Setelah generasi ulama-ulama besar Aceh Syekh Abdurrauf al-Singkili, estafet keulamaan kemudian dilanjutkan oleh ulama yang berasal dari Kalimantan Banjarmasin yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dikenal dengan sebutan Datu Kalampaian. Semenjak kecil Syekh Muhammad Arsyad dikenal sebagai seorang anak yang memiliki kelebihan dari sikap dan pembawaannya yang luhur serta ahli dalam menulis tulisan indah kaligrafi.

Melihat kelebihan-kelebihan tersebut, tertariklah Sultan Banjar Tahlilullah untuk menempatkan Syekh Arsyad kecil bersama dengan kalangan istana dan dididik seperti umumnya anak pembesar istana. Disini mulailah Syekh Arsyad belajar ilmu agama kepada guru-guru yang ditunjuk sebagai pengajar di istana. Pada usia 30 tahun, terpanggillah Syekh Arsyad untuk belajar ke tempat yang lebih jauh, karena mengingat belum ada ulama yang mendalam ilmunya ketika itu di Kesultanan Banjar.

Maka berangkatlah Syekh Arsyad muda ke Mekkah setelah meminta izin kepada Sultan Banjar dan juga isteri Syekh Arsyad yang baru dinikahinya. Berangkatlah Syekh Arsyad dari Kesultanan Banjar dengan harapan suatu saat bisa menjadi seorang ulama yang akan menerangi wilayah Banjar dan sekitarnya dengan ilmu pengetahuan.Setiba di Mekkah mulailah beliau belajar dan memperdalam kajian keilmuannya kepada para ulama yang mengajar di Mesjidil Haram Mekkah. Pada masa itu, banyak sekali para ulama yang mengajar di Mekkah merupakan para ulama besar yang juga pengarang Kitab-kitab dalam Mazhab Syafi’i.

Di antara gurunya yang paling dikenal dalam bidang fikih adalah Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi yang merupakan tokoh hebat dalam Mazhab Syafi’i. Syekh Sulaiman al-Kurdi merupakan pengarang banyak kitab yang paling masyhur adalah Kitab Fawaid a-Madaniyah dan Hawasyi al-Madaniah yang sampai hari ini menjadi rujukan para ulama.Selain Syekh Sulaiman Kurdi, Syekh Arsyad juga berguru kepada ulama Yaman penulis ulasan terhadap Kitab Ihya’ Ulumuddin yaitu Kitab Ittihaf Sadatil Muttaqin yang merupakan karya besar dari Syekh Muhammad Murtaza Az-Zabidi.

Syekh Murtaza Az Zabidi adalah ulama yang dikenal ahli dalam bidang hadits dan tasauf. Selain itu beliau juga berguru kepada ulama Mesir yang menetap di Mekkah yaitu Syekh Abdullah Syarqawi yang juga penyusun kitab syarah untuk Kitab Hikam ‘Athaiyah karya Imam Ibnu ‘Ataillah al-Sakandary.Di antara figur berpengaruh lainnya yang menjadi guru Syekh Arsyad al-Banjari adalah Syekh Abdul Karim Samman yang merupakan mursyid kammil mukammil dan pendiri Tarekat Sammaniyah. Maka pada guru-guru yang telah disebutkan, dan para ulama lainnya Syekh Arsyad belajar dengan tekun dengan penuh kesungguhan selama 33 tahun sehingga telah mengantarkan Syekh Muhammad Arsyad menjadi ulama yang alim ‘allamah atau ulama besar di nusantara.

Setelah masa belajar yang lama, tibalah waktunya Syekh Arsyad pulang ke Banjar kampung halamannya. Namun sebelum pulang, beliau sempat berjumpa dengan adiknya yang bernama Zainal Abidin yang menyerahkan cincin dari anaknya Fathimah yang intinya anak perempuannya Fatimah meminta kepada ayahnya untuk mencarikan jodoh yang baik melalui pamannya Zainal Abidin. Maka pilihan akhirnya jatuh kepada Syekh Abdul Wahab Makassar yang merupakan teman seperguruan yang sama-sama belajar bersama Syekh Arsyad di Mekkah.Selain Syekh Abdul Wahab Makassar, ada beberapa ulama lainnya yang turut belajar di Mekkah segenerasi dengan Syekh Arsyad al-Banjari dan menjadi ulama besar pula seperti Syekh Abdussamad Palembang, pengarang kitab masyhur Sirus Salikin dan Hidayatussalikin.

Sedang yang keempat adalah Syekh Abdurrahman al-Mashri yang berasal dari Betawi Jakarta. Maka empat orang ulama besar tersebut dikenal dengan Empat Serangkai Ulama Nusantara.Ketika tiba kembali di Kesultanan Banjar, setelah masa puluhan tahun yang dilalui di Mekkah dan Madinah, maka Sultan Banjar Sultan Tahmidullah II membuat perayaan besar untuk menyambut kepulangan ulama besar Banjar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Maka dengan sukacita Sultan menyambut kehadiran Syekh Muhammad Arsyad yang kemudian beliau diangkat sebagai Syekhul Islam Kesultanan Banjar atau setara dengan mufti seperti Syekh Abdurrauf al-Singkili pada Kerajaan Aceh Darussalam.

Sultan Tahmidullah II juga seorang yang mencintai ilmu agama, sehingga kemudian beliau juga menjadi murid dari Syekh Arsyad al-Banjari.Sebagai seorang ulama besar, Syekh Arsyad membangun sebuah lembaga pendidikan untuk mengembangkan dakwah islamiyah dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat Banjar. Sehingga tidak mengherankan jika seluruh para ulama yang berada di Kawasan Banjar khususnya Martapura merupakan murid dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Maka atas permintaan Sultan Tahmidullah II, Syekh Arsyad menyusun sebuah kitab melayu terbesar dalam fikih Mazhab Syafi’i yang kemudian dikenal dengan Sabilal Muhtadin yang merupakan ulasan tuntas untuk kitab yang disusun oleh ulama Aceh Syekh Nuruddin al-Raniry yaitu Sirathal Mustaqim.Kitab Sabilal Muhtadin merupakan kitab penting di Nusantara sama pentingnya dengan Kitab Turjuman Mustafid karya ulama Aceh Syekh Abdurrauf al-Singkili. Karena di dalam Kitab Sabilal Muhtadin, terkandung pembahasan fikih secara mendetil dan terperinci.

Dalam menulis Kitab Sabilal, Syekh Arsyad menggunakan kitab-kitab referensi yang mu’tabar dalam Mazhab Syafi’i seperti Kitab Tuhfatul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, Mughni Muhtaj, Fathul Wahab dan karya para ulama lainnya. Kitab Sabilal Muhtadin juga dikaji di berbagai wilayah Indonesia dan bahkan dikaji pula di Malaysia, Brunai, Patani dan wilayah melayu lainnya.Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga dianggap pula sebagi tokoh sentral dalam Mazhab Syafi’i di Indonesia terutama dengan berbagi karya yang ditulisnya tentu menempatkan beliau sebagai ulama kebanggaan nusantara.

Bahkan ulama-ulama Banjar kemudian merupakan anak, murid, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beberapa para ulama terkenal seperti Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari yang merupakan mufti Kerajaan Indra Giri Riau juga keturunaan dari Syekh Arsyad. Bahkan banyak para ulama yang kemudian dikenal di Indonesia dewasa ini merupakan keturunan beliau seperti Kiyai Zaini Abdul Ghani, Kiyai Syarwani Abdan, Kiyai Nuruddin Marbu al-Banjari, Kiyai Muhammad Arifin Ilham, Kiyai Muhammad Bakhit dan banyak ulama lainnya.

Bahkan Guru Zuhdi juga tersambung dalam Madrasah pemikiran beliau dari Syekh Zaini Abdul Ghani yang dikenal dengan Guru Sekumpul yang masih keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Setelah berkiprah secara luas, dan membina masyarakat Banjar Kalimantan dengan segenap ilmu, kesabaran dan pengabdian yang besar, maka pada tahun 1812 wafatlah ulama besar ini dalam usia lebih dari seratus tahun. Atas pengabdiannya yang besar maka masyarakat Kalimantan menyebut beliau dengan Datu Kalampaian seperti Syekh Abdurrauf Aceh yang disebut dengan Teungku di Kuala. Beliau disebut juga dengan Matahari Kalimantan, maka wafatnya beliau merupakan kehilangan seorang guru besar, ayah, pemimpin agama. Rahimahullah Rahmatan Wasia’atan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *