Siapa yang tak mengenal Ustad Yusuf Mansur? Ustad kondang asal Betawi ini nama aslinya adalah Jam’an Nurkhatib Mansur. Lahir di Jakarta, 19 Desember 1976. Lahir dari keluarga yang sangat religius, pasangan KH. Abdurrahman Mimbar dan Nyai Hj. Humrifíah. Ia adalah seorang yang multi talenta; pendakwah, motivator, penulis buku, pengusaha, sekaligus pimpinan dari pondok pesantren Daarul Quran Ketapang, Cipondoh, Cikarang Tangerang dan pengajian Wisata Hati.

Sebelum sampai diposisi seperti sekarang, terutama kontribusinya pada ratusan Pesantren Daarul Quran yang dirintisnya di berbagai wilayah di Indonesia; menyekolahkan dan mentahfidkan ribuan santri dlu’afa dengan program wali asuhnya; membangun bisnis dan perekonomian umat; diantaranya PayTren, yang merupakan perusahaan penyedia finansial berbasis syariah dan teknologi yang dibawah perusahaan PT Veritra Sentosa International.

Serta yang sempat mencengangkan saat ia mengumumkan membeli 10 persen saham klub Polandia, Lechia Gdansk, senilai Rp 42 miliar dengan perusahaan Fintek Groupnya. Ustad Yusuf Mansur menambah daftar pengusaha Indonesia yang mempunyai saham di klub-klub olahraga di Eropa dan lainnya yang bertindak pada pemberdayaan ummat.

Ustad Mansur ternyata sejak belia sudah sarat dengan prestasi. Sebelum dikenal sebagai pendakwah kondang, bahkan LSI (2019) merilis namanya masuk dalam lima besar, sebagai pendakwah yang paling dinanti umat islam di Indonesia. Jejak prestasinya mula-mula sudah ditorekan sejak usia 9 tahun. Saat itu beliau masih kelas 4 MI (Madrasah Ibtidaiyah), tetapi ia sudah kerap tampil di atas mimbar untuk berpidato pada acara Ihtifal Madrasah yang diselenggarakan setiap tahun menjelang Ramadan. Saat tamat MI, ia kemudian melanjutkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah) Chairiyah Mansuriyah yaitu lembaga pendidikan yang dikelola keluarganya sendiri, KH. Achmadi Muhammad, kakak dari ayahnya.

Saat itu, Yusuf Mansur adalah siswa paling muda dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Ia pun lulus dari MTs. Chairiyah Mansuriyah tahun pada tahun 1988/1989 sebagai siswa terbaik di usia 14 tahun. Lulus dari MTs. Chairiyah Mansuriyah, ia kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol sebagai lulusan terbaik. Lulusan Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah kuliah di Fakultas Hukum, Jurusan Syari’ah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, kuliahnya terpaksa berhenti di tengah jalan karena ia mengaku lebih suka balapan motor dan belajar bisnis.

Mungkin tak banyak yang tahu, latar belakang pendidikannya sejak usia belia hingga remaja, yaitu saat di bangku MI dan di MTS itu adalah pendidikan berkultur Nahdliyin khas Betawi. Maka tidak mengherankan, kalau ia sejak remaja sudah sangat akrab dengan kitab kuning. Sebab dari kecil ia sudah terbiasa hidup sebagai santri di lingkungan keluarganya sendiri. Karena itu. kendati sudah menjadi tokoh Nasional yang cukup dikenal masyarakat Indonesia, Ia masih mempertahankan tradisi Nahdliyinnya dengan tetap tawadhu dan ta’zhim terhadap para guru dan kiyai-kiyaiya. Baik guru-guru Ibtidaiyah maupun Tsanawiyah. Hal ini terlihat dari caranya yang selalu mencium tangan mereka saat bertemu, serta acap kali ia menyempatkan diri untuk sowan ke Madrasah tempat ia dikenalkan kitab kuning.

Hal lain yang menarik untuk dijelaskan sedikit adalah lembaga pendidikan Islam Chairiyah Mansuriyah, dimana Yusuf Mansur pernah belajar dan tumbuh besar. Pendidikan ini adalah lembaga pendidikan Nahdliyin pertama di Jakarta, yang didirikan oleh Kakek-Buyutnya Ustad Yusuf Mansur (dari garis ibu) yaitu Guru Mansur bin K.H. Abdul Hamid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram), seorang ulama besar asal Betawi yang lahir Tanggal 31 Desember 1878, tepatnya di Kampung Sawah (Sawah Lio) atau yang kini termasuk wilayah administratif Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Bahkan sebelum tahun 1980-an, lembaga pendidikan yang beliau rintis ini langsung dinamakan Nahdlatul Ulama, atau An-Nahdlah. (muslimmederat.net, 19 Juni 2019).

Kakek buyut Ustad Mansur ini pada usia 16 tahun 1894, Guru Mansur pergi ke Makkah bersama ibunya untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama di sana selama empat tahun. Disana dia berteman baik dengan santri-santri Nusantara lainnya, dan salah salah satunya adalah pendiri NU, yaitu Hadratus Hasyim Asy’ari, dan berguru dengan guru yang sama diantaranya pada sejumlah ulama terkemuka, antara lain, Syekh Mahfud At-Turmusi, Syekh Khatib Minangkabawi, Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori, Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami, Syekh Ali Al Maliki, Syekh Said Al Yamani, Syekh Umar Sumbawa, dan banyak lagi guru lainnya.

Ia mendalami ilmu Al-Qur’an dengan memperoleh mandat untuk mengajarkan tiga jenis bacaaan (qiraat) yakni bacaan Al-Quran versi Hafash, Warasy dan Abi ‘Amr. Ia juga mendalami ilmu Fiqih, ilmu Usul Fiqh, beberapa cabang ilmu bahasa (Arab), Tafsir Al-Qur’an, Hadist, serta Ilmu Falaq (astronomi), sehingga di tanah air ia kelak dikenal sebagai ahli ilmu ini. Kemudian pulang ke tanah air dan sempat singgah di Aden/Yaman, Benggala/Bangladesh, Kalkuta/India, Burma/Myanmar, Malaya/Malaysia, juga Singapura.

Di tanah air, Mansur membantu ayahnya berdakwah. Di lingkungan keluarga besarnya, Mansur dikelilingi oleh para ulama besar seperti Syaikh Jumnaid Al- Batawi, KH Mahbub bin Abdul Hamid, KH Thabrani bin Abdul Mugni, H. Mujtaba bin Ahmad, dan lainnya. Karena kedekatannya dengan masayikh NU, terutama dengan Hadratus Hasyim Asy’ari, begitu Guru Mansur sudah memantapkan diri tingga di Betawi, ia langsung mendirikan pendidikan Nahdlatul Ulama. Karena itu tak berlebihan jika yang membawa dan membesarkan NU, terutama manhaj pendidikannya NU pertama adalah kakek-buyut Ustad Yusuf Mansur ini.

Seperti Mbah Hasyim kawan karibnya, Guru Mansur juga ulama yang sangat produktif menulis dan semua hasil karyanya berbahasa Arab, diantaranya yaitu: Sulamu an nairain, Khulasah al jadawil, Kaifiyatu al amal ijtima, khusfif wa al kusuf, Mizanul I’tidal, Washilatu at thullab, Jadwal dawairul falakiyah, Majmu’ arba’ rasail fi mas’alatil hilal, Rub’ul Mujayyab, Mukhtasar ijtima’u an nairain, Tadzkiratu an nafi’ah fi sihati ‘amali as saum wa al fitr, Tudihul adillah fi sihati as saum wal fitr, Jadwal Faraid, Al lu’lu ulmankhum fi khulasah mabahist sittah ulum, I’rabul jurumiyah an nafi’ lil mubtadi, Silsilati as sanad fi ad din wa ittisaluha sayyidul mursalin, Tashriful abwab limatan bina, Jidwal kiblat, Jidwal au kutussolah dan Tathbiq amalul ijtima’ wal khusuf wal kusuf.

Kesamaan lainnya dengan Mbah Hasyim adalah Guru Mansur gemar berdagang, salah satu yang digelutinya adalah berdagang berbagai jenis kain dan pakaian. Dari usaha ini ia membiayai pendidikannya secara mandiri. Karenanya, tak mengherankan ia termasuk tokoh awal yang berkiprah di Nahdlatu Tujjar, sebelum ia aktif di Nahdlatul Ulama (NU). Di Organisasi ini, bahkan ia sempat menjadi Rais Syuriah NU di Batavia dan menjadi salah satu dewan pengarah Muktamar NU ke-3 di Surabaya pada 1928, kemudian mendirikan madrasah NU pada 1930. Tahun 1951, nama madrasah itu kemduian berganti menjadi Yayasan Chairiyah Mansuriyah dan masih eksis hingga kini.

Selain itu, ia juga salah satu pejuang dari Betawi yang sangat diperhitungkan di eranya. Guru Mansur adalah sosok ulama berpengaruh yang berdiri mantap di belakang panji-panji republik. Sebelum atau menjelang kemerdekaan Indonesia, ia kerap dengan heroik menaikkan bendera Merah-Putih, di menara-menara masjid, lalu menganjurkan kepada masyarakat Betawi dan umat Islam untuk melakukan hal serupa. Kala itu tahun 1925, pemerintah kolonial di Batavia bermaksud membongkar Masjid Cikini. Rencana itu tentu saja mendapat reaksi keras dari umat Islam. Guru Mansur menjadi motor perjuangan untuk menggagalkan pembongkaran masjid tersebut.

Gerakan protes yang digalang Guru Mansur ternyata manjur. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, rencana dibongkarnya Masjid Cikini oleh pemerintah kolonial Belanda itu pun akhirnya urung dilakukan. Bersama tokoh Islam lain, Guru Mansur juga menjalin relasi dan berhubungan baik dengan tokoh-tokoh Islam nasional ternama termasuk Syekh Ahmad Syurkati, juga KH Ahmad Dahlan, Muhammad Natsir, KH. Mas Mansur, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, dan masih banyak lagi. (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, 2005:249).

Karena itu tak berlebihan kalau ada pepatah; buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Mungkin ini pepatah yang tepat untuk mengkaitkan hubungan Ustad Yusuf Mansur dengan kakek-buyutnya, Guru Mansur yang tanggal 12 Mei 1967 atau setengah abad lebih silam, wafat dalam usia 88 tahun. Ulama besar panutan umat Islam dan masyarakat Betawi sekaligus pejuang yang gigih membela republik ini. Penulis kira, apa yang sudah dilakukan oleh Ustad Mansur dalam banyak langkahnya yang nyata, para nahdiliyin lain harus mencontoh hal-hal yang positif darinya. Termasuk bagaimana berdakwah yang bisa menembus batas, teruatama masyarakat perkotaan dan melenial.

Oleh karena itu, ada sedikit keganjilan di benak penulis, Ustad Yusuf Mansur nyata dari sisi kultur, keturunan, keluarga, latar belakang pendidikan dan metode dakwahnya yang moderat khas NU, tetapi kenapa kalangan Nahdliyin masih belum memasukanya dalam daftar pendakwah NU? Padahal, selain sisi di atas, kontribusi dan popularitasnya diatas rata-rata pendakwah NU yang lain? Setidaknya ini menurut survey LSI. Penulis khawatir, hal itu disebabkan salah satunya, karena ia hanya berasal dari Betawi? Dan, penulis juga khawatir dengan anggapan bahwa NU itu adalah organisasi Jawa sentris, sehingga lumrah pendakwah potensial dari Betawi seperti Ustad Mansur terlupakan? Wallahu’alam Bishwab.

Pernah dimuat di Tribunnews

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *