Secara umum, al-Tafsīr al-Ṣūfī al-Irfānī li al-Qur’ān al-Karīm karya Dzū al-Nūn al- Miṣrī adalah tafsir yang dikumpulkan oleh pentahqiq Maḥmūd al-Hindī dari perkataan- perkataan sufistik Dzū al-Nūn al-Miṣrī tentang ayat al-Qur‟an. Bisa dikatakan tafsir ini tidak secara langsung dikarang oleh Dzū al-Nūn al-Miṣrī, tetapi ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh Dzū al-Nūn al-Miṣrī dalam membangun konsep tasawufnya.
Dalam kitab tafsir ini, menurut Maḥmūd al-Hindī, Dzū al-Nūn al-Miṣrī menafsirkan QS. al-Baqarah sampai QS. al-Ādiyāt. Tafsir ini tidak semua ayat yang ditafsirkan dalam satu surat, yang ditafsirkan hanyalah potongan-potongan ayat yang mungkin berkaitan dengan tema-temaatau nilai-nilai sufistik.
Di antara surat-surat yang berkaitan dengan tema-tema sufistik berjumlah 60 surat. Ada 53 surat yang tidak ditafsirkan atau tidak berkaitan tema-tema sufistik Dzū al-Nūn al- Miṣrī antara lain: al-Fātiḥah, al-Anfāl, al-Tawbah, al-Mu’minūn, al-Shū’arā‟, Sabā’, al- Ṣaffāt, al-Dukhān, al-Fatḥ, al-Qamar, al-Mumtaḥannah, al-Ṣaf, al-Munāfiqūn, al-Taghābun, al-Mulk, al-Ḥāqqah, al-Mā’ārij, Nūḥ, al-Jinn, al-Muddaththir, al-Qiyāmah, al-Insān, al- Mursalāt, al-Nabā’, Abasa, al-Takāthur, al-Inshiqāq, al-Burūj, al-Ṭāriq, al-A’lā, al- Ghāsyiyah, al-Fajr, al-Balad, al-Shams, al-Layl, al-Dhuhā, al-Tīn, al-Qadr, al-Zalzalah, al- Qāri’ah, al-Takāthūr, al-Aṣr, al-Humazah, al-Fīl, al-Quraish, al-Mā‟ūn, al-Kawthar, al- Kāfirūn, al-Naṣr, al-Masad, al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan al-Nās.
Dalam pembahasan tafsir ini diawali dengan surat al-Baqarah. Surat al-Baqarah adalah awal surat Madaniah, surat yang paling panjang dalam al-Qur’an, dan berjumlah 286 ayat. Secara tartib mushafi, al-Baqarah surat kedua setelah al-Fātiḥah. Adapun secara tartib nuzūlī, surat a-Baqarah adalah surat yang ke 87. Al-Baqarah juga surat yang ke 27 dari surat-surat yang dimulai dengan simbol (huruf muqaṭṭa‟ah), dan pemisah, dan salah satu 5 surat yang didahului dengan simbol alif–lām–mīm.
Menurut Dzū al-Nūn al-Miṣrī, dinamakan surat al-Baqarah untuk mengingatkan kembali mukjizat yang tampak pada zaman Nabi Mūsā. Dalam kisahnya, ketika salah satu dari Bani Isrāil yang terbunuh dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, lalu mereka menyerahkan kejadian tersebut kepada Nabi Mūsā. Dari peristiwa itu, Allah mewahyukan kepada Nabi Mūsā agar memerintahkan kepada kaumnya untuk menyembelih sapi. Dan perintah selanjutnya supaya mereka memukul si mayit itu dengan bagian tubuh sapi. Kemudian dengan izin Allah, dihidupkan kembali si mayit, lalu si mayit (yang hidup itu) mengabarkan siapa pembunuhnya.
Maḥabbah atau cinta Ilahi merupakan tahapan penting dalam dunia tasawuf. Kaum sufi berbeda pendapat tentang keterkaitan antara maḥabbah dengan ma’rifah. Sebagian sufi menyatakan sebelum mendapat ma’rifatullāh, sālik (pengembaraan ruhani) harus melalui maḥabbah. Sebagian yang lain menjelaskan bahwa maḥabbah tidak dapat diperoleh sebelum sālikma’rifatullāh.
Konsep cinta Dzū al-Nūn al-Miṣrī adalah pertama, cinta kepada Allah merupakan jalan utama untuk memperoleh ma’rifatullāh. Kecintaan kepada Sang Khaliq akan menghilangkan rasa takut kepada makhluk-Nya, yaitu api neraka. Pemaknaan ini sangat dipengaruhi oleh konsep cinta Rābi’ah al-Adawiyah. Kedua, cinta kepada Allah diwujudkan melalui cinta kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Perwujudan cinta Ilahi melalui pelaksanaan perintah ataupunlarangan Allah. Hal ini berbeda dengan al-Junaid dan Ibn ‘Arabī yang memaknai konsep cinta Ilahi melalui peleburan ataupun penyatuan wujud.
Al-Tafsīr al-Ṣūfī al-Irfānī li al-Qur’ān al-Karīm karya Dzū al-Nūn al-Miṣrī adalah hasil penelusuran pentahqiq-nya yaitu Maḥmūd al-Hindī. Sebagai tokoh sufi praktis Dzū al- Nūn al-Miṣrī telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan teori-teori tasawufnya. Oleh karena itu, hanya ayat-ayat tertentu dan hanya kalimat-kalimat tertentu yang ia tafsirkan. Legitimasi keyakinan tertentu dengan nash al-Qur’an merupakan fenomena yang sulit dihilangkan. Dari sinilah ulama tafsir memberikan batasan utama terkait tafsir sufi yaitu makna batin yang diberikan tidak bertentangan dengan zhahir ayat dan syariat Islam.
Subyektifitas, sedikit atau banyak, merupakan keniscayaan dari sebuah karya tulis. Beragamnya corak atau nuansa tafsir merupakan bukti adanya subyektifitas mufassir. Menurut Ālī al-Ṣābūnī, mufasir sufi menafsirkan ayat dengan makna lain, tidak sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, penafsiran tersebut tidak banyak dipahami, kecuali mereka yang hatinya telah disinari oleh nur Allah, dan termasuk golongan orang-orang yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah.
Tafsir sufi, adalah hasil isyarat batin kaum sufi. Oleh karena itu, tidak termasuk dalam ilmu hasil usaha, atau penemuan yang dapat dicapai dari pembahasan dan pemikiran, tetapi termasuk ilmu ladunī, yaitu pemberian sebagai dari akibat dari ketakwaan, dan riyāḍah, sebagaimana firman Allah yang artinya
… dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah [2]: 282)
Dzū al-Nūn al-Miṣrī adalah tokoh sufi yang telah melahirkan murid-murid unggulan. Konsep-konsep tasawufnya sangat mendominasi penafsirannya. Bila dikomperatifkan dengan tafsir-tafsir taḥlīlī non ishārī, maka akan tampak subyektifitas penafsiran para sufi. Sebagai bukti, berikut ini ayat-ayat al-Qur‟an yang dipergunakan Dzū al-Nūn al-Miṣrī untuk menjelaskan teori-teori sufinya.
Kolom di atas menunjukkan bahwa Dzū al-Nūn al-Miṣrī tidak menafsirkan seluruh surat. Dari 144 surat, hanya 60 surat yang ditafsirkan. Dari masing-masing surat tidak semua ayat dijelaskan dan dari masing-masing ayat tidak semua kata ataupun kalimat yang ditafsirkan.
Keseluruhan penjelasan di atas menguatkan kesimpulan bahwa al-Tafsir al-Irfani adalah hasil penelusuran dari Maḥmūd al-Hindī terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Dzū al-Nūn al-Miṣrī. Potongan-potongan ayat itulah penguat teori tasawuf Dzū al-Nūn al-Miṣrī.
Penafsiran Ayat Cinta
Ayat cinta adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang kecintaan kepada Allah. Penelitian ini diarahkan pada ayat-ayat maḥabbah dalam al-Qur‟an. Dalam tafsir Dzū al-Nūn al-Miṣrī hanya ditemukan 4 ayat yang membahas cinta kepada Allah, dengan redaksi kata ḥubb dan derivasinya.
Ayat pertama, yaitu QS. al-Baqarah [2]: ayat 165
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang- orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang- orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
Kalimat yang ditekankan dalam ayat tersebut adalah
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ََََُّْ
Potongan ayat ini digunakan oleh Dzū al-Nūn al-Miṣrī menjawab pertanyaan apa makna cinta murni yang tidak ada noda di dalamnya. Menurut Dzū al-Nūn al-Miṣrī, cinta murni adalah cinta kepada Allah yang tidak ada noda di dalamnya. Jatuh cinta dari hati dan badan, hingga segala sesuatu hanya dengan Allah dan hanya karena Allah. Inilah cinta kepada Allah yang murni.
Imām al-Qushairī mengomentari bahwasannya ayat ini menunjukkan ujian seorang mukmin kepada sesuatu yang ia cintai, dan ini tidak membutuhkan banyak obyek yang dicintai sebagaimana orang-orang kafir mencintai banyak berhala. Tetapi bagi al-Qushairī ketika seseorang mencintai sesuatu, dia pasti banyak menyebut-nyebut sesuatu yang dicintai itu. Dan menganggap apapun yang dilakukan oleh yang dicintai adalah sesuatu yang baik.
Dalam hal ini Ibn Muḥy al-Dīn Ibn Arabī menambahkan bahwasannya seorang mukmin karena kebesaran cinta kepada Tuhan-nya maka dia akan mengerahkan semua arwah dan jiwanya untuk mencapai ridhanya, dan meninggalkan semua keinginannya untuk menuju keinginan kasihnya yaitu Allah. Dia akan melakukan sebagaimana yang diridhai Tuhannya meskipun sangat berlawanan dengan hawa nafsunya. Sedangkan Ibn ‘Ajibah menambahkan bahwasannya cinta adalah kecenderungan hati yang dalam dan kedekatan kepada kekasihnya
Ayat yang kedua, yaitu QS. al-Mā’idah [5]: ayat 54;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
Dzū al-Nūn al-Miṣrī hanya fokus pada lafadz
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
ketika menjelaskan ayat ini digunakan oleh Dzū al-Nūn al-Miṣrī untuk menjawab pertanyaan tentang cinta. Cinta adalah engkau mencintai sesuatu yang dicintai oleh Allah, dan engkau membenci sesuatu yang dibenci oleh Allah, engkau melakukan semua kebaikan dan engkau menolak segala sesuatu yang menjauhkan kamu dari Allah, dan engkau tidak takut celaan orang-orang yang lacut demi urusan Allah. Dalam hal ini, Muḥ al-Dīn Ibn ‘Arabī menambahkan yaitu dengan cara melebur/ membuang semua sifat-sifat orang mukmin yang menjadi penghalang untuk bertemunya dia kepada Allah.
Ayat yang ketiga, yaitu QS. Yūsuf [12] ayat 33
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”.
Dzū al-Nūn al-Miṣrī fokus pada
رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ
Menurutnya segala sesuatu ajakan syahwat akan menjadi penghalang dari kesaksian atau penghalang kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Zat yang Haqq. Imām al-Qushairī menambahkan bahwasannya ujian selalu mengeringi setiap usaha. Ungkapan Nabi Yūsuf bahwa penjara lebih ia sukai daripada ajakan mereka (para wanita). Hal ini menunjukkan kebenaran dari ucapan Nabi Yūsuf, kebenaran dari peristiwa penuduhan istri Raja al-Azīz.
Sedangkan Ibn ‘Arabī mengatakan bahwasannya ungkapan Nabi Yūsuf dalam ayat tersebut menunjukkan harapan atau do‟a Nabi Yūsuf kepada Tuhannya agar dipalingkan dari tipu daya dari para perempuan.
Ibn ‘Ajibah menambahkan bahwasannya termasuk adalah perbuatan “faḥishah” yaitu melihat aurat meskipun tidak menimbulkan syahwat dan dari syahwat yang sesaat berdampak pada kesedihan yang panjang. Maka Nabi Yūsuf diuji mendapatkan ujian dengna dikurung di penjara adalah bagian dari terkabulnya do’a Nabi Yūsuf yang mengharapkan bisa terlepas dari tipu daya perempuan. Dan banyak kesabaran suatu saat berdampak pada kenikmatan atau kebahagian yang besar.
Ayat yang keempat, yaitu QS. Ṭāhā:ayat 39
أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ ۚ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي
Yaitu: “Letakkanlah ia (Mūsā) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,
Fokus pada potongan ayat
ۚ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي
al-Nūn al-Miṣrī bahwasannya maḥabbah adalah kecintaan kepada Allah itu bersifat tetap. Dia tidak akan bertambah dengan adanya hal-hal yang bermanfaat dan tidak akan berkurang dengan sebuah kemudharatan. Aku mencintainya, termasuk segala sesuatu yang ada didirinya.
Disamping penjelasan dari ayat-ayat tersebut, konsep maḥabbah Dzū al-Nūn al-Miṣrī melibatkan ketaatan dan kecintaan kepada kekasih-Nya Nabi Muhammad saw., sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imrān [3]: 31. Bagi Dzū al-Nūn al-Miṣrī, maḥabbah merupakan maqamat yang penting dalam menuju ma‟rifah. Cinta kepada Allah harus diwujudkan melalui cinta kepada Rasul-Nya, Muhammad saw.
Cinta adalah membesarkan hal sebesar apapun yang datang dari pecinta dan membesar-besarkan hal sekecil apapun dari sang kekasih.
Jika cinta semua manusia dikumpulkan pada satu obyek, maka masih sangat jauh dari kadar cinta yang harus dipersembahkan kepada Allah.
Dzū al-Nūn al-Miṣrī mengungkapkan syair:
Rasa takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan, ketika meratap dan sedih. Sedangkan cinta cocok buat mereka yang saleh dan benar-benar suci.
Abū Sa’id Ḥamdin al-Kharrāj, sebagaimana dikutip al-Qushairī, menjelaskan bahwa ia mimpi bertemu Rasulullah, ia berkata, “Ya Rasulullah, mungkinkah aku, cinta kepada Allah telah memenuhi hatiku hingga tidak tersisa tempat untuk mencintaimu. Rasul menjawab dengan ayat 31 surat Āli „Imrān, bahwa cinta kepada Rasul adalah jembatan utama cinta kepada Allah.
- Pernah dimuat di Jurnal al Itqan, Vol 3,No1 Januari – Juli 2017, STAI Al Anwar Rembang
No responses yet