Saya ingat sekali kapan saya menulis buku pertama kali, yaitu usia 13 tahun. Buku dengan judul yang “mentereng”, yaitu “Ringkasan I’tikad Ahlissunnah wal Jama’ah”. Saya masih ingat, dan terbayang kuat di kelopak mata, saya menulis buku itu di rumah kos-kosan di Pauah, Kota padang. Saya tulis lepas Isya sampai tengah malam. Ditulis dengan mesin tik. Hanya beberapa halaman, namun sempat saya ajarkan kepada anak-anak murid di Taman Pendidikan al-Qur’an di kampung.

Saya teringat kembali dengan tulisan lama di masa kecil itu. Setidaknya sebagai bukti bahwa semasa kecil saya sudah begitu bersentuhan dengan Akidah Asy’ariyah, karena memang begitu yang diajarkan di surau, dan akidah ini pula yang telah “menerangi” jiwa-jiwa orang di kampung saya. Jauh sebelum saya mengenal raksasa-raksasa seperti Imam Baihaqi, Imam Nawawi, Imam Ghazali, Imam Suyuthi, Imam Ibni Asakir, dan lain-lainnya. Dan kalau mau lebih mendalami segi sejarah, bahwa inilah akidah ulama-ulama besar Minangkabau sejak Islam tertancap kuat di tanah bertuah ini.

Karena teringat, saya mencoba mencari kembali, kebetulan sedang berada di Kampung, teks-teks ketikan “Ringkasan I’tikad Ahlissunnah wal Jama’ah” itu. Kotak lama berisi buku-buku, mulai dari buku ketika SD, Tsanawiyah, dan ‘Aliyah, masih terpelihara dengan baik. Namun, sayang sekali, saya tidak menemukan teks tersebut. Hanya beberapa serpihan teks Sifat Dua Puluh yang saya karang dulu, sempat bersua. Dan mesin tik, alat saya mengetik, masih bagus dan terawat. (fotonya ada di bawah)

*************

Mengenai Akidah Asy’ariyah/ Maturiyah, saya juga teringat dengan buyut saya, yaitu Thaib gelar Inyiak Paduko Alam. Beliau adalah orang siak (labai di surau) yang berasal dari Tarusan, Kamang. Setelah Perang Kamang 1908 beliau mengaji ke Batuhampar (Payakumbuh), mendalami Sifat Dua Puluh. Saya menduga kuat beliau belajar akidah Asy’ariyah ini kepada Syaikh Muhammad Arsyad Batuhampar (w. 1924).

Sudah jamak diketahui bahwa Batuhampar, dengan Kampung Dagang-nya merupakan pusat ilmu al-Qur’an (beserta Qira’at Tujuh), Sifat Dua Puluh, dan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, di Minangkabau secara umum. Bertahun-tahun Syaikh Arsyad belajar agama di Haramain, dan sempat mengambil berkah ke Mesir, Yerusalem, dan Turki. Beliau ialah murid Syaikh As’ad al-Asyi, seorang ahli qira’at tujuh ternama di Mekkah waktu itu. Sedangkan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah beliau mengambil dari ayahnya yaitu Maulana Syaikh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampar (w. 1899), khalifah dari Syaikh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi di Jabal Abi Qubaisy, Mekkah. Syaikh Abdurrahman adalah kakek Bung Hatta. Syaikh Arsyad yang kita ceritakan ini tidak lain ialah paman Bung Hatta, sang proklamator tersebut.

Setelah mengaji di Batuhampar, buyut saya melanjutkan perjalanan ke Payakumbuh, terus ke Nagari Mungo. Di Simpang Mungo Bawah, bila kawan-kawan hari ini melihat ada warung di situ, maka awalnya adalah rumah, di sanalah awalnya buyut saya mengajar Sifat Dua Puluh dengan langgam lama, yaitu didendangkan untuk segera dihafal, lalu disurah/ diuraikan, juga dalam bahasa daerah. Kata orang tua-tua pada saya, banyak yang mengambil Sifat Dua Puluh dari beliau. Sebelum tahun 1920-an, buyut saya mempersunting seorang gadis di Limbabuang, Indobaleh, bernama Kiya dari suku Payobadar. Dari Nek Kiya ini, lahir kakek saya, Haji Idris (lahir 1921, wafat 2014). Saya lama bergaul dengan kakek saya itu. Dan saya perhatikan betul betapa kuat ia memegang prinsip, termasuk soal akidah, dan hal-hal menyangkut pengajian di surau.

Buyut saya tersebut dikenal kiramat bertuah. Salah seorang ulama didikan beliau ialah alm. Tuangku Mudo Baliau Rasyid Zaini (lahir 1916, wafat 2008). Beliau ialah seorang yang istimewa bagi saya, mempunyai pandangan yang tajam, dan pemahaman yang luar biasa soal-soal agama. Saya bermulazamah dengan beliau dari tahun 2003 hingga 2007.

Inilah cerita tentang orang-orang sekeliling saya, yang terkait dengan Akidah Asy’ariyah. Meskipun kekuatan prinsip, teguh keyakinan, dan rajinnya amal shaleh mereka, belum dapat saya penuhi dengan sempurna, setidaknya saya bersyukur, saya lahir di kalangan orang-orang siak yang teguh di atas Aqidah Asy’ariyah, yang tidak lain ialah Ahlussunnah wal Jama’ah sendiri. Semoga tetap istiqamah, “satitiak indak ka ilang, sabarih indak ka lupo,” menjadi “iduik nan ka dipakai, mati nan ka ditompang.”

 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *