Di saat acara pengukuhan guru besar saya, tiba-tiba saya melihat seorang lelaki lincah yang mengabadikan setiap langkah saya dari gedung rektorat ke gedung acara pengukuhan digelar. Saya tahu sekali lelaki ini. Dia adalah salah seorang alumni pondok pesantren yang sama dengan saya, PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Kehidupan lelaki sederhana ini cukup pantas mewakili contoh manusia penuh semangat untuk maju. Kini dia adalah seorang doktor yang mengabdi di salah satu PTKIS di pondok pesantren Bondowoso.
Saat acara pengukuhan, saya tidak mengundang siapa-siapa karena acara hanya boleh dihadiri keluarga inti. Pak Rektor UINSA, Prof. Masdar Hilmy , begitu disiplin akan aturan prokes pandemi yang berlaku, namun tetap tampil lembut, santun penuh wibawa. Lelaki yang ada di foto ini, walau tak segera boleh masuk ruangan, tak berhenti berputar-putar gedung mencari celah mengikuti acara dan mengabadikan setiap peristiwa. Bagaimana saya tidak terharu dan salut.
Lelaki bernama Ustadz Hasan Sayfullah ini akhirnya bisa berfoto dengan saya. Setengah terengah-engah dia berkata bahwa sesungguhnya ada rombongan 1 mobil dari pondoknya Kiai Salwa Bupati Bondowoso akan hadir ke acara saya ini. Namun karena dikabarkan tidak boleh datang kecuali keluarga inti maka digagalkan. “Saya akhirnya nekad naik sepeda motor sendirian Kiai, untuk hadir ikut acara Kiai. Tadi dicegat polisi, Kiai. Untung setelah saya sebut nama Kiai lalu saya dilepas dan dimaafkan,” katanya. Sungguh saya tak bisa berkata apa-apa kecuali kagum akan “ésto” hatinya. Perjalan 5 jam naik sepeda motor bertarung dengab kenalpot bis, truck, pick up dan lainnya.
ÉSTO adalah istilah bahasa Madura yang sangat dalam maknanya. Ia adalah akumulasi antara cinta dan setia, hormat dan ketaatan. Sebelum berpisah dengan saya, saya bisikkan: “Momen ini tak mungkin saya lupakan.” Dalam hati saya berdoa: “Ya Allah, berikan kekayaan ilmu dan harta untuk hambamu yang menemuiku membawa ÉSTO. Terimakasih ya Ustadz Hasan Syaifullah. Salam, A. I. Mawardi
No responses yet