Sejenak membaca dua buku lawas. Pertama, “Babad tanah Jawi” disusun oleh W.L. Olthof tahun 1941. Kedua, “Jalan Kebenaran” ditulis oleh HM. Syolychoen Masykuri pada tahun 1967. Membaca dua buku ini kadang bisa “pening” (terutama yang karya HM. Syolychoen), namun tidak berefek ngamukan.
Berikut kutipan sebagian kecil isinya. Dalam “Babad Tanah Jawi” ditulis, “Inilah babad para raja di tanah Jawa, mulai dari Nabi Adam, berputra Sis, Esis berputra Nurcahya, Nurcahya berputra Nurasa. Nurasa berputra Sanghyang Wening. Sanghyang Wening berputra Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru. Batara Guru berputra lima bernama Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha-Dewa, Batara Wisnu, Dewi Sri. Batara Wisnu menjadi raja di pulau Jawa bergelar Prabu Set. Kerajaan Batara Guru ada di Sura laya.”
Tentu mencermati silsilah tersebut akan mengernyitkan dahi karena mengandung unsur “lain” yang tidak “umum”. Silsilah di atas ada kemiripan juga ada perbedaan dengan buku “Jalan Kebenaran” yang diekstensifkan silsilahnya hingga Imam Mahdi (lihat foto silsilah).
Lalu gemana kisah tenung Kompeni?
Syahdan, di Betawi Gubernur Jenderal Hirpekhoesdiman diberitahu bahwa pasca Prabu Mangkurat di Karta Sura mangkat, putranya yang bernama Adipati Anom menggantikan posisinya. Putranya ini memutus persaudaraan (tidak mau tunduk pen.) dengan Kompeni. Lalu mereka bermusyawarah dengan para pembesar Betawi dan hasilnya, Adipati Anom harus dibunuh secara rahasia.
Dicarilah sosok Tenung yang telah beberapa kali mampu membunuh raja di seberang. Dia bertubuh tinggi besar seperahu kunting dan gimbal rambutnya.
Tenung bergerak ke Kartasura bersama angin. Singkat cerita, akhirnya bertemu dengan paman raja, Pangeran Puger. Pangeran Puger yang sedang di kamar kecil terkejut melihat makhluk yang tak wajar besamya. Pangeran sudah mengira, jika makhluk itu adalah setan brekasakan. Pangeran lalu membaca doa, mendekati Tenung, serta bertanya, “Kamu ini jin atau setan, besarmu tak terhingga?” Tenung menjawab, “Aku Tenung Belanda. Siapakah yang menjadi raja di Jawa?”
Pangeran menjawab, ”Raja saya ada di kedaton.” Tenung berkata sambil membentak, ”Ah, aku tadi dari kedaton. Ada satu orang yang menemui saya, memberi tahu kepadaku, jika rajanya ada di sini.”
Setelah mendengar ucapan Tenung, Pangeran tersenyum (memahami kenapa oleh raja yang di Kedaton si Tenung diarahkan ke dia), lalu Pangeran berkata, ”Insya Allah, ya saya yang menjadi raja, menguasai seluruh tanah Jawa. Kamu berniat apa datang ke sini?” Tenung menjawab, ”Ada yang menyuruh saya mengadu kesaktian dengan Raja Jawa.”
Pangeran Puger tersenyum serta berkata, ”Lha ayo, tunjukkan kesaktianmu. Kau ini lelembut berniat jahat.” Pangeran Puger lalu menderas doa basmalah serta doa bolo sewu serta doa-doa yang lain. Tenung lalu lemas tak berkutik, badannya menjadi seperti anak kecil. komat-kamit tidak bisa berbicara. Matanya mendelik pecicilan.
Pangeran Puger berkata lagi, ”Sekarang kesaktianmu sudah kalah. Pergilah segera. Kembalilah ke asalmu di negeri seberang. Berangkatlah ke utara menelusuri Gunung Kendeng. Sepanjang jalan jangan sekali-kali mengganggu orang….”
Kisah Tenung ini menarik, pertama, bisa jadi asal muasal tenung adalah dari buku lawas ini. Kedua, penjajah (orang luar) bisa mengalahkan kita di saat mereka bisa mengambil kekuatan warga untuk diadu dengan warga lain. Contohnya ya tenung itu, tentu tidak mungkin Kompeni menguasai ilmunya.
Ketiga, masalah pertenungan ini sampai sekarang masih hidup atau malah dihidupkan dalam arti sering ditampilkan dalam bungkus “ruqyah syar’iyyah” oleh pihak yang sering menuduh kita melakukan bid’ah, syirik dan tahayul. Mereka biasanya malah menuduh para suwukers NU saat melakukan pengobatan telah melakukan ruqyah syirkiyyah, dan tidak lupa distempel berteman dengan jin.
Btw, lebih bahaya mana antara berteman dengan jin dengan berteman manusia yang tiap hari melihat liyan sesat?
No responses yet