Oleh : Muhammad Ngafifudin Yahya, Tim Media dan Informasi ISNU Desa Nogotirto, Gamping, Sleman
Dahulu sewaktu masih SMA, umumnya anak remaja membaca buku seputar motivasi, cerpen dan novel dengan tema asmara saja. Yang membaca buku tentang Biografi, Pemikiran Tokoh bisa dihitung jari. Nah, seiring berjalannya waktu yang melanjutkan di perguruan tinggi sikapnya terhadap buku mulai terpacu. Baik perguruan tinggi negri atau swasta. Yang mula bacanya hanya itu-itu saja, kemudian mereka mulai membaca buku yang dia tidak kenal sama sekali di bangku SMA. Saya ambil contoh Mahasiswa yang berlatar belakang fakultas sosial, mereka harus baca buku-buku sosial juga. Misalnya saja buku bertemakan sosialis. Banyak dari mahasiswa yang ingin tahu tentang itu. Kemudian mencoba mempelajari lewat diskusi-diskusi kecil sampai terjun langsung ke perayaan tanggal 1 mei. Perlu diapresiasi juga rasa ingin tahu mereka.
Bukan dari lulusan SMA saja, bahkan lulusan Madrasah juga demikian. Background mereka ada yang dari santri malah. Tapi apa yang dikatakan oleh para psikolog memang benar, anak umur 19an jiwa muda lagi berapi-api. Bang Haji Roma pun membenarkannya. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang ganjal memang fitrahnya seperti itu.
Keteguhan Ideologi
Banyak, termasuk saya yang waktu itu masih hangat-hangatnya menjadi mahasiswa. Buku yang ditumpuk di meja belajar kebanyakan buku bertema sosialis. Selebihnya ada buku materi kuliah, agama, novel sastra dll. Pokoknya masih bisa dihitung. Tidak tanggung, istilah-istilah pascakolonialisme, post-modern, neo-kolonialisme semua dihafalkan. Diskusi kalau tidak tahu istilah-istilah itu terasa hambar, hanya mangkok kosong.
Fakta-fakta sosial seperti kolonialisme dan kondisi ekonomi desa yang buruk semakin menguatkan ideologi saya. Rasanya benci banget membaca kebijakan pemerintah saat itu. Belum lagi ada oknum-oknum KKN (Korupsi, Kolusi & Nepotisme). Sampai ingin teriak-teriak dan mencaci. Tidak ada yang benar, semua dianggap bagian dari setan desa. Di titik ini saya masih belum sadar dengan moderat. Anggapan saya pada orang yang diam sama halnya pengecut.
Tapi karena kebutuhan yang selalu berubah, saya mulai memikirkan kelulusan dan pekerjaan nantinya. Tepatnya di waktu semester 7 semester 8. Lingkar pergaulan saya pun juga bertambah. Kedekatan dengan keluarga di rumah mulai erat lagi. Saking sibuknya mikir nongkrong dan kuliah dulu mungkin. Titik perubahan itu dimulai dari masuk dunia kerja. Karena teman kerja tidak semua lulusan dari kampus, jadi pembahasan ngopi bermacam-macam. Ada yang bicara soal keluarga, manajemen kantor dan yang paling menyentuh adalah bicara soal agama. Saya pun menikmati lingkungan baru ini. Akibatnya ideologi sosialis saya sedikit-sedikit mulai luntur.
Titik Balik
Sebenarnya saya sendiri lulusan Madrasah dan mutakhorrij pesantren. Hanya saja mulai nyantri lagi sewaktu semester 3 perkuliahan, vakum 1 tahun lebih sedikit. Pesantren salaf ini bisa dikatakan sufisme bagi mahasiswa. Gaya bicara dan bergaul di pesantren yogyakarta ini menggambarkan sikap egaliter. Sederhana, bersahaja dan legowo. Kehidupan santri seakan tidak punya masalah. Selagi bisa ngopi bareng, selalu muncul tawa kecil. Keakraban santri dengan masyarakat membuat saya tambah tertarik. Berbeda sekali dengan ideologi saya diatas tadi. Selalu menunjukkan rasa iri dengki. Maka dari itu setelah lulus kuliah saya masih betah nyantri sampai sekarang. Jangan tanya pekerjaan saya saat ini!
Apa yang saya rasakan tentang titik balik itu ada pada pesantren ini. Kitab akhlaq dan hadis yang sebagian telah dibaca membuka titik balik itu. Yang paling mengerikan bagi saya adalah kitab ihya’. Bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan hanya tawakal dan yakin kepada yang Haq saja. Sementara umumnya kita butuh makan, sandang dan bahkan jabatan. Tapi karena mu’alif-nya (pengarang) adalah beliau Imam Ghozali RA, beliau juga menawarkan hidup kaya dengan syarat yang ketat dan konsekuensi tinggi. Ini baru seper-seribu bagian pembahasan kitab tadi. Masih banyak pandangan jalan hidup sufi yang perlu didalami. Dari sinilah saya mulai memahami tahap demi tahap tentang pikiran orang diam tadi.
Walhasil saya merasa terjebak pada istilah-istilah barat. Istilah-istilah tadi terlahir dari pandangan empiris masing-masing individu. Sementara analogi tiap individu berbeda-beda. Tidak heran jika sering berseberangan. Saya tidak mengajak pembaca untuk tertarik pada sufisme atau hal negatif lain. Juga bukan berarti mendiamkan kelalaian. Karena pesantren juga mengajarkan amar ma’ruf. Penilaian, saya serahkan pada pembaca.
No responses yet