ini memang semacam permainan logika : Persyarikatan melahirkan aum — aum yang besar kemudian jauh kencang berlari. aum

yang tertinggal, tetap terseok minta dierami —untuk berlari kencang setelah kuat nanti. 

*^^^^*

Salah satu temanku sesama penggiat MUHAMMADIYAH bertanya kepadaku di sela shalat Ashar di masjid depan rumah: ‘apa ada korelasi positif antara aum dan nomor baku MUHAMMADIYAH ? ahhh non sens kataku, meski saya sedikit kaget dan tak mengira pertanyaan itu disampaikan kepadaku meski dengan wajah senyum. Sambil tangannya menenteng sendal kulit buaya kebanggaan karena takut ke injak. Sebentar saya terdiam,  dan tak bisa menjawab hingga tulisan ini selesai dan saya share di blog dan Fb. 

Kebetulan kami berdua mengurus NBM bersama saat allahuyarham Pak AR Fakhruddin menjadi Ketua PP Muhammadiyah 35 tahun silam. selepas kami mengurus wakaf beberapa ribu meter tanah dan dua buah masjid dari keluarga .Jangan tanya senang dan bangganya mendapat NBM di tanda tangan langsung oleh beliau saat itu dengan sepatu sandal kulit kerbau yang agak kusam yang beliau kenakan. 

Sambil menyulut rokok kesukaannya, kawanku bercerita tentang kenangan naik ‘sepur’ ke Joggja ketemu Pak AR Fakhrudin yang kami banggakan itu. Berangkat selepas shubuh dengan bekal tekat karena sangu cekak, tidur malam di emperan masjid kauman yang legendaris itu, semata ingin mendapatkan NBM kebanggaan dan tanda tangan langsung Ketua PP. 

*^^^^*

Banyak kawan mengira para pimpinam organisasi paling modern di dunia ini dapat honor besar, asuransi hari tua, mobil dinas atau fasilitas lainnya — sebab itu Prof Nakamura terkejut saat ta’dzim di rumqh kontrakan pak AR dimana beliau masih jual bensin eceran dan dibonceng ke kantur PP dengan motor Yamaha butut. 

Lantas apa yang membuat istemewa Persarikatan modern paling kaya di dunia ini ? Puluhan rumah sakit modern, perguruan tinggi terbaik, sekolah mewah dan dua mata tombak filantropi MDMC dan Lazis Mu — ? Kembali kepada pertanyaan temen saya tadi : apa ada korelasi positif antara aum dan nomor baku Muhammadiyah ? Tanya temenku sambil tersenyum sangat manis. 

Tulisan ini sebenarnya hanya hendak menjawab keluhan temanku  seorang aktifis dan penggerak Persarikatan tadi sore yang mungkin karena panik dan kebingungan yang sangat saat mengantar kakaknya yang juga seorang aktifis Persarikatan ‘tertolak’ masuk rumah sakit Muhammadiyah karena keterbatasan tempat atau mungkin saja ia kurang terkenal sehingga tidak mendapat perlakuan khusus. Saya pikir ini hanya hal-hal biasa dalam urusan teknis kemudian indah pada akhirnya. 

*^^^^*

Yang saya pahami. Persarikatan ini memang tidak mengenal prinsip : ‘jaga lah dirimu dan keluargamu’ —- tapi:  ‘hidup-hidupilah Muhammaadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah’ adalah prinsip mendahulukan orang lain daripada diri sendiri dan keluarga. Adalah ajaran tentang berkurban. Saya menyebut nya: Filantropi patriotik. 

Prinsip mendahulukan orang lain —inilah yang kemudian saya pahami secara leterlyik, saya lebih mendahulukan saudara-saudara seiman di Palestina ketimbang  memberi honor tujuh orang guru ngaji masjid depan rumah yang telat tiga bulan, 

Lantas untuk siapa ribuan aum itu ? Ini memang pertanyaan menarik meski tidak penting, sebab di Muhammadiyah semua kader diajarkan untuk iklas— tidak boleh pamrih dan mengharap sesuatu, jangan harap ada semacam bilik khusus saat dirawat sakit atau gratis bayar spp meski sudah menempati top level dan punya NBM dobel.

Di tempat ini semua dianggap selevel kecuali pengurus yang bergantian datang dan pergi, jadi tak ada yang digurukan secara permanen. muhammaDiyah memang semacam rumah singgah, bukan tempat tinggal menetap. Jadi boleh singgah sebentar atau singgah seumur hidup tergantung kondisi. 

*^^^*

aum adalah bukti iman atau ilustrasi setelah menyatakan diri percaya, dalam konteks puritan erhic yang mempesona. 

Fungsinya memperindah, pemanis atau asesoris, bukan sesuatu yang harus dinikmati secara fisik— tapi lebih pada kepuasan ruhani. Dipandang, diperbincangkan dan dibanggakan. inilah difenisi sufiistik paling pas meski kaum puritan tak suka tasawuf. 

Kyai Dahlan berkata kepada para kadernya: “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agamamu dengan menyumbangkan jiwamu, jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak tentu kamu akan mati. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama ? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini’. 

*^^^^*

Definisi aum itu adalah sebentuk amal saleh yang dipersembahkan ? Bukan sesuatu yang bisa diminta kembali sebab ‘iklas’ bermakna seperti membuang kotoran di sungai —jadi tak berharap kembali, demikian Ibnu Araby salah satu ulama sufi masyhur mengibaratkan. Artinya setiap aktifis pergerakan itu memang harus merelakan  —termasuk rela tidak kebagian dan tidak mendapatkan ???

@nurbaniyusuf 

Aktifis Pergerakan Muhammadiyah Kota Wisata Batu (KAWEBE)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *