Syaikh Muhammad Jamil Jaho atau yang lebih dikenal dengan “Angku Jaho” (wafat 1945) ialah salah seorang ulama besar Minangkabau yang mumpuni dalam beragam bidang keilmuan agama. Beliau dikenal sebagai salah satu diantara sederetan pendiri PERTI dan menjadi “maulana” dalam organisasi itu, selain itu beliau juga mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, sekolah agama bertingkat 7 tahun yang didalamnya dipelajari belasan fak keilmuan Islam dengan memakai kitab-kitab mu’tabar dari matan hingga hasyiyah. Madrasah ini telah benar-benar mampu melahirkan generasi ulama yang berkiprah bahkan ke tingkat nasional.
Syaikh Muhammad Jamil Jaho belajar agama dengan beberapa ulama di Minangkabau dan Mekkah al-Mukarramah. Di Minangkabau, salah satunya, ialah belajar kepada Syaikh Abdullah “Baliau Halaban” (wafat 1926), seorang faqih Mazhab Syafi’i yang dizamannya menjadi pensyarah terbaik Tuhfaturraghibin-nya Imam Mahalli, juga seorang ushuli dan mantiqi. Sedangkan di Mekkah, beliau, Syaikh Jaho, diantaranya belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi yang juga masyhur sebagai faqih dan juga shufi. Belasan tahun lamanya Syaikh Jaho di Mekkah. Bukan hanya belajar agama, beliau juga sempat mengajar beberapa tahun di Tanah Suci tersebut.
Syaikh Jaho ialah ulama yang ‘alim, juga teguh terhadap prinsip agama, di samping sebagai pendidik ulung. Mengenai perempuan misalnya, beliau sangat fokus dalam mendidik “Kaum Ibu”, bahkan anaknya sendiri diantaranya perempuan mampu beliau bentuk/ kader sebagai ulama, beliaulah Syaikhah Hj. Rabi’ah Djamili yang kemudian menikah dengan ulama besar Aceh berdarah Minangkabau, Maulana Syaikh Mudo al-Khalidi Labuhan Haji Aceh.
Masih mengenai Kaum Ibu, Syaikh Jaho sangat memperhatikan pendidikan/ budi pekerti. Dalam salah satu tulisannya Syaikh Jaho mewanti-wanti agar seorang perempuan tidak terlalu “tenggelam” dalam berkarir. Juga dalam hal pakaian, seorang perempuan mesti memakai tutup kepala dan tidak boleh memakai baju hingga lengan (bersingsing lengan). Apabila masih membuka kepala (rambut) dan berpakaian tidak menutup aurat, maka perempuan itu telah masuk dalam maksiat atau keharaman. Sikap beliau ini merupakan sikap tegas terhadap prinsip syari’at. Sesuai dengan Mazhab Syafi’i yang beliau anut, beliau sangat memperhatikan batas-batas aurat seorang perempuan.
Ini alih aksara tulisan Syaikh Jaho dalam Majalah al-Mizan. Tulisan beliau dalam Arab Melayu, dalam konteks membahas “sekolah”, sebagai berikut: “…..dan jikalau ada pada bersekolah itu membawa kepada pekerjaan maksiat, seperti perempuan-perempuan yang sudah besar (mukallafah) masih disekolahkan juga serta tidak ditutup kepalanya atau bersingsing lengan bahunya, tentu saja ketika itu bersekolah masuk di dalam pekerjaan maksiat juga (haram), wallahu a’lam bis shawab.”
No responses yet