon Sunda. Selain kedua karya ini beliau juga menulis tafsir Tamsyiah al-Muslimin dengan aksara Latin dan bahasa Indonesia. Karya yang terakhir ini ditulis dan terbitkan secara serial, mirip majalah. Edisi pertama terbit pada tahun 1934.

Dalam tafsir Tamsyiah al-Muslimin, beliau mengelaborasi ayat-ayat Alquran secara komprehensif, baik dari sisi makna kata hingga soal pemahaman hukum serta diskusi ulama fiqh.

Satu hal yang unik dalam Tamsyiah ini Beliau juga melakukan transliterasi ayat ayat Alquran ke dalam aksara Latin. Satu usaha yang langka terjadi di kalangan ulama pesantren pada masa itu. Gara gara usahanya ini beliau pernah dikafirkan oleh sebagian ulama di Jawa Barat. Dan kemudian digelarlah halaqah di pesantren beliau membahas kasus tersebut dengan mengundang para kiai, khususnya yang mengkafirkannya tersebut. Tapi sampai akhir acara, mereka yang melemparkan tuduhan itu tak mampu memberikan dalil yang kuat atas klaim kafir tersebut.

Selain berkiprah di dunia pesantren, beliau juga aktif di dunia politik. Misalnya, pernah aktif di Peta dan BPUPKI. Bersama Ayahanda Gus Dur, beliau berperan merumuskan negara kita ini. Beliau juga berteman dengan Kartosuwiryo, namun berpisah jalan, ketika merumuskan NKRI ini.

Belajar Tafsir di Pesantren

Dinamika tafsir Alquran di Nusantara sangat bervariasi baik dari sisi bahasa dan aksara yang dipakai, asal usul tafsir, basis sosial budaya penafsir, dan kontestasi yang dilakukan. Bagaimana konteks tradisi dan budaya nusantara bisa dirasakan dalam karya tafsir tersebut juga sangat menarik. 

Dalam satu kesempatan, saya pernah ditanya oleh K.H. Husein Muhammad, kiai pesantren yang alim dan bersahaja, sambil menepuk pundak saya yang kala itu rawuh sebagai pembicara di sesi yang lain. Padahal, ketika itu saya hendak ngalap berkah: mencium tangan beliau lalu selfie bareng. Dalam kesempatan itu kiai Husein bertanya tentang aktualisasi tafsir tafsir karya ulama nusantara tersebut dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.

Pertanyaan yang tak mudah dijawab. Pertanyaan yang sangat terkait dengan pembelajaran tafsir di madrasah, pondok, dan masyarakat umum. Pembelajaran tafsir di sejumlah pesantren secara umum memang memakai kitab tafsir karya ulama Timur Tengah sebagai  bahan ajarnya, seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Baidlawi.  Survei pemerintah Belanda pada 1880-an tentang kitab-kitab yang dipakai di pesantren di pesisir Jawa telah menginformasikan hal tersebut.

Tapi patut dicatat bahwa ada beberapa kiai pesantren yang menulis tafsir yang kemudian dipakai sebagai bahan ajar atau juga menjadikan tafsir ulama nusantara sebagai bahan ajar. Misalnya, K.H. Ahmad Sanusi menulis tafsir Raudlah al-Irfan (ditulis dengan aksara Pegon dan teknik makna gandul) mula mula merupakan bahan ajar di pesantren Gunung Puyuh Sukabumi. Tafsir Jami’ al-Bayan karya K.H. Muhammad bin Sulaiman Al-Soloy hingga kini dipakai bahan ajar di pesantren di Purwodadi. Tafsir Madrasi ditulis dengan bahasa Arab, karya Oemar Bakry hingga kini dipakai di pesantren Gontor. Almarhum K.H. Husein Muzakkin Pati, ketika mengajar tafsir di MA. Salafiyah Kajen, dulu juga memakai tafsir Al-Ibriz sebagai bahan ajar. Meniru kiai saya itu, di kampung dalam pengajian ibu ibu, saya membaca tafsir Al-Ibriz, sekalian ngalap berkah. Di beberapa tempat di Yogya, tafsir Al-Iklil karya K.H. Misbah Mustafa,  juga dipakai bahan pengajian di pengajian kampung.

Satu lagi, tafsir yang ditulis oleh K.H. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, pengasuh pesantren An-Nuqayah Guluk Guluk, Sumenep, Madura. Beliau adalah Abah dari Prof. Dr. Abd A’la. Karya tafsirnya ini ditulis dengan bahasa Arab dan disesuaikan dengan audiennya. Tekniknya tidak mengacu pada tartib mushaf, juga tidak mengacu pada topik tertentu. Tapi beliau memilih ayat-ayat tertentu yang dipandang penting. Ada dua hal utama yang dilakukan, yaitu menjelaskan lafadz yang rumit dan kemudian menjelaskan makna pokok di setiap ayat yang ditafsirkan. 

Tafsir ini dipakai sebagai bahan ajar di Madrasah Diniyah di pesantren Al-Nuqayah. Para santri setidaknya memperoleh tiga keuntungan. Pertama, tafsir ini ditulis secara praktis sehingga mudah dipahami. Kedua, santri sekaligus bisa belajar bahasa Arab. Ketiga, santri akan memahami kata kunci dalam ayat serta posisinya dalam siyaq al-kalam. 

Inilah salah satu tradisi pesantren yang hingga kini masih hidup. Ada keprigelan yang patut dilestarikan dan ada rasa nusantara yang bisa kita cecap. Berkah dan mberkahi.

Terima kasih untuk para kiai di pesantren yang telah mendarmakan ilmu dan hidupnya  untuk negara dan agama, meski namamu masih samar samar terlihat dalam buku sejarah nasional.

  • Tulisan ini merupakan kumpulan catatan ketika penulis memberikan materi dalam acara Seminar Nasional di STAIN Ponorogo tentang Tafsir Nusantara di Tengah Tafsir Timur Tengah dan Tafsir Orientalis pada 19 Mei 2016,  acara Seminar Nasional di jurusan IQT Fak. Ushuluddin UIN Bandung tentang Nilai Perdamaian dalam Tafsir Alquran Indonesia pada 19 Oktober 2016, acara seminar nasional dan annual meeting yang dihelat oleh asosiasi ilmu Alquran dan Tafsir se Indonesia pada 10 Desember 2016 di Pesantren Pandanaran Yogya, dan materi-materi ketika membahas kitab Raudlah al-Irfan untuk mahasiswa di IAT IAIN Surakarta  sebagai bahan diskusi mata kuliah Sejarah dan Dinamika Tafsir Alqur’an Indonesia, serta juga mata kuliah “Karya karya ulama nusantara di bidang tafsir” program S3 SQH UIN Yogyakarta semester genap pada tahun 2016.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *