“Dadi santri kudu usaha sithik-sithik, kanti niat ngurangi dosane wong awam seng su’udzon karo santri. Tapi yo ojo nemen-nemen olehe usaha, mundak mengko atine condong neng dunyo”.
“Santri harus punya usaha sedikit-sedikit, dengan niat untuk mengurangi dosa orang awwam yang su’udzon kepada santri (yang tidak punya usaha sama sekali). Tetapi juga jangan terlalu berlebihan dalam usahanya, dikhawatirkan hatinya akan condong kepada dunia”.
(Syaikhona Najih pada ngaji Ihya’, Rabu Pon, 20 DzulHijjah 1440 H/ 21 Agustus 2019 M).
Saat itu Senin Wage, 5 Dzul Qo’dah 1440 H/ 8 Juli 2019 M, sekitar jam lima sore saya ikut sholat berjamaah ashar di Musholla Pondok bersama Syaikhona.
Setelah sholat ashar dan saat kembali bersama ke Ndalem Yai, Beliau berkata kepadaku: “Kowe isih duwe duit?”. (“Kamu masih punya uang?”).
Saya menjawab: “Tasih gadah Yai”. (“Masih punya Yai”).
Syaikhona bertanya lagi: “Ono …ewu?”. (Ada …ribu?”).
Saya menjawab: “Tasih”. (“Masih”).
Syaikhona berkata: “Yo iku digawe modal usaha, tapi ojo muk kandakno wong kowe duwe duwit sakmono”. (Uang itu nanti dibuat modal untuk untuk usaha, tetapi jangan katakan kepada orang bahwa kamu punya uang sejumlah itu”).
Setelah mengantarkan Syaikhona ke kamar, saya pun keluar dari Ndalem Yai menuju ke ruang tamu. Saya bermaksud pergi ke daerah Narukan untuk membeli kambing yang akan dibuat kurban. Kebetulan rumah orang yang punya kambing dekat dengan rumah Gus Umam, adik Gus Baha’. Dengan mengendarai sepeda motor, saya bersama kang Affan orang batang berangkat.
Baru sampai Gondanrojo saya ditelpon oleh kakak ipar, Muhammad Dliya’uddin Rojih yang mempunyai akun Facebook Teken Urep. Dalam telponnya, kakak berkata bahwa saya dipanggil (ditimbali) oleh Syaikhona Maimoen Zubair. Saya pun dengan segera balik menuju Ndalem Syaikhona.
Saya langsung menuju ke Ndalem, dan di sana ada kang Jibril, kak Rojih dan satu lagi saya lupa. Saya bertanya memastikan benarkah Yai memanggilku.
Saya kemudian masuk ke kamar dan mendapati Syaikhona sedang istirahat. Saya pun bertanya sambil berbisik kepada santri yang mendapatkan giliran memijat Syaikhona waktu, kang Bagus Panuntun namanya: “Kang, Yai benar-benar memanggilku?”.
Kedua tanganku segera memegang lengan atas beliau seperti biasanya. Beliau kemudian membuka mata dan melihat ke arahku: “Sopo?”. (“Siapa?”).
Saya menjawab: “Wahyudi”.
Beliau pun berkata: “Di, kowe manggon nang Kalongan Yo, Urip Mati nang Kalongan. Nang kono ngaji, ngaji, ngaji karo nyambut gawe”. (Di, kamu bertempat di Pekalongan ya. Hidup mati kamu di Pekalongan. Di sana kamu ngaji, ngaji, ngaji, disamping kerja”.
Saya pun mengadu kepada Yai: “Yai, ting mriko kulo mboten gadah santri, pripun carane ngaji?”. (Yai, di sana saya tidak punya santri, bagaimana saya bisa ngaji”).
Yai berkata: “Angger ngaji, engko ono sing ngrungakno”. (“Yang penting ngaji, nanti akan ada yang ikut mendengarkan ngaji”).
Saya masih ngeyel: “Kulo nyambut gawe nopo?”. (“Saya harus kerja apa?”).
Syaikhona berkata: “Yo delok kiwo tengen, delok sing pantes kanggo kowe opo”. (“Ya lihat kanan kiri, lihat yang pantas untuk kamu apa”).
Setelah itu berkumandang suara adzan, Yai segera berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Kemudian sholat Maghrib di Mushola Pondok. Setelah Maghrib kemudian beliau masuk ke Ndalem, dan masih dawuhan bermacam-macam di ruang tamu. Hanya berdua….Ya ALLOH tiada orang ketiga pun diantara kami selain Engkau Ya ALLOH.
Malam Rabu Pon, saya dan kakak ipar masuk ke kamar minta izin untuk pulang, karena Ibu mertua akan berangkat haji. Beliau belum mengizinkan saya dan bahkan memberi tugas mendoakan orang Jawa Timur selama tiga hari, Rabu, Kamis dan Jum’at. Dan baru diizinkan pulang setelah tugas selesai.
Sedangkan kakak ipar ditanya: “Kapan ibumu mangkat kaji?”. (Kapan ibumu berangkat haji?”).
Kakak pun menjawab: “Sabtu tanggal 17 DzulQo’dah Yai”.
Yai saya lihat menghitung dengan jari-jari tangan beliau: “Isih suwe mangkate, engko nek kurang telung ndino lagi muleh”. (“Masih lama berangkatnya, nanti bila kurang tiga hari baru pulang”).
Kemudian saya pun harus menunggu tiga hari baru bisa pulang ke rumah mertua. Dan Jum’at pagi saya minta izin untuk pulang, saat itu Yai masih berada di ruang tamu Ndalem. Beliau mengatakan: “Sido muleh saiki?”. (“Jadi pulang sekarang?”).
Saya menjawab: “Inggeh”.
Syaikhona pun berkata lagi: “Wis duwe sangu muleh?”. (Sudah punya ongkos untuk pulang?”).
Saya menjawab lagi: “Sampun”. (“Sudah ada”).
Walaupun begitu beliau masih tetap memberi uang sangu, dua ratus ribu. Padahal ongkos sekali jalan hanya sembilan puluh ribu.
Dan saya pun boyong pada malam Sabtu diantar oleh beberapa teman santri, salah satu Maxalmina. Ternyata hari Jum’at itu adalah pertemuan terakhir dengan Syaikhona.
Dan pada malam Senin dua hari setelah di rumah, saya ditelpon oleh Syaikhona. Beliau memberikan tugas sangat penting kepada saya. Dan ternyata itu adalah tugas terakhir yang diamanahkan oleh Syaikhona.
Dua puluh tiga hari setelah saya di rumah, ada kabar dari Sarang akan kepulangan beliau. Ya Allah….
Semoga bisa meneladani beliau.
Kramatsari, Jum’at Wage 21 Agustus 2020 M/ 2 Muharram 1442 H.
No responses yet