Habib Muhammad Ridho bin Yahya dilahirkan di kota Jakarta, pada hari Sabtu (29 Desember 1973) pagi bertepatan 4 Dzulhijjah 1393 H. Ia berkulit sawo matang, berperawakan sedang, dengan janggut dan jambang yang bersambung terpelihara dengan baik. Kumisnya sedang tidak terlalu tipis juga tebal terpelihara dengan baik. Sorot matanya tajam. Cara bicaranya sangat lembut dan penuh keakraban dengan lawan bicaranya meskipun baru pertama kali berjumpa.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya adalah generasi ketiga dari keluarganya yang menetap di Idonesia. Habib Ibrahim bin Zein, yang juga kakeknya adalah orang yang pertama kali menjejaki Indonesia dari Hadhramaut, Yaman. Kakeknya itu punya hubungan erat dengan Kesultanan Palembang Darussalam karena saat mendarat di Palembang diangkat sebagai guru dan penasehat agama bagi Sultan Badaruddin I. Terkemudian, Habib Ibrahim bin Zein diangkat sebagai menantu oleh sang sultan.
Adapun ibunya Syarifah Ruqayyah adalah putri Habib Muhammad Al- Attas. Kakek dari ibunya ini adalah kelahiran Hadhramaut yang menikahi gadis Betawi asal Kebon Nanas, Kebayoran Lama. Kakeknya wafat di Hadhramaut sebelum sempat kembali ke Indonesia untuk suatu urusan di sana.
Masa kecil Habib Muhammad Ridho bin Yahya dihabiskan di daerah Menteng, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Surabaya Timur. Figur awal yang menginspirasinya untuk berdakwah adalah kakak-kakak iparnya sendiri, yakni Habib Ali bin Abdurrahman as-Segaf (Bukit Duri), juga Habib Ahmad bin Muhammad al-Haddad (Bogor), yang merupakan murid dari Abuya Muhammad bin Alawi al-Maliki. Kedua tokoh habaib tersebut adalah motivator utama Habib Muhammad Ridho bin Yahya dalam mengarungi medan dakwah. Tentu saja, sosok sentral baginya dalam mensyiarkan ajaran Rasulullah SAW adalah Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir as-Segaf yang merupakan pendiri Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.
Nasab
Habib Muhammad Ridho bin Ahmad bin Muhsin bin Abdullah bin Ibrahim bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Yahya bin Hasan Al-Ahmar bin Ali bin Alwy bin Muhammad Maula Addawilah bin Ali bin Alwi Ghuyur bin Muhammad Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jakfar Sadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya adalah yang mulia Syarifah Ruqayyah binti Muhammad Al-Attas.
Pendidikan
Guru-guru Habib Muhammad Ridho bin Yahya di Madinah adalah Al- Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith) dan Masayikh Rubath Al- Jufri. Guru-guru dari kalangan habaib Jakarta, antara lain Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir as-Segaf dan Habib Muhamamd al-Hamid. Sedangkan guru-guru dari kalangan ulama Jakarta, antara lain Ustaz Fakrurraji Ishaq, Ustaz Ibrahim dan Ustaz Ismail.
Adapun murid-murid Habib Muhammad Ridho bin Yahya dari kalangan habaib Jakarta, antara lain Habib Muhammad (Al-Khairat, Bekasi), Habib Muhammad bin Ali as-Segaf, dan Habib Zainal Baqadir al-Attas. Dari kalangan ulama Jakarta, murid-murid Habib Muhammad Ridho bin Yahya yakni Ustaz Marzuqi, Ustaz Nafis Qurthubi dan Ustaz Irfan.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya mendapatkan pendidikan agama sejak kecil dari kedua orang tuanya. Orang tuanya secara disiplin tidak membolehkan anak-anaknya untuk ke luar rumah sejak waktu Maghrib. Dalam kesempatan ini, orang tuanya membiasakan anak-anaknya untuk shalat berjamaah, kemudian membaca surah Yasin dan ratib. Kebiasaan inilah yang membuatnya mampu menghafal surah Yasin dan ratib, dan bacaan-bacaan lainnya tanpa harus sengaja menghafalnya.
Pendidikan dasar Habib Muhammad Ridho bin Yahya dilalui di SD Ampyun, Cikini. Kelas 2 SD ia pindah ke SDN 02, Menteng. Lalu menginjak kelas 6, ia pindah lagi ke SD Cidurian, Cikini Raya. Selanjutnya ia menempuh jenjang sekolah menengah pertama dan nyantri di SMP Al-Kamal, Kebon Jeruk, yang dibawah asuhan K.H. Thohir Wijaya. Meningkat ke jenjang sekolah menengah atas, ia belajar di Madrasah Aliyah Tsaqafah Islamiyyah yang didirikan oleh Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir as-Segaf.
Selama di Tsaqafah Islamiyyah ia juga mengaji kepada para ustaz dari kalangan akhwal (orang Indonesia non-Arab), antara lain, kepada Ustaz Hasan, Kiai Ro’i, dan lain-lain.
Antara kurun 1980-an akhir sampai tahun 1990-an awal, semasa bersekolah di Aliyah Tsaqafah Islamiyah, ia juga secara rutin mengikuti majlis- majlis Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir as- Segaf, baik di rumah (Ahad sore) maupun majlis umumnya di Tebet Barat (malam Selasa/Rabu). Terkadang, ia mengaku sampai kehabisan kendaraan umum sepulang mengaji dari majlis Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir as-Segaf.
Selain itu, Habib Muhammad Ridho bin Yahya juga mengaji di tempat lainnya, menjalani kursus, dan menggali macam-macam ilmu yang dirasa diperlukan.
Kemudian pada sekitar tahun 1993, ia berangkat ke Madinah. Tujuannya adalah belajar di Rubath Al-Jufri, di bawah asuhan al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith). Rubath Al-Jufri adalah tempat belajar impian bagi banyak pelajar/santri asal Nusantara. Kurang lebih selama tujuh tahun, Habib Muhammad Ridho bin Yahya mendapat bimbingan al- Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith), terutama dalam ilmu fikih. al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith) sendiri kerap disebut sebagai “Syafi’iyyu Zamanihi” (Imam Syafi’i di Masanya) karena penguasaannya yang amat mendalam di bidang fikih mazhab Syafi’i.
Kitab-kitab fikih yang dibaca, dari jenjang awal sampai lanjutan, antara lain, ar-Risalah, Safinat an-Naja, Mukhtashar Shagir, Mukhtashar Kabir, Muqaddimah Hadhramiyah, Matan Zubad, Muqaddimah Abi Syuja,Fath al- Mu’in, Umdat as-Salik, Minhaj ath-Thalibin, I’anat ath-Thalibin, Tanbih al- Ghafilin, al-Muhadzdzab, dan kitab-kitab fikih lainnya.
Selain ilmu fikih, Habib Muhammad Ridho bin Yahya juga mengaku banyak mendapat pelajaran Sirah Nabawiyyah, yang sudah seperti makanan sehari-hari di Rubath Al-Jufri. Begitu intensifnya pelajaran sirah diajarkan sehingga sehari selesai dipelajari maka pada hari berikutnya diadakan ujian untuk mengetahui penguasaan pelajaran yang diajarkan sehari sebelumnya. Sistem ini juga diterapkan di Rubath Al-Jufri untuk ilmu-ilmu yang lain pula.
Ia juga mempelajari ilmu nahwu dari awal di sana, mulai al-Jurumiyah, Mutammimah, Qathrun Nada, Mulhat al-I’rab, Alfiyah, Awdhah al-Masalik. Selebihnya, ia mempelajari ilmu ushul fikih, dan ilmu-ilmu lainnya.
Selain menerapkan sistem pendidikan sehari belajar-sehari ujian (ikhtibar), Rubath Al-Jufri juga menyelenggarakan ujian mingguan kepada para santrinya, pembacaan kitab Shahih al-Bukhari di malam Rabu, dan muhadharah setiap malam Jumat. Terkemudian, setelah beberapa tahun Habib Muhammad Ridho bin Yahya nyantri, kegiatan muhadharah dan ceramah materi harus didasarkan pada ulasan kitab, misalnya materi fikih dalam Safinah, Zubad, dan lainnya. Ceramah tersebut harus berbekal hafalan dari kitab terkait.
Selama di Madinah, ia juga meminta izin kepada al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith) untuk menimba ilmu (istifadah) kepada para guru terkemuka yang ada di Madinah, seperti Syekh Ahmad bin Muhammad Hamid asy-Syinqithi al-Hasani. Syekh Ahmad al-Hasani adalah ulama besar yang juga menjadi guru bagi al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith).
Habib Muhammad Ridho bin Yahya juga belajar kepada Syekh Shafwan ad-Dawudi, seorang ahli tafsir dan ilmu ushul fikih dengan beberapa karya tahqiq-nya (Mufradat al-Qur’an). Kitab yang dibaca adalah al-Muwaththa Imam Malik, kitab ushul fikih karangan Syekh Shafwan ad-Dawudi, kitab-kitab ulum Qur’an, manaqib sahabat dan tabi’in, dan lain-lain.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya juga mengaji kepada Syekh Muhammad Faal, membaca al-Luma’, dan al-Muwafaqat, dan kitab-kitab lainnya. Ia juga mengaji kepada Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, Habib Muhammad al-Haddar, yang tak lain mertua Habib Zein dan Habib Umar bin al-Hafizh.
Pada tahun 2000, Habib Muhammad Ridho bin Yahya kembali ke Indonesia. Sebelum kembali, ia ditawari keluarga besarnya di Arab Saudi untuk menikahi gadis yang masih kemenakan jauh dengannya. Disampaikan kepadanya jika jadi menikahinya maka akan diberikan toko dan rumah untuk penghidupan di daerah Jeddah. Pokoknya fasilitas penunjang hidup terjamin. Namun, hatinya berkata lain. Ia yang sejak kecil sangat mengidolakan Rasulullah SAW lebih memilih suara kata hatinya untuk untuk mengikuti jejak datuknya itu menekuni jalan dakwah. Ia berpikir untuk apa menuntut ilmu jika tidak diamalkan untuk jalan dakwah.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya sendiri mengaku bahwa sulit untuk melakukan dakwah di Arab Saudi sambil berusaha di sana. Alasan pertama, ia menyatakan bahwa dirinya bukan warga Negara asli Arab Saudi, tetapi seorang Warga Negara Indonesia, sehingga statusnya hanya akan menjadi seorang pekerja. Dalam situasi ini, maka mobilitasnya di sana akan sulit karena harus mengurus banyak izin sana-sini. Aalasan kedua, ia tak membayangkan dirinya akan disibukkan dengan pekerjaan yang menuntut rutinitas yang itu-itu saja. Karena itulah, ia berpikir bahwa cara mensyukuri hidupnya adalah dengan terjun ke medan dakwah, tak peduli dalam keadaan miskin maupun kaya.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya dan kawan-kawan bersama sejumlah lulusan Rubath Al-Jufri membangun sebuah komunitas alumni yang dinamai “Alumni Thaiba” (Keluarga Madinah), yang kadang juga punya kepanjangan “Alumni Thalabah Madinah”.
Meskipun telah menimba banyak ilmu di Madinah, Habib Muhammad Ridho bin Yahya tak pernah haus menimba ilmu. Ia sempat menghadiri taklim- taklim Muallim K.H. Syafi’I Hadzami. Juga bermulazamah dengan Muallim K.H. Maulana Kamal Yusuf. Kepada para guru tersebut ia mengaji secara umum saja tanpa kitab khusus.
Ia juga sempat mengambil gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) di kampus Institut Agama Islam Al-Aqidah, Jakarta.
Aktivitas
Habib Muhammad Ridho bin Yahya langsung turun berdakwah sekembalinya ke Indonesia. Sebelum itu ia menikahi istrinya yang sekarang, yang tak lain adik dari sahabatnya mendiang Habib Mundzir al-Musawwa. Kedua kakak iparnya, yang disebut di muka, turut andil besar dalam memuluskannya terjun berdakwah di Jakarta dnegan cara membawanya dari majlis yang satu ke majlis lainnya.
Kemudian ia juga membuat gerakan dengan berdakwah menjemput bola, dengan bergaul kepada teman-teman lama yang pernah dikenalnya dan sedikit-sedikit agar lebih dekat kepada agama. Hal ini dilakukannya dengan cara merogoh koceknya sendiri untuk dakwah.
Ia kemudian membuka Majlis Dzikir Khatam Quran mingguan dari kampung ke kampong, mulai dari Menteng, Rawa Belong, dan di tempat- tempat lain di Jakarta. Ia juga mengkader beberapa orang santri untuk mengajak umat bergabung dalam majlis tersebut. Ia mengatakan bahwa majlis khatam Qur’an terinspirasi dari kebiasaan di Rubath Al-Jufri yang saban Kamis ba’da subuh mengadakan halaqah membaca Al-Quran dengan membagikan setiap satu juz kepada satu santri, yang dilakukan secara rutin mingguan.
Setelah Majlis Khatam Qur’an berjalan kurang lebih tujuh atau delapan tahun, namanya lalu berubah. Pengubahan nama ini disarankan oleh Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, guru seniornya di Rubath Al-Jufri Madinah, yang di tahun 2003/2004 berkunjung ke Jakarta. Habib Salim asy-Syatihiri mengganti nama Majlis Khatam Qur’an menjadi “Majlis Al-Fath”. Nama ini diambil dari nama masjid al-Imam Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad yang berada di al-Hawi, Tarim.
Kemudian gurunya, Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith) menyarankan agar ia memindahkan pusat dakwahnya dari daerah Menteng ke daerah Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, Jakarta Timur, lokasi Majlis Al-Fath sekarang ini berada. Alasannya, lokasi yang di Menteng dianggap terlalu kecil.
Berkat keberkahan gurunya itu, ia yang saat itu hanya mempunyai uang tak banyak menawar tanah di daerah Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, dengan maksud membeli tanah sekira 100 m2, yang jika tak cukup uangnya maka dicicil. Si pemilik tanah menyetujuinya, bahkan mengatakan bahwa silakan membayarnya kapan saja. Kepindahan Majlis Al- Fath pun dilakukan pada tahun 2009 ke daerah Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur.
Pada saat yang hampir bersamaan, ada seseorang yang juga mendengar apa yang disampaikan Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith), yang kemudian menawarkan tanahnya seluas 6000 m 2 di Citeureup kepada Habib Muhammad Ridho bin Yahya. Setelah beristikharah, tanah di Citeureup itu pun diambil yang kemudian dibangun Pesantren Al-Falah. Nama ini diberikan oleh Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Sumaith).
Majlis Al-Fath sebenarnya sudah membangun kamar-kamar untuk santri mondok sejak di Menteng. Hal yang sama dilakukan saat lokasi berpindah ke Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur. Namun, setelah kamar-kamarnya tak mampu lagi menampung para santri, para santri laki-laki kemudian dipindahkan ke Citeureup, dan para santri perempuan tetap menempati pondok pesantren Majlis Al-Fath yang ada di Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, pada bangunan atasnya. Sedangkan bangunan bawah adalah tempat kediaman Habib Muhammad Ridho bin Yahya sekeluarga. Lokasi pesantren dan kediaman beliau di Dermaga Baru, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur cukup jembar dan asri. Dan setelah lokal-lokal asrama Pondok Pesantren Al-Falah di Citeureup jadi semuanya, santri perempuan juga dipindahkan ke sana.
Pondok Pesantren Al-Falah memberikan pendidikan khusus tahfizh Al- Qur’an 30 juz bagi anak berusia 6-12 tahun. Setelah itu, santri diberikan kurikulum mandiri yang dirancang khusus dengan materi pengajaran kitab- kitab klasik (salaf). Setiap kitab yang dibaca harus selesai dalam waktu paling lama satu semester. Ada pula ikhtibar (ujian) yang silaksanakan di akhir semester. Indikator kelulusan santri bergantung pada empat indikator, yakni kemampuan membaca dengan baik, kemampuan menerjemahkan dengan baik, kemampuan memahami dengan baik, dan kemampuan menyampaikan dengan baik. Jika keempat indikator tersebut mampu dikuasai santri, maka ia dikatakan berhasil (lulus) dalam pelajaran kitab terkait. Nilai kelulusan minimal adalah poin 6.
Santri juga dapat melalakukan akselerasi belajar jika ia mampu dengan cepat mempelajari setiap kitab. Artinya tidak bergantung pada tingkatan kelas. Target belajar setelah 6 tahun nyantri di Pondok Pesantren al-Falah, bagi yang sudah melewati pendidikan tingkat dasar (tahfizh) adalah mampu berbicara dalam bahasa Arab, mampu membaca kitab gundul, mampu ceramah, dan mampu mengajar. Pendeknya santri yang lulus mondok selama 6 tahun sudah dapat langsung terpakai di masyarakat.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya juga membuat modul-modul bahan pembekalan bagi santri yang memuat amalan-amalan yang biasa dilakukan di masyarakat, seperti risalah tahlil, maulid, mengurus jenazah, aturan fidyah, mengurus orang yang sakaratul maut, pembagian zakat, dan sebagainya. Salah satu judul buku modulnya berjudul Latihan Dasar Kepemimpinan Islami, dan buku yang belum diterbitkan berjudul Dasar-dasar Agama.
Pondok Pesantren Al-Falah memberikan ijazah khusus bagi santri lulusannya. Santri juga dibekali kemampuan keterampilan dan wirausaha secara praktik langsung sebagai bekal meneuhi kebutuhan hidup duniawi. Agar lebih lengkap, santri juga dikutkan ujian Kejar Paket C agar mempunyai ijazah seperti siswa di pendidikan umum.
Sikap Dakwah
Jadwal dakwah Habib Muhammad Ridho bin Yahya terbilang padat. Ia sering kali keluar sejak Subuh untuk berdakwah, terutama jika dibarengi dengan shalat Subuh gabungan dan sebagainya. Pilihan jalan dakwah ini menurutnya adalah panggilan hati karena cinta. Cinta itu didorong untuk mengubah keadaan sekitar. Jalan dakwah adalah tanggung jawab setiap orang untuk mengikuti jalan Rasulullah SAW.
Ia juga menekankan bahwa dakwah harus berdasarkan ilmu, namun bukan hanya yang menekankan pada angka, nilai, tetapi pada sikap dan perilaku. Menurutnya ilmu harus disertai dengan suluk dan akhlak. Karenanya jangan pernah mencari kekayaan duniawi dari dakwah. Ia mengenang gurunya, Habib Zein bin Ibrahim bin Smith yang pernah ditawari sebuah mobil limosin di Arab Saudi, namun beliau menampiknya. Kesederhanaan ini juga ditiru oleh Habib Muhammad Ridho bin Yahya yang tak segan untuk membonceng motor ke tempat dakwah yang dituju selama hal itu membuat cepat sampai di tujuan.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya mengatakan bahwa menerapkan amar makruf nahi munkar dalam dakwah tak perlu memukul. Berdakwah harus dimulai dengan cara bertahap, pelan-pelan, dan dengan pendekatan yang mempertimbangkan psikologi massa. Berdakwah kepada para ahli maksiat harus berangkat dari cinta dan sayang kepada mereka sebagai objek dakwah. Jangan sampai orang yang berdakwah merasa lebih baik (afdhal) dari yang didakwahi dan siapa pun karena hanya Allah Swt. yang tahu akhir usia seseorang seperti apa.
Ia teringat pada kisah Imam Ali Zainal Abidin yang selalu pura-pura tak melihat orang yang salah agar tidak merasa dipermalukan. Bukan berarti menyetujui kemaksiatannya. Bacalah keadaan mereka yang perlu didakwahi. Dalam keadaan normal berusahalah berbuat baik dan menolong mereka, asyik mengobrol, dan sedikit-sedikit masukkan nilai agama. Kalau perlu keluarkan modal untuk makanan atau hal lain agar datang simpati dari mereka. Tempat- tempat yang biasa ramai minum-minum atau judi bias diganti dengan meja pingpong dan lainnya. Dengan cara ini, lama-kelamaan mereka yang bermaksiat akan muncul rasa malu sendiri, dan mereka lambat laun akan insyaf dengan dakwah kita. Semua ini terjadi setelah mereka yang sebelumnya tak baik ini dekat kepada kita. Cara dakwah seperti inilah yang dipilih oleh Habib Muhammad Ridho bin Yahya, meskipun ia tak menampik cara lain yang ditempuh oleh pendakwah lain.
Sebab menurutnya dakwah Islam adalah dakwah rasa. Mengajak yang buruk kepada yang baik. Mengubah yang salah menjadi baik. Islam bukan untuk diributkan. Kita harus kembalikan semua konteks persoalan pada pijakan agama. Jangan mudah terpancing untuk berkomentar pada apa yang tidak diketahui.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya selalu merasa dalam kesyukuran selama terjun berdakwah. Ia berdakwah sudah ke seantero Jakarta, Bogor, bahkan mengisi majlis di Malaysia. Kedukaan baginya adalah belum mampu menjadi orang yang lebih baik. Baginya seorang pendakwah harus baik hubungannya dengan Allah Swt. agar saat menyampaikan kepada umat, Allah Swt. menggerakan umat untuk menerima dakwah. Aspek inilah yang menurutnya sangat ingin dicapai olehnya. Ia bercita-cita dapat membuka 100 pondok pesantren sebelum menghadap Allah Swt.
Referensi:
“Habib Muhammad Ridho bin Yahya; Teladani Kehidupan Kaum Salaf” (Laporan Majalah Alkisah, No. 06/Maret 2013).
Sumber : Buku 27 HABAIB BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya Intelektual dan Karya Sosial Habaib Betawi dari Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor: H. Rakhmad Zailani Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh : JAKARTA ISLAMIC CENTRES . [Periset : Andriyansyah, S.Th.I]
No responses yet