Oleh: KH Abdul Moqsith Ghazali

“Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan Isa ibn Maryam, membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat. Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Maidah, 46)

Ketika Islam datang di Jazirah Arabia, sejumlah agama sudah tumbuh dan berkembang. Di Madinah atau Yatsrib, sudah ada agama Yahudi. Di Yaman, berkembang agama Kristen, di samping Yahudi. Bergerak ke arah timur menuju Persia, sudah berkembang agama Majusi, Zoroaster. Bahkan, di Mekah sendiri jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir sudah berkembang sekelompok masyarakat yang mengikuti tradisi dan kebiasaan yang ribuan tahun sebelumnya sudah dipancangkan Nabi Isma’il dan Nabi Ibrahim.
Kitab-kitab juga sudah turun. Bahkan, beberapa suhuf juga turun pada Nabi Ibrahim. Sejumlah literatur klasik menunjukkan bahwa tak kurang dari 104 kitab suci yang pernah diturunkan Allah ke bumi melalui sejumlah para nabi. Dari sekian ratus kitab suci itu umat Islam diwajibkan beriman pada empat kitab saja, yaitu Zabur, Taurat, Injil dan al-Qur’an.
Al-Qur’an tak mengklaim bahwa ajaran yang dibawanya merupakan ajaran baru. Ajaran al-Qur’an adalah ajaran yang juga sudah diterakan dalam mushaf-mushaf sebelumnya. Allah SWT berfirman, “sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa” (QS. Al-A’la, 18-19).
Nabi Muhammad SAW pun tidak mengklaim bahwa dirinya adalah yang pertama membawa ajaran itu. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an, “Katakanlah! Aku bukanlah yang pertama di antara rasul-rasul”(QS. Al-Ahqaf, 9).
Al-Qur’an pun tak ragu untuk mengakui eksistensi Taurat dan Injil. Bahkan, al-Qur’an menyebut bahwa dalam Taurat itu ada cahaya dan petunjuk:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta di kalangan mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku, dan janganlah kalian menukar ayat-ayatku dengan harga murah. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah, 44).
Dalam Qur’an juga dinyatakan, “Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan Isa ibn Maryam, membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat. Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik” (QS. Al-Maidah, 46).
Sebelum menjadi nabi, ketika berumur 35 tahun, Muhammad ditunjuk sebagai pimpinan proyek renovasi Ka’bah.
Untuk kebutuhan renovasi Ka’bah itu, Nabi Muhammad mencari tukang dan kayu. Alhamdulillah, dalam waktu singkat, semuanya bisa diatasi. Atap Ka’bah diambilkan dari kapal-perahu kepunyaan pedagang Yahudi di pantai Jedah. Sementara, yang menjadi tukangnya adalah laki-laki beragama Kristen Koptik. Bahu-membahu masyarakat membangun dinding Ka’bah. Sampai pada soal siapa yang harus meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Berbagai kabilah saling berebut hingga terjadi ketegangan yang nyaris berujung pada pertumpahan darah. Setelah empat hari berselisih, maka dicapailah sebuah kesepakatan; Muhammad adalah orang yang tepat untuk meletakkan Hajar Aswad. Lalu Muhammad mengambil batu itu dan meletakkannya di pojok Ka’bah. Renovasi Ka’bah pun dilanjutkan sampai selesai.
Beberapa isi dari “Piagam Madinah” atau “Miytsaq al-Madinah” yang pernah dibuat Nabi SAW adalah: Pertama, bahwa orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama-sama orang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang. Bahwa orang Yahudi Bani Auf adalah adalah satu umat dengan orang beriman. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Islam juga agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka maka orang seperti itu akan menghancurkan diri dan keluarga mereka sendiri.
Kedua, bahwa orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan umat Islam pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri. Mereka harus tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang membuat piagam perjanjian ini. Mereka harus saling menasehati, saling berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan dosa. Tidak dibenarkan bagi seseorang berbuat dosa terhadap sekutunya dan hanya orang terniaya yang harus ditolong, dan orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang beriman selama masih dalam keadaan perang.
Ketiga, bahwa Yatsrib adalah tanah haram bagi orang yang mengakui piagam ini. Mereka yang mendapat perlindungan seperti jiwa pelindungnya sendiri–tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan jahat. Seorang perempuan tidak boleh menjadi menjadi orang yang dilindungi kecuali atas ijin keluarganya. Bahwa di antara mereka harus saling membantu melawan orang-orang yang akan menyerang Yatsrib. Jika para penyerang itu diajak berdamai dan mereka setuju menerima perdamaian, maka persetujuan tersebut dapat diterima. Apabila mereka sendiri mengajak berdamai, maka sambutlah perdamaian itu, kecuali bagi orang-orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
Piagam Madinah itu terdiri dari 47 pasal. Salah satu bagian penting dari piagam itu ialah ketika dinyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya. Itu menunjukkan bahwa spirit piagam tersebut adalah kesetaraan hak dan kewajiban warga negara. Dan tampaknya dari situlah cikal bakal gagasan kesetaraan warga negara bermula di kalangan umat Islam.
Untuk mengukuhkan teologi kerukunan betul-betul terlaksana dengan baik, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan. Ketiga hal ini perlu dilakukan bersamaan sehingga saling memperkuat satu sama lain.
Pertama, pemangku kebijakan harus membuat kebijakan publik yang melampirkan narasi kerukunan dalam batang tubuh undang-undang atau perda-perda yang dibuat pemerintah (al-wazi’ al-sulthani).
Kedua, para teolog dan pemikir Islam pada umumnya harus memperkuat teologi kerukunan untuk menjadi panduan etis masyarakat dalam dalam berelasi antar manusia, antar umat beragama (al-wazi’ al-diny).
Ketiga, tradisi yang menopang tegaknya toleransi dan kerukunan harus terus dipertahankan, dikembangkan dan disebarluaskan ke berbagai pelosok negeri (al-wazi’ al-ijtima’i).

KH Abdul Moqsith Ghazali, dosen tetap Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU dan Ketua Komisi Kerukunan Antar-Umat Beragama MUI Pusat, Periode 2020-2025.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *