Oleh : Dr. H. Muchlis M. Hanafi, M.A*

Salah satu persoalan klasik yang kontroversial di kalangan cendekiawan ataupun masyarakat awam, khususnya di internal kelompok Islam adalah konstruksi atau bangunan Negara Islam. Diskursus ini menarik diperbincangkan dalam wilayah ilmiah, mengingat posisi Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya yang berperan sebagai seorang nabi dan rasul, dan pada saat yang sama beliau juga menjadi seorang pemimpin sebuah komunitas masyarakat.

Pergolakan pemikiran ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah perdebatan klasik seputar hubungan antara agama dan politik atau agama dan negara. Disamping itu, ada sebuah pertanyaan mendasar, apakah kerasulan Nabi Muhammad Saw di muka bumi ini memiliki kaitan erat dengan masalah politik secara terperinci, seperti bentuk dan dasar-dasar bernegara, ataukah kerasulan Nabi Muhammad Saw hanya sekedar membawa segumpal ajaran yang memuat nilai-nilai kepemerintahan dan kenegaraan, yang di kemudian hari tercermin salah satunya dalam konstitusi Piagam Madinah.

Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Islam

Dalam rangka membangun masyarakat yang harmonis di Madinah, Rasulullah membuat perjanjian antara umat Islam dengan penganut agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Seluruh elemen masyarakat yang ada dipersatukan dan diikat dalam perjanjian untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis, saling menghormati antara satu dengan lainnya.

Salah satu bentuk piagam perjanjian yang sangat populer sebagai dasar kehidupan bermasyarakat adalah Piagam Madinah (Mistâqul Madînah). Piagam Madinah mengatur hubungan kemasyarakatan menurut ajaran Islam, dan hubungan antara masyarakat Islam itu dengan negara. Piagam Madinah ditulis dalam 47 pasal. Dari 47 pasal tersebut, KH Hasyim Muzadi meringkasnya menjadi lima poin.

Pertama, Ukhûwah Islȃmiyah. Umat Islam yang terdiri dari berbagai suku, harus ada kesepahaman memory of understanding, kalau dikalangan mereka terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan, dan perbedaan tidak boleh diganti menjadi pertikaian, karena perbedaan itu boleh sedangkan pertikaian itu haram. Kedua: bagaimana umat Islam yang mayoritas berhubungan dengan orang-orang Yahudi dan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal keyakinan, masing-masing pihak harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat, warga non-Muslim memperoleh hak-hak yang sama sebagai warga negara dengan umat Islam tanpa diskriminasi. Ketiga: umat Islam dan warga non-Muslim bersepakat untuk membela Kota Madinah, bersatu dalam melawan serangan dari luar secara bersama-sama (nasionalisme). Ketika Madinah diserang, maka seluruh elemen masyarakat, terlepas dari perbedaan agama dan suku, bersatu padu melawan pihak yang menyerang. Keempat: kewaspadaan terhadap persatuan dan kewaspadaan terhadap serangan dari luar. Rasulullah Saw selalu mengingatkan terus menerus agar tidak terjadi pelanggaran perjanjian dan pengkhianatan. Jadi negara tidak boleh tidak memiliki kewaspadaan. Kelima: seluruh warga Madinah harus memiliki perasaan sama-sama orang Madinah. Ada sifat kebangsaan dan nasionalisme-nya.

Dalam teks Piagam Madinah tidak disebut secara eksplisit bentuk negara tertentu yang disepakati, apakah Kerajaan, Republik, Negara Bangsa, Negara Agama, Negara Kesatuan, Negara Serikat atau lainnya. Kalau begitu, bagaimana dengan gagasan yang diusung oleh sebagian kelompok Muslim di Indonesia saat ini untuk menegakkan sistem khilâfah dalam kehidupan bernegara?.

Islam dan Pancasila

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat suatu pengakuan yang rendah hati dan penuh syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur mengandung kewajiban moral yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa, bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan yang mengatasi semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam sejarah perkembangan kebangsaan Indonesia menyiratkan suatu sikap kejiwaan yang berbeda dengan perkembangan nasionalisme di Eropa. Dalam pengalaman Eropa, seperti ditulis Rupert Emerson, munculnya nasionalisme (sekuler) berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama. Dalam sistem pemerintahan sekuler, agama tidak diberi peluang dan ruang gerak untuk melakukan campur tangan dalam ranah urusan politik dan masalah kenegaraan. Tidak ada poros atau ikatan hubungan konstitusional, struktural dan fungsional sama sekali antara agama dan negara.

Dalam lintasan sejarah Nusantara, agama tidak pernah sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Masyarakat kepulauan ini pun tidak pernah berpengalaman sepahit Eropa dalam hal keterlibatan agama di wilayah publik.

Para Pendiri dan Tokoh Bangsa Kita Telah Menemukan formulasi yang sangat indah menyangkut hubungan antara agama dan negara. Negara Indonesia, berdasarkan Pancasila — sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” — bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti dikatakan Roeslan Abdoelgani, ‘secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan agama’. Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara tidak di dikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan, Indonesia bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama (teokrasi).

Patut direnungkan bersama pesan bapak proklamator Indonesia, Bung Hatta, yang disampaikan pada tahun 1976, agar umat Islam dalam memperjuangkan cita-cita pembangunan di negeri ini memakai “ilmu garam”, terasa tapi tidak kelihatan. Bukannya “ilmu gincu”, kelihatan tapi tidak terasa. Ketika garam larut dalam makanan bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita rasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya gincu yang dipakai kaum perempuan, terbelalak merah di bibir, tetapi tuna rasa.

Ungkapan ini menjadi panduan yang teramat penting bagi strategi kultural, yang harus direnungkan umat Islam Indonesia, dan siapa pun yang akan berkontribusi dalam pembangunan di negeri ini. Kita tidak perlu lagi menguras energi untuk mempertentangkan Islam dengan Pancasila, dalam konteks hubungan Islam dan keindonesiaan, karena memang tidak bertentangan.

Hanya di tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab Pancasila menyimpang dari fungsinya yang sejati. Pancasila merupakan faktor pemberi warna dan corak utama kepada setiap gagasan politik atau sosial yang tumbuh di atas buminya. Sejalan dengan pandangan Bung Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan bangsa.

Tugas kita saat ini, dalam membangun bangsa dan negeri, adalah mengisi Pancasila dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, sumber hukum, dan doktrin eskatologis yang tidak mungkin diberikan filsafat ciptaan manusia.

Mengapa Bukan Khilafah?

Sebagai bangsa yang sangat majemuk, dari segi agama, budaya, suku dan bahasa, kita telah bertekad untuk hidup bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menghargai kebhinekaan. Demikian pula bangsa-bangsa lain. Realitas seperti ini tidak bisa dipungkiri. Sebuah pilihan yang harus dihormati. Atas dasar itu, mengharapkan sebuah kepemimpinan politik tunggal (khilâfah) bagi seluruh wilayah dunia Muslim, seperti di masa lalu, dalam konteks kekinian adalah sebuah utopia.

Realitas kaum Muslim di berbagai kawasan telah mengadopsi konsep negara bangsa dengan wilayah geografis dan pengalaman sejarah yang berbeda. Oleh karenanya, berbagai upaya untuk membangkitkan kembali sistem khilâfah setelah runtuhnya Ottoman tahun 1924 selalu menemui kegagalan.

Kita menyadari, keberadaan sebuah kepemimpinan yang mencerminkan persatuan dan menjamin kemaslahatan Islam dan umat Islam sesuai nilai-nilai profetik (alâ minhâj al-Nubuwwah) sangatlah penting. Konsep imâmah atau khilâfah dalam Islam, seperti kata al-Mawardi, seorang pakar politik Islam klasik, berfungsi sebagai “hirâsatuddîn wa siyâsatuddunyâ” (memelihara agama dan mengatur dunia). Tetapi dalam rinciannya, Islam tidak menetapkan nama dan bentuk pemerintahan tertentu. Jadi nama khilâfahbukanlah sesuatu yang sakral dalam agama. Yang terpenting adalah hakikat dan tujuannya untuk menjamin keberlangsungan agama dan kemaslahatan umatnya.

Cendekiawan Muslim terkemuka, Syafi`i Ma`arif dalam bukunya yang berjudul Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996) menyatakan, citra umat Islam di masa awal-awal adalah berjaya dalam bidang politik, yang semula terinspirasi dari kesuksesan Nabi Muhammad Saw di Madinah. Dalam kehidupan bernegara Islam mengajarkan prinsip-prinsip yang harus wujud, misalnya, pertama, prinsip kepemimpinan (Qs. Ali Imrȃn/3: 118).

Kedua, prinsip musyawarah (Qs. Ali Imrȃn/3: 159). Ketiga, prinsip rajutan tali persaudaraan dan persatuan di antara sesama mahluk Tuhan (Qs. Ali Imrȃn/3: 103). Keempat, prinsip persamaan (Qs. al-Nisȃ/4: 1). Kelima, prinsip membela yang lemah dan miskin serta menjaganya (Qs. al-Mȃ`idah/5: 2). Keenam, prinsip membela dan menjaga wilayah (negara) tempat tinggal (Qs. al-Taubah/9: 38 dan lain sebagainya.

Dalam konteks ini, buku ini yang ditulis oleh Muhammad Makmun Rasyid memberikan kritik terhadap pandangan kelompok masyarakat yang mengusung konsep khilȃfah dalam konteks kekinian. Penulis buku ini mengakui bahwa demokrasi yang dipilih masyarakat Indonesia dan ditopang oleh ideologi Pancasila bukanlah ideologi yang sempurna dan bersifat mutlak. Tetapi untuk saat ini, itulah yang ideal di dalam menjaga kestabilan, merawat kebinekaan dan menjaga keharmonisan umat beragama.

Sistem khilȃfah, menurutnya, hanyalah utopia dan mengklaim ideologi khilȃfah sebagai ajaran yang diperintahkan oleh agama sangatlah tidak berdasar sama sekali. Pancasila dipandang ideal untuk dijadikan payung bernegara dan berbangsa. Soekarno saat mengutip Ernest Renan dalam Tjamkan Pantja Sila! Pantja Sila Dasar Falsafat Negara (Jakarta: Departemen Penerangan, 1964) mengatakan:

“Djadi gerombolan manusia meskipun agamanja berwarna matjam-matjam, meskipun bahasanya bermatjam-matjam, meskipun asal turunannja bermatjam-matjam, asal gerombolan manusia itu mempunjai kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa.”

Mengakhiri prolog ini, ada catatan penting yang pernah diungkapkan oleh Eka Darmaputra dalam Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya (Jakarta: Gunung Mulia, 1987) yakni bila sila pertama Pancasila adalah kerangka “ontologis” dan sila kedua kerangka “normatif” maka sila kedua itulah yang mengembangkan ketiga sila lainnya sebagai kerangka kerja “operasional” dalam berbangsa (sila ketiga), bernegara (sila keempat) dan bermasyarakat (sila kelima). Antara satu sila dengan lainnya saling menguatkan.

Sebagai sebuah bentuk pemikiran kritik wacana, saya menyambut baik terbitnya buku karya Muhammad Makmun Rasyid, dan mengapresiasi buku ini sebagai hasil buah pikiran anak muda yang haus akan ilmu pengetahuan. Siapa pun berhak untuk setuju atau tidak setuju dengan gagasan penulisnya. Tetapi, satu hal yang perlu dijaga perbedaan pandangan tidak sepatutnya merusak hubungan persahabatan dan persaudaraan, lebih-lebih sesama Muslim. Semoga karya ini bermanfaat. Amin []

Jakarta, Juli 2016

*Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ), Kepala Bidang Pengkajian Al-Qur`an dan Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an (LPMA), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *