Pemikiran tasawuf sunni ortodoks yang hendak dikembangkan oleh Syekh Sholeh Darat memiliki karakter yang khas. Pertama, konstruksi pemikirannya sangat dipengaruhi oleh para ulama sufi sunni pada abad pertengahan. Kedua, berbagai pemikiran para tokoh-tokoh sufi sunni atas didialogkan dengan konteks lokal muslim Jawa melalui publikasi karya-karyanya berbahasa Jawa. Ketiga, proses dialog antara teks dan konteks lebih mengedepankan teks sebagai pemilik otoritas kebenaran dari pada unsur- unsur lokalitas, sehingga konstruksi pemikiran tasawuf Syekh Saleh Darat cenderung kritis dan menolak lokalitas tersebut.(Ali Mas’id, 2011).
Syekh Saleh Darat memberi perhatian serius terhadap perilaku-perilaku sufistik yang berkembang di kalangan muslim tanah air, terutama di Jawa. Ia sangat menyadari betul, bahwa perilaku sufi telah begitu lama melekat dan mewarnai kehidupan muslim di Jawa. Selain itu, perilaku-perilaku sufi muslim Jawa tidak mungkin dihapus dari kehidupan keagamaan mereka sehari-hari. Yang dibutuhkan adalah, bagaimana pelaksanaan praktek-praktek sufisme masyarakat muslim Jawa tersebut tetap dalam kerangka syari’at Islam. Fenomena ini yang mendorong Syekh Saleh Darat banyak menerjemahkan dan memberikan ulasan lanjut atas karya-karya para ulama sufi yang dikenal luas tetap konsisten dengan pelaksanaan syariat, seperti karya Imam al-Ghazali, Ibnu Atha‟illah dan Zainuddin al-Malibari.
Agar komunitas muslim di Jawa tetap dalam kerangka syari’at, maka perlu diberikan pemahaman yang benar tentang arti tasawuf itu sendiri. Tasawuf atau sufisme dalam pandangan Syekh Sholeh Darat tidak berbeda dengan mainstream pemahaman yang berlaku umum di kalangan tasawuf sunni. Bahwa, jantung dari seluruh perilaku sufistik adalah mendapatkan keridlaan Allah SWT yang bertumpu para akhlak paripurna. (Sholeh Darat, tt: 106)
Untuk mendapatkan akhlak paripurna tersebut, setiap muslim dapat mengikuti perilaku sufi yang selama ini diimplementasikan oleh para wali (waliyallah) dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perilaku sufi dimaksud adalah perilaku-perilaku khusus yang dalam tradisi tasawuf sunni dikenal sebagai tangga-tangga (al-maqamat). Bagi Syekh Sholeh Darat, setidaknya terdapat sembilan tangga yang harus dilalui oleh setiap muslim maupun para sufi yang bermaksud mendapatkan kerelaan Allah sebagaimana yang dilakukan para sufi. (Ali Mas’ud, 2011)
Pertama, taubat yang bukan saja penting dan tidak boleh ditinggalkan bagi pelaku sufi yang menginginkan akhlak paripurna. Lebih dari itu, taubat merupakan satu kewajiban fardhu ‘ain yang melekat dalam diri setiap muslim. Status fardu ‘ain muncul sebagai konsekuensi dari kehidupan muslim tanpa terkecuali yang mustahil lepas atau terhindar dari maksiat. Pertaubatan seseorang termasuk nasuha selama disandarkan pada tiga persyaratan, yaitu penyesalan yang melatari pertaubatan seseorang hanya semata-mata ditujukan kepada Allah semata, memiliki komitmen untuk meninggalkan bukan hanya kemaksiatan yang telah dilakukan, dan taubat juga harus menyertakan “nejo tinggal duso selawase umure ingkang bakal teko, lan ora pisan-pisan nejo bakal ngelakoni maksiat”, bahwa muslim atau salik yang bertaubat harus memiliki komitmen tidak akan melakukan kemaksiatan yang sama sepanjang hayatnya.
Kedua, Qana’ah, memiliki arti beragam, termasuk di dalamnya, menerima sedikit atas apa yang diberikan (nrimo kelawan sekedik sangking peparing), tidak berharap pada sesuatu yang tidak ada dan mencukupkan diri atas apa yang ada (ora ngarep-ngarep barang kang ora ono lan ngalap cukup barang kang maujud), menghilangkan berharap pada sesuatu yang tidak dapat dicapai (ngilangaken tamak ing dalem barangkang ora hasil), atau tidak kebingungan ketika barang yang dimilikinya hilang dari genggaman (anteng atine nalikane kesepen ing barang kang wus kulino).
Ketiga, Hidup sederhana (qana’ah) tidak akan dapat sempurna jika tidak disertai dengan perilaku zuhud. Kehadiran zuhud dapat memperkuat fungsi qana’ah yang mengantarkan muslim atau salik tidak terjerumus pada belenggu kemewahan dan harta benda yang dimilikinya, sehingga dapat melupakan Allah sebagai Tuhannya. Zuhud dapat dimaknai sebagai perilaku seorang muslim atau salik yang melepaskan diri dari keterkungkungan harta benda (sepine kumanthil kanthile ati kelawan arto), meski pada saat yang bersamaan muslim atau salik tersebut bergelimang harta.
Keempat, menuntut ilmu (ta’allum al- ilma). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki maupun perempuan tanpa terkecuali. Alasannya, seluruh amal perbuatan ibadah tidak akan absah, selama tidak disertasi dengan ilmu (ora sah amal yen ora kelawan ilmu). Kelima, Konsistensi melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Selain itu, seorang pelaku sufi (salik) dalam menjalankan amalan-amalan sunnah tersebut juga diharuskan tetap menjaga etika sebagai telah ditentukan oleh Muhammad melalui perilaku-perilakunya. Harus dipahami, seluruh amal perbuatan sunnah hanyalah menjadi salah satu jalan menuju pada Tuhan (al- tariq ila Allah). Tidak ada jalan yang benar-benar mengantarkan salik sampai kepada Tuhan-nya, kecuali Sunnah Muhammad.
Keenam, berserah diri atau tawakkal. KH. Saleh Darat menyatakan bahwa tawakkal menunjuk pada berserah diri kepada Allah (pasrah maring Allah) dalam semua perkara yang melekat dalam diri seorang salik. Lebih lanjut dikatakan, tawakkal hukumnya wajib ‘ain bagi setiap muslim atau pelaku sufi. Tawakkal bukan semata-mata merupakan bagian dari dunia sufi semata, tetapi ia juga memiliki kaitan erat dengan teologi (akidah) Islam. Ketujuh, ikhlas yang berarti semata-mata mendapat kerelaan Allah. Seluruh amal perbuatan yang dilakukan pelaku sufi semata sebagai manifest kecintaan kepada Allah (muhung nejo demen ing Allah), dan mendekatkan diri kepada-Nya (nejo keparek ing Allah), tanpa ada kehendak sedikitpun untuk mendapatkan surganya (ora nejo suwiji-wiji sangking suwarga) atau menjauhi neraka (melayu sangking neroko). Bukan pula, amal ibadah sekedar untuk menggugurkan kewajiban maupun manifestasi dari rasa syukur atas nikmat yang diberikan.
Kedelapan, tangga selanjutnya yang harus dilalui pelaku sufi adalah ‟uzlah yang secara sederhana dimaknai sebagai “hidup menyendiri”. Uzlah, bukan berarti pelaku sufi harus mengungsi ke puncak gunung untuk menyendiri. Namun, yang dimaksud adalah tidak bergaul dengan orang-orang yang berbuat kerusakan (la tahsiban kana ahl batalah) dan orang yang selalu mempermudah dalam agama (tasahul fi al-din). Kesembilan, menjaga waktu yang dipahami sebagai usaha serius pelaku sufi dalam mengisi waktu yang dimilikinya untuk melakukan ibadah kepada Allah semata. Sebaliknya, pelaku sufi akan menghindari semampunya melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya, baik terkait dengan urusan dunia maupun akhiratnya.
Pemikirannya Syekh Sholeh Darat yang begitu mendalam tentang tasawuf tidak hanya menghadirkan sikap atau pemikiran yang toleran terhadap adat istiadat atau tradisi keagamaan lokal. Sebaliknya, Syekh Saleh Darat dikenal sangat gigih menentang tradisi-tradisi lokal yang selama ini berkembang di Jawa, seperti selamatan bagi orang yang telah meninggal dengan berbagai variannya. Menariknya, penolakannya terhadap tradisi lokal bukan didasarkan atas argumen bid’ah sebagaimana dilakukan oleh kalangan Salafi-Wahhabisme, melainkan para ulama pendahulu, seperti al-Ghazali, al-Malibari, al-Junayd, al-Asy‟ari, yang menurutnya para sholihin tidak pernah melakukan atau menjalankan ritual yang sama.
Dalam kesimpulannya, Ali Mas’ud memberikan proposisi teoritik yang berbeda berkenaan dengan pemikiran tasawuf Syekh Sholeh Darat, yaitu pemikiran tasawuf sunni ortodoks memiliki karakter atau ciri khusus yang khas, yaitu tasawuf sunni fundamentalis. Sedangkan secara ontologis, tasawuf Syekh Sholeh Darat berakar pada al-Qur‟an dan al-Sunnah Muhammad. Syekh Sholeh Darat juga berhasil mendialogkan pemikiran para tokoh-tokoh sufi sunni dengan konteks lokal muslim Jawa pada abad ke-19, melalui publikasi karya-karyanya dengan menggunakan bahasa Jawa. Selain tetap mempertahankan aspek-aspek doktrinal tasawuf yang dipahami sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Jawa saat itu, dialog teks dan konteks juga menghasilkan unsur-unsur keagamaan lokal menjadi bagian dari warisannya untuk membentuk jatidiri bangsa.
Bersambung ke Bagian 4
No responses yet