Suatu ketika Syaikh Ahmad al-Rifa’i ra berkata kepada murid-muridnya; “belajarlah kalian ilmu [Allah] ini, karena sungguh tarikan-tarikan [jadzabat] al-haq [kebenaran] di zaman kita ini telah menyedikit [qallat]”. Syekh Abdul Karim al-Jili menerangkan bahwa “al-jadzabat” yang dimaksud di situ adalah orang-orang yang jadzab. Jadi, Bahwa mereka, orang-orang jadzab itu, menjadi sedikit di zaman ini tersebab ketiadaan upaya orang-orang untuk meraih sajian Sang Maha Pemurah. Barangkali engkau bisa mengatakan bahwa keadaan itu terjadi karena ketiadaan upaya untuk menghiasi diri dengan akhlak terpuji [tahalli] demi menyambut limpahan tajalli [perwujudan] keilahian.

Bisa jadi istilah “sedikitnya tarikan ilahi [qillat al-jadzabat]” dimaksudkan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’i untuk menyebut sedikitnya penampakan al-jadzabat di mata orang-orang pada suatu zaman. Jadi bukan karena al-jadzabat itu memang telah menyedikit. Soalnya, Allah ta’ala masih terus-menerus “menampakkan diri [tajalli]” dengan seluruh pertampakan-Nya dan melimpahkan macam-ragam bukti nama dan sifat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.

Telah sampai kepadaku [Syekh Abdul Karim al-Jili] kabar dari guruku, Syekh Isma’il al-Jabarti ra. Suatu ketika beliau berkata kepada banyak orang dan terutama murid-murid beliau; “kalian harus membaca kitab-kitab Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi”. Seorang murid lantas bertanya; “bagaimana kalau saya bersabar saja sampai Allah membukakan limpahan-limpahan ilmu-Nya untuk saya, Syekh?”. Sang Syekh menjawab; sesungguhnya sesuatu yang akan engkau sabari [engkau nantikan datangnya] itu adalah apa yang disebut-sebut Syekh Ibnu Arabi di kitab-kitabnya”.

Ada lagi perkataan para ulama lainnya untuk murid-murid dan saudara-saudara mereka, bahwa [membaca kitab-kitab] itu adalah untuk mendekatkan jarak yang jauh dan memudahkan jalan ruhani yang sukar. Sesungguhnya seorang murid akan [mendapatkan anugerah melalui] satu masalah dari berbagai masalah ilmu ilahi, yang mana satu masalah itu tidak akan ia dapatkan dengan mujahadah [memerangi diri sendiri] selama lima puluh tahun. Sebab seorang salik [pejalan ilahi] akan menerima buah perjalanan [suluk] dan buah ilmunya. Di bagian buah ilmu itulah, ia hendaknya menyadari bahwa ilmu-ilmu yang diurai oleh orang-orang yang telah sempurna kedekatannya kepada Allah itu merupakan buah suluk [perjalanan ruhani] mereka dan buah amal ikhlas mereka.

Bukankah ada jarak yang sangat jauh antara amal cacat dan amal ikhlas? Telah tegas bahwa ilmu orang-orang yang telah sempurna kedekatannya kepada Allah itu mewujud di sebagai buah amal [ikhlas] mereka. Sebab ilmu mereka itu merupakan limpahan ilahiah yang datang kepada mereka seturut keluasan wadah-terima mereka. Bukankah ada jurang besar antara wadah-terima orang yang telah sempurna dan wadah-terima orang yang masih memurid dan menthalib [mencari]?

Apabila seorang murid pencari ilmu memahami suatu masalah [suatu ilmu] dari sebuah kitab, maka ia dan penulis kitab itu akan duduk di singgasana yang sama, yaitu singgasana pengetahuan tentang masalah itu. Sehingga apa yang diterima oleh murid sama dengan apa yang diterima oleh sang mushannif [sang penganggit]. Jadi, dapat dikatakan bahwa sang murid menjadi raja [pemilik] ilmu sebagaimana si mushannif juga menjadi raja [pemilik] ilmu itu. Beginilah [hakikat letak] suatu masalah dari berbagai masalah ilmu-ilmu yang terletak di bermacam-ragam kitab-kitab. Sesungguhnya sumber pengambilan-ilmu si murid [yang ia dapat dari membaca kitab-kitab] itu sama dengan sumber yang diambil oleh para pengaggit kitab-kitab [yang dibaca itu].

–Dikutip dari Kitab “Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kulli Maujud“, halaman 38, karya Syekh Abdul Karim al-Jili. Semua tanda kurung dari si bodoh pemilik kitab wajah ini–

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *