Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Ahli Tafsir dari IAIN Surakarta, Dr. Islah Gusmian MA., mengatakan bahwa tidak ada tafsir yang selesai dan tidak ada tafsir yang sendirian.
“Karena pada akhirnya tafsir itu akan selalu melakukan proses dialektika. Terhadap realitas sosial di luar diri penafsir, bagitu juga di dalam terhadap penafsirnya itu sendiri,” katanya.
Hal ini disampaikan dalam diskusi buku karyanya berjudul “Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia : Peneguhan, Kontestasi dan Pertarungan Wacana” di Sekertariat Islam Nusantara Center (INC), Selasa, (1/10). Hadir juga Prof. Dr. Mn Harisudin M.Fil. I (Dekan Fak. Syariah IAIN Jember) sebagai pembanding.
Buku tersebut, menurutnya, ingin membuktikan bahwa menafsirkan Al-Qur’an itu tidak bisa di ruang hampa. Dia akan berkaitan bersinggungan dengan realitas sosial politik. Begitu juga, penafsir itu berada pada posisi seperti apa, peran sosial politiknya bagaimana, ini mempengaruhi. Ada proses dialektika ketika dia menafsirkan Al-Qur’an.
Karena menafsirkan itu pada hakekatnya adalah pertama membaca Al-Qur’an, memahami Allah melalui pesan-pesan firmannya. Pada saat yang sama dia mendialekkan realitas dengan teks yang dibaca. Begitu juga situasi kebatinan mufasir.
“Sejarah Orde Baru itu memperlihatkan bahwa tafsir-tafsir yang ditulis sepanjang 30 tahun itu melakukan proses dialektika dengan caranya sendiri dengan modelnya yang berbeda-beda,” terang peneliti ahli tafsir jawa ini.
Dengan demikian, maka tidak ada tafsir yang selesai. Tafsir akan selalu berkembang berdialektika, sejauh tafsir itu relevan dengan apa yang dihadapi sejauh itu pula tafsir akan hidup.
“Tetapi jika tafsir tidak ada signifikansi terhadap realitas saya kira akan ditinggalkan orang karena tidak lagi punya makna secara kongkrit dalam kehidupan baik sosial atau politik dimana tafsir itu ditulis,” pungkasnya.(Damar Pamungkas).
3 Responses