Menjadi populer adalah sebuah kenikmatan pada pandangan manusia. Apakah menjadi populer salah? Tentu saja tidak. Yang keliru adalah kalau salah niatnya. Sebab, menjadi populer itu tidaklah mudah dan ringan. Semakin seseorang populer, semakin perilakunya harus senantiasa terjaga. Bukan untuk jaim (jaga imej), tapi semata2 agar keburukannya, tidak menjadi contoh bagi orang lain. 

Sejatinya, popularitas adalah ruang ujian. Orang yg semakin populer, tapi semakin mabuk dgn pujian dan histeria manusia terhadap dirinya, maka semakin berat baginya untuk lulus dari ujian tsb. Bisa juga, nantinya ketenaran tsb, akan perlahan2 menyeretnya dalam ketidakikhlasan dalam beramal dan beribadah. Setiap melakukan suatu kebaikan apapun, mudah terdorong untuk memamerkan dan memperlihatkan amalannya, agar semakin dikenal dan terkenal. Padahal perkara ikhlas dan niat ini sangat berat sekali.

Memang sikap ikhlas adalah kata yg mudah diucapkan, namun sulit diterapkan bagi siapapun. Meski begitu, kita terus ingat dan selalu diingatkan, untuk bisa ikhlas dalam hal apapun. Ikhlas merupakan sifat yg menjadi penentu diterima amal seseorang. Sebaik apapun perbuatan, namun jika tidak dibarengi keikhlasan, maka tak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Harus disadari, bahwa tarikan popularitas itu ibarat rasa lapar, yg tidak pernah mengalami kenyang. Apabila seseorang telah tergoda dgn yg demikian, maka sulit baginya untuk lepas. Dan dapat menjauhkan diri dari keikhlasan serta membinasakan agama dan ibadah seseorang.

Sedangkan, orang yg akan selamat dari ujian ini adalah orang yg senantiasa menyadari dan memahami, bahwa ada tanggung jawab besar di balik popularitas yg ditanggungnya, sehingga ia harus semakin mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon perlindungan dari-Nya dan menjadikan popularitasnya sbg kendaraan atau sarana untuk mengajak orang2 semakin dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Termasuk bagi para penuntut ilmu dan orang2 shalih, bisa jadi juga tidak terlepas dari penyakit ini. Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki Al-Gharnati atau Imam Asy-Syathibi rahimahullah (wafat 1388 M, Granada, Spanyol) dalam kitab Al-I’tisham Asy-Syathibi, pernah mengingatkan bahwa cinta eksistensi (popularitas), akan melunturkan hati mereka.

Maka, seseorang tidak perlu kita mencari2 ketenaran. Akan tetapi, jika ketenaran itu datang tanpa dicari, maka tidak mengapa dan tidak tercela. Apalagi Allah subhanahu wa ta’ala mentakdirkan nama dan peran kita terkenal, pergunakanlah itu sbg sarana bersyukur kepada-Nya, untuk ikhtiar kebaikan dan berdakwah li i’la kalimatillah dan li maslahatil ummah. Tidak usah sama sekali kita ingin tenar di tengah penghuni bumi, inginkanlah ketenaran di antara penghuni langit.

Sesungguhnya, di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak setiap popularitas dan tenar itu adalah suatu pencapaian. Dan tidak dikenal itu bukan berarti kegagalan atau ketertinggalan. Orang2 yg cinta popularitas hanya menjadikan pandangan manusia sbg parameternya. Apa yg tidak menarik perhatian orang banyak, maka ia pun tidak membutuhkannya.

Al-Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau Al-Imam Al Ghazali rahimahullah (wafat 18 Desember 1111 M, Thus, Iran) pernah mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ia cari2, maka itu tidaklah tercela.”

Jika ada seseorang, yg memiliki sikap tidak ingin populer, demi menjaga keikhlasan amalnya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala sangatlah istimewa. Sebab, seolah tak peduli dgn gemerlap mobilitas manusia yg berkelas sekalipun. Karena lebih sibuk mengasah batinnya di hadapan Ilahi. Sebab, di sanalah bisa mereguk kenyamaan dan ketenteraman yg tak terperi dalam samudera kehidupan.

Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari Asy-Syadzili Al-Maliki atau Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari rahimahullah (1250 – 1309 M di Kairo Mesir), dalam kitab tasawufnya yg terkenal, al-Hikam, menulis: 

اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ

“Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yg tumbuh dari apa yg tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna)”.

Secara bahasa, al-humuul artinya adalah kosong, lemah, bodoh, tidak aktif, tidak dikenal, relevansinya bermakna “kerendahan” atau “ketiadaan”. Sementara wujud atau eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya. Dalam istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yg ada dalam dirinya.

Bersuluk pada dasarnya adalah proses menumbuhkan jiwa. Adapun jiwa bagaikan pohon yg tumbuh; jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dgn sempurna. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang2 khusus, yg bersungguh2 meraih ridho Allah subhanahu wa ta’ala, baik dalam kesendiriannya maupun dalam keramaian dunia.

Sebagai makhluk dho’if, tentu kita tidak akan mampu mengenal siapa diri kita, buah takwa apa yg harus kita hasilkan, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala memberi petunjuk, daya dan perlindungan. Selama ini, ego diri kita yg mendominasi dan mengatur siapa diri kita, dan apa yg kita inginkan; sementara Allah subhanahu wa ta’ala-lah yg lebih mengetahui diri kita yg sesungguhnya.

Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Athaillah rahimahullah, mengungkap sebuah kunci laku suluk, agar kita dapat menghasilkan buah takwa yg sempurna, yakni dgn mengubur eksistensi kita, ego kita, dalam bumi ketiadaan. 

Tentu mereka yg mampu menerapkan konsep ini,  juga tidak anti-sosial, karena justru dgn berinteraksi bersama ruang sosial manusia, pesan2 Ilahi bisa disampaikan kepada mereka. Tapi mereka sama sekali tidak bangga dgn sanjungan manusia, karena bukan itu yg mereka tuju.

Dan jika sebaliknya yg terjadi, yakni senang dgn pujian manusia, hal itu menjadi petaka baginya. “Al-isti’nasu bin-nas, min alamatil-iflas (merasa nyaman dan senang bersama (pujian) manusia, adalah sebagian dari tanda kebangkrutan),” ujar Al-Imam Al-Faqih Al-Muhaddits Dzun Nun Abul Faidh Tsauban bin Ibrahim al-Mishri atau Imam Dzun Nun Al-Misri rahimahullah (796 – 859 M / 179 – 245 H Mesir)

Dalam setiap laku amal dalam kehidupan, jangan lupa kita berikhtiarbdan berdoa, agar kita diberi keselamatan dunia dan keselamatan akhirat serta selalu menebar manfaat dan maslahat

اللهُمَّ أَقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَا صِيْكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تَبْلُغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبُ الدُّنْيَا. اللهُمَّ مَتَِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلُهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الْدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Wahai Allah, berikanlah kepada kami rasa takut kepadaMu yg bisa menjauhkan dari perbuatan maksiat kepadaMu, dan berilah kami rasa taat kepadaMu yg dapat memasukkan kami ke dalam surgaMu dan berikanlah kami keyakinan yg bisa membantu kami menghadapi cobaan. Wahai Allah, berikanlah kepada kami kebahagiaan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan kami, selama kami masih hidup. Berikanlah semua itu kepada pewaris kami. Jadikanlah tuntutan atas kejahatan orang yg berbuat zalim kepada kami. Jangan jadikan musibah dalam keagamaan kami, jangan jadikan dunia sebagai tujuan utama kami dan puncak ilmu kami dan jangan kuasakan kepada kami orang yg tidak mengasihi kami”.

Doa dibawah ini adalah dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sbg wasiat kebaikan untuk Sahabat Abu Abdullah Salman al-Khair al-Farisi Abu Abdullah Ibnul Islam, berasal dari Ashbihan atau Salman Al-Farisi radliyallahu anhu (wafat 35 H / 656 M di Madain Iraq), yg termaktub dalam kitab Al-Mustadrak Alash Shahihain karya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi Asy-Syafi’i atau Imam Al-Hakim rahimahullah (321 – 405 H / 933 – 1014 M di Naisabur Iran) riwayat dari Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi) Radhiyallahu Anhu (603 – 678 M,  Madinah)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ صِحَّةً فِي إِيمَانٍ وَإِيمَانًا فِي حُسْنِ خُلُقٍ وَنَجَاحًا يَتْبَعُهُ فَلَاحٌ وَرَحْمَةً مِنْكَ وَعَافِيَةً وَمَغْفِرَةً مِنْكَ وَرِضْوَانًا

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan dalam keimanan, keimanan dalam kebaikan budi pekerti, kesuksesan yg diikuti dgn keburuntungan, dan aku memohon rahmat, kesehatan, dan ampunan dari-Mu, juga keridhaan”. 

Semoga bermanfaat

Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *