Kedatangan orang-orang Arab seperti ditunjukkan LWC. van den Berg bahwa orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, sedangkan kedatangan mereka di Pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana kemudian sebagian menyebar ke Palembang dan Pontianak.[i] Sejak abad yang lalu, di Pulau Sumatera koloni Arab yang besar hanya ada di Aceh dan Palembang. Koloni Arab yang ada di Palembang dianggap yang paling menarik, baik dari sudut pandang sosial maupun dari sudut pandang ekonomi perdagangan. Pada awal abad ke-19, Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin, memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada bangsa Arab untuk menetap di ibukota negerinya.( Van de Berg, 1989: 77) 

Tradisi Intelektual Pasca runtuhnya Kesultanan Palembang

Ketika Kesultanan Palembang jatuh, Sultan Muhammad Badruddin II beserta keluarganya dan pengikut –pengikutnya yang setia berjumlah seluruhnya 142 orang diangkut dengan kapal perang Belanda dalam rangka dibuang ke Ternate. Diantara pembantunya yang setia adalah Habib Syarif Syarif Umar Assegaf yang bertindak sebagai penasehat/mentri Sultan dan juga sebagai menantu Sultan dari putranya Raden Ayu Azimah. Ikut juga anak dan Istri habib Syarif Umar ini dibuang ke Ternate. Mula-mula rombongan ini mampir ke Betawi sebelum ke Ternate. Rombongan Sultan Mahmud Badruddin II yang dibuang ini ternyata diperjalanan oleh Belanda dipecah-pecah dimana ada yang diturunkan di Makassar/Sulawesi, ada yang Manado, ada yang di Rora, ada yang di Timor Kupang dan ada yang di Banyuwangi. Diantara keturunannya di Banyuwangi yang cukup gigih dalam perlawanan terhadap Kolonial Belanda adalah KH SALEH LATENG BANYUWANGI, seorang pendekar sakti keturunan Kesultanan Palembang Sumatera, santri Syekh Kholil Bangkalan. Kakek Kiai Saleh, Ki agus Abdurrahman adalah bangsawan kesultanan Sultan Palembang era Najamuddin yang dibuang oleh Belanda ke Banda Aceh. Ki Agus Abdurrahman ini kemudian menetap di Sumenep dan menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Najihah. Salah satu anaknya yang meneruskan keturunannya adalah Ki Agus Abdul Hadi, ayah Kiai Saleh, yang kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.

Setelah runtuhnya Kesultanan Palembang, beberapa masjid didirikan oleh ulama yang kaya dengan mendapat dukungan dari masyarakat.[ii] Kesultanan Palembang dihapus oleh Belanda pada tanggal 7 Oktober 1823. Mulai saat itu Palembang menjadi daerah administrasi Hindia Belanda dengan Joan Cornelis Reijnst sebagai residen. Pada tahun 1825, I.I. van Sevenhoeven ditempatkan sebagai Residen Palembang.[iii] Sejak jatuhnya Kesultanan Palembang kalangan sayyid mulai mendapatkan tempat yang penting. Kehidupan beragama pada paruh pertama abad ke-19 di Palembang berdasarkan Laporan Tahunan Residen Palembang dari tahun 1834 dan 1835, menyatakan bahwa di Palembang pada waktu itu golongan ulama (priesterstand) cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap pemerintah kolonial.[iv] Kenyataan ini menyebabkan penguasa kolonial tidak menganggap Islam sebagai ancaman terhadap status quo mereka. Akan tetapi, mulai pertengahan abad ke-19 pendapat penguasa kolonial tentang Islam di Palembang mengalami perubahan yang mendasar. Pada 1850, penduduk kota justru sangat shaleh, dan taat memenuhi kewajiban agama mereka, meski belum dianggap fanatik oleh penguasa Belanda.

Perubahan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran para ulama-ulama Palembang  baik yang berada di tanah air maupun di Haramayn. Seperti halnya Syekh Nawawi Banten, Syekh Zainuddin Sumbawa menulis Shiraj al-Huda  sebagai sebuah komentar atas Umm al –Barahain karya Sanusi, dan Minhaj al-Salam, Kiai Rifa’i Kalisalak dengan Tarajumahnya, di Palembang Sumatera Selatan, transmisi Islam mengambil bentuk penerjemahan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Melayu. Seperti ditunjukkan Fathurrahman (2002), para ulama Palembang abad ke-18 dan 19 terlibat aktif dalam menyediakan terjemahan bahasa Melayu atas kitab-kitab standar berbahasa Arab kepada Muslim di Sumatera Selatan, khususnya di Kesultanan Palembang. Syekh Shihabuddin, menulis Syarh Aqidah al-Iman, sebuah terjemahan dari Jauhar al-Tauhid  karya Ibrahim al-Laqanni (Abdullah 1999:28). Syekh Kemas Fachruddin juga menulis Kitab Mukhtasar, terjemahan atas Risalah fi al-Tauhid karya Wali Raslan al-Damashqi. Mereka melanjutkan Sykeh Abussamad al-Palimbani yang menulis masterpiece-nya, Hidayah al-Salikin dan Sayr al-Salikin ditulis didasarkan pada karya al-Ghazali Bidayah al-Hidayah dan Ihya’ Ulum al-Din (Azra 2004: 131; Jajat 2012: 132).

Selain itu, ulama Nusantara juga terlibat aktif dalam persoalan –persoalan agama dan sosial di Tanah Air dengan meminta fatwa para mufti Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas Jawi selain menuntut ilmu keislaman (thalab al-ilmi) dari ulama Mekkah, juga terlibat dalam memintakan fatwa (istifta’) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan agama dan sosial yang diperdebatkan di Nusantara, seperti kitab Muhimmah al-Nafais (Kaptein 1997a; 1995: 141-160), sebuah contoh kumpulan fatwa yang berkaitan dengan Islam di Hindia Belanda pada abad ke-19 yang dikeluarkan mufti Mekkah dari mazhab Syafi’i, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan (1817-1886). Terdapat tujuh kitab karyanya yang beredar di pesantren diidentifikasi sebagai karyanya (van Bruinessen 1995b: 236). Karya lain Ibnu Hajar, Tuhfah al-Muhtaj, adalah salah satu kitab yang sangat bergengsi yang dipelajari di pesantren-pesantren. Tuhfah menjadi referensi utama pengikut mazhab Syafi’i, yang dirujuk oleh ulama Hindia Belanda untuk menyelesaikan kasus-kasus yang sulit (van Bruinessen 1995b: 244-245: Jajat 2012: 134).

Tradisi dan transmisi intelektual tersebut tidak terlepas dari jasa Syekh Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Guru utamanya antara lain adalah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan. Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar murid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.

Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Karya terkenalnya adalah  Tuhfah al-Ragibin fi Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut. Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad fi Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.

Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda. Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti dikutip Azyumardi Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.

Penerus Abdu Shomad dari Palembang antara lain Kiai Muhammad Ma’ruf Palembang, murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang merupakan murid Syekh Abdus Shimad. Salah satu karya Syekh Ahmad Khatib Sambas pada tahun 1870, Fath al-‘arifin (Kemenangan-Kemenangan Kaum Berilmu) telah disalin oleh muridnya dari Palembang, Kiai Muhammad Ma’ruf. (Laffan 2015, 70). Para penerus Kiai Ma’ruf antara lain Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syekh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jember Jawa Timur, Habib Ali al Attas Bungur, Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al Attas Cipayung, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar Kwitang, Habib Abdullah bin Muhsin  dan para habaib dan ulama dari berbagai daerah lainnya di Nusantara (Ubaidillah 2012: 40-42).

Selain itu, ulama Palembang juga menyebar ke daerah lainnya seperti Jambi, antara lain Sayid Ali bin Abdurrahman Al Massawa. Sayyid Ali ini mendirikan perkumpulan sosial pengajaran Islam yang dinamakan “Tsamratul Insan” yang mendirikan beberapa madrasah, Madrasah Nurul Islam dikampung Tanjung Pasir, kota jambi, Madrasah Nurul Iman di kampung Tengah, kota jambi, Madrasah Sahadatul Daran di Kampung Tahtul Yaman, tanjung Johor, Jambi, Madrasah Al Djauharen di daerah pasar, dekat Masjid kota jambi. Ayah Sayid Ali yaitu Sayid Abdurrahman  bin Sayid Ali bin Agil Al Masawa yang juga kelahiran Palembang mempunyai anak dua orang, Sayid Ali dan Sayid Ahmad di Palembang. Sedangkan Sayid Ali bin Agil Al Masawa adalah menantu dan pembantu Sultan Palembang yang ikut dalam pertempuran melawan Belanda hingga tewas tertembak, dan dimakamkan di Kebon Gede, 35 Ilir Palembang. Ketika ayahnya gugur, Sayid Abdurrahman mengembara di daerah Deli Serdang, dekat Medan. Sayid Abdurrahman Al Massawa mengajar dan mendirikan masjid hingga wafatnya di daerah ini, yang kemudian dimakamkan di samping Masjid Deli.

Keluarga emigran al Jufri di Sumatera tersebut datang dari Hadramaut wilayah tengah, dan menetap di Palembang koloni Arab terkaya dan terbesar kedua di pulau itu (setelah Aceh), dengan populasi dua ribu jiwa pada 1885. Walaupun pendatang baru, mereka termasuk dalam lingkaran terkaya di koloni Palembang itu.[v] Keluarga mereka punya ikatan dengan daerah-daerah tetangga, bendahara Petapahan di Siak adalah seorang klan al Jufri (Sayyid atau Muhammad bin Aloui al Juffri), dan kerabat mereka adalah salah satu kelompok paling berpengaruh di Singapura.[vi]

Kebangkitan Jejaring Ulama Palembang

Tahun 1881 merupakan titik balik citra Islam di mata kolonial dimana istilah fanatik baru pertama kali muncul dalam wacana kolonial mengenai Palembang. Penangkapan Syarif Abdullah Al Segaf dipandang sebagai bukti keterlibatan Alawiyin dalam propaganda Pan-Islamistis. Sebenarnya sebagian besar Sayyid tidak turut campur. Akan tetapi, ide bahwa jaringan orang Turki dan Arab secara rahasia terlibat dalam persiapan perang suci, sudah tertanam di benak penguasa kolonial. Selama hari-hari pertama kepanikan, berita menggemparkan dari Sumatera ditafsirkan begitu rupa oleh Batavia, sehingga orang mengganggap telah ditemukan komplotan para pemimpin Arab di Palembang, meskipun pendapat ini segera dikoreksi, pemerintah kolonial tetap menganggap Palembang sebagai pusat perlawanan terhadap negara kolonial, berkat semangat fanatik yang dimiliki penduduk kota.[vii] Sayid Abdullah Al Segaf kemudian diasingkan ke Tondano. Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah mempengaruhi budaya kampung Jawa Tondano dan berhasil mengakulturasi budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan melahirkan budaya jaton generasi ketiga.

Kebangkitan Islam di Palembang mulai terlihat tanda-tandanya antara tahun 1913 dan 1916. Pada bulan November 1913, di Palembang didirikan cabang Syarekat Islam (SI), yang dengan cepat merambat ke pedalaman. Selama tiga tahun, SI amat berhasil di Sumatera Selatan, dan dalam waktu singkat, pimpinan gerakan memobilisir rakyat pedesaan untuk memakai lambang agama meskipun tidak berlangsung lama. Namun, pada tahun 1907, beberapa keluarga Arab telah mengembangkan prakarsa baru di bidang pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab yang bernama Al-Ihsan. Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan nama sama demi kepentingan pendidikan kaum sayid.[viii] Selain sekolah Al-Ihsan, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Arabiyah di Kampung 13 Ulu, tempat tinggal marga Al-Munawar, yang termasuk sayid kelas tinggi.[ix] Di bagian Ulu kota, prakarsa Al-Ihsan diambil alih oleh Sayid Muhammad Al-Munawar, yang pada tahun yang sama mengadakan reorganisai di Madrasah Arabiyah dengan mendatangkan guru dari Jamiat Al-Khair di Betawi.  Dalam era ini pernah terjadi polemic antara Syekh Khatib Minangkabawi dengan Sayyid Usman Betawi dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang serta ulama-ulama Betawi lainnya terkait mendirikan masjid untuk solat Jumaat.

Sementara itu, di Haramayn muncul SYEKH MUHSIN AL MUSAWWA. Ia adalah putra dari Syekh Ali bin Abdurrahman al Musawwa, seorang ulama Yaman yang ke Palembang  pada akhir abad 19. Dilahirkan pada 18 Muharram 1323 H/22 Maret 1905 di Palembang dan wafat 10 Jumadil tsani 1354 H / 28 September 1935 M. Setelah belajar kepada ayahnya, Syekh Muhsin belajar di Madrasah Nur al al  Islam dan Pesantren Sa’adatul al Darain Jambi. Ia juga belajar kepada Kiai Idrus dan KH Syamsuddin di Palembang. Pada 1922 ke Mekkah dan bergabung dalam komunitas al Jawa serta belajar di Madrasah Shaulatiyah selama 6 tahun. Di antara gurunya di Madrasah tersebut adalah Syekh Hasan bin Muhammad al Masysyath, Syekh Dawud ad Dahlan al Makki, Syekh Abdullah bin Hasan al Kuhi, Syekh Habibullah al Syinqithi dan Syekh Mahmud bin Abdurrahman Zuhdi al Bankuki al Makki. (Amirul Ulum, 2015: 119)

Syekh Muhsin juga menimba ilmu di Yaman tempat ayahnya berasal. Tiga bulan kemudian ia kembali ke Mekkah dan mengajar di Madrasah Shaulatiyah. Selain itu ia juga berguru kepada Syekh Umar  bin Abi Bakar Bajunaid al Makki, Syekh Sain bin Muhammad al Yamani, Syekh Muhammad Ali bin Husain al Maliki al Makki, Syekh Khalifah bin Hamad an Nabani, Syekh Abdullah bin Muhammad al Ghazi al Makki, Syekh Abdul Baqi al Lukmawi dan sebagainya. Selain itu ia juga aktif terlibat dalam diskusi terkait masa depan kolonial Belanda di Jawi/Nusantara bersama Syekh Zubair bin Ahmad al Filfulani, Syekh Muhaimain bin Abdul Aziz al Lasemi, dan Syekh Ahman Mansuri dan ulama-ulama lainnya. Dari diskusi-diskusi tersebutlah akhirnya lahir Madrasah Dar al Ulum al Diniyah pada 16 Syawal 1353 dan Syekh Muhsin menjadi Kepala Madrasah. Diantara karyanya an Nafatu al tsaniyah syarh Tuhfatu al Tsaniyah, Wamadkhalu al Wushul ila Ilmil Ushul, Nahju al tafsir Syarh Mandzumah al Zamzami, dan Jam’au Tsamar Ta’liqu ala Mandzumati Manazilil Qamar. Tentang catatan sanad keilmuannya dibukukan oleh Syekh Yasin dalam kitan Fadl al Muhaimin di tarjamah wa Asanid al Sayyid Muhsin.

Sedangkan di Palembang sendiri, pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah di Palembang banyak bermunculan semenjak berkembangnya agama Islam. Yang termasyhur di antaranya Madrasah Al-Quraniah yang didirikan oleh Kamas Kiai H. Muhd. Yunus pada tahun 1920, Sekolah Ahliah Diniah yang didirikan oleh Kiai Masagus H. Nanang Misri pada tahun 1920, Madrasah Nurul Falah yang didirikan KH. Abu Bakar Al-Bastari pada tahun 1934,  dan Madrasah Darul Funun yang didirikan oleh Kiai H. Ibrahim pada tahun 1938  Kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren Sumatera Selatan hampir sama dengan kitab-kitab yang dipakai pesantren-pesantren di Jawa.[x]

Kesamaan kitab-kitab yang diajarkan dengan pesantren di Jawa ini cukup beralasan karena terdapat ulama-ulama yang pernah nyantri di Jawa seperti Pesantren Tebuireng Jombang. Salah satunya adalah KH Muhammad Zen Syukri. Ia adalah santri Tebuireng yang menghubungkan jejaring ulama Jawa dengan Sumatera seperti KH Ibrahim bin Abbul Majid  Jambi. KH Muhammad Zen Syukri, meneruskan ulama-ulama besar palembang antara lain Faqih Jalaluddin, Syihabuddin Abdullah, Syekh Muhyiddin lalu Syekh Kiemas Muhammad, dan yang paling terkenal hingga sekarang dan ajarannya masih terus diamalkan adalah Syaikh Abdushomad Al Palimbani (1704-1775). Kiai Zen Syukri dilahirkan pada 10 Oktober 1919/ 12 Rabiul Awwal dan wafat pada 23 Maret 2012. Atas saran gurunya yakni Syekh Muhamamad Salim Alkaf, seorang Rois Suriyah NU dan salah seorang pendiri NU Palembang, ia nyantri ke Pesantren Tebuireng Jombang. Sebelumnya, karena kehabisan perbekalan, ia belajar di Tegal selama satu tahun yakni 1936, menjadi khadam Kiai. Begitupun ketika di Tebuireng, ia mengabdi kepada Kiai Hasyim Asy’ari sebagai khodam (pelayan) yang mengurus rumah tangga dan menyiapkan pengajian kiai. Ia selalu diajak sang Guru untuk melakukan pengajian keliling di sekitar Jombang, sebagai pembawa kitab, serta membantu semua keperluan gurunya. Selain itu ia juga berguru kepada kiai-kiai yang lain yaitu Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Sansuri.  Pada tahun 1939 kembali ke Palembang, dan bergabung dengan organisasi NU di Palembang, sehingga pada tahun 1943 ia dipilih sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Palembang. Pada saat inilah Kiai Zen Syukri aktif dalam perang kemerdekaan dengan membentuk dan menggembleng Laskarr Hizbullah untuk turut berjuang di medan pertempuran. Selain Kiai Zen Syukri, ulama Palembang yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan adalah Kiai Muhammad Thoyib, dan Syekh Hatmar Rasyid (Kiai Bake’). Keduanya bahkan menghubungkan jejaring ulama santri dengan kepulauan Bangka Belitung bersama Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari yang orang tuanya berada di Bangka.

Disarikan dari buku Masterpiece Islam Nusantara


[i] L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1989), hlm. 74.

[ii] Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1999), hlm. 3.

[iii] Bambang Budi Utomo et al., Kota Palembang: dari Wabua Sriwijaya menuju Palembang Modern (Palembang: Paguyuban Masyarkat Peduli Musi, 2005).

[iv] Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 6; Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan Perkembangan Islam di Sumatera Selatan (Palembang: Yayasan Masjid Agung Palembang, 2001), hlm. 7.

[v] LWC van den Berg, Le Hadramouth el les colonies Arabes dans I’archipel Indoen (Batavia: Imprimerie du gouvernement, 1886), h 226

[vi] JCM Peeters, “Kaum Tua en kaum muda in de residentie Palembang: 1925-1934, (Tesis MA, Universitas Leiden, 1988), h. 14-31

[vii] Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997).

[viii] ARA, Memorie van Overgave Van de Velde: 23

[ix] Pertja Selatan 18, 11 Februari 1928: 2.

[x] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 211.

Berminat? Hubungi ini

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *