Dalam memasuki abad ke 21 apakah masih relevan merevitalisasi jatidiri bangsa di era globalisasi ini? Saat ini dengan berlangsungnya reformasi yang dilanda oleh berbagai faham atau ideologi seperti demokrasi yang bersendi pada faham kebebasan yang individualistik, dan hak asasi manusia universal, justru mengantar rakyat Indonesia kepada disintegrasi bangsa dan dekadensi moral. Hal ini karena, jatidiri bangsa mulai luntur dan terlepas dari warisan para leluhur yang telah dilestarikan dari abad ke abad. Oleh karena itu, ulama Nusantara sebagai bagian dari leluhur bangsa Indonesia telah meninggalkan berbagai warisan yang dapat ditemukan serta dilestarikan untuk revitalisasi jatidiri bangsa.
Dalam upaya revitalisasi jati diri bangsa, tata krama menjadi unsur penting dalam membangun karakter setiap anak bangsa. Dalam ajaran Islam, akhlak merupakan ranah yang paling penting karena Nabi Muhammad memang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Tugas menyempurnakan akhlak inilah yang diteruskan oleh para ulama, dan yang cukup berhasil dalam meramu ajaran-ajaran Islam tentang akhlak ini adalah seorang tokoh sufi dalam Islam, yaitu Imam al Ghazali. Di Nusantara ajaran tasawuf sunni Ghazalian mengalami perkembangan yang cukup masif, daripada tasawuf falsafi, bahkan telah menjadi praktik keseharian komunitas santri dan Muslim tradisional. Oleh karenanya, beberapa kitab Imam Al-Ghazali, misalnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, cukup akrab dalam lingkungan pesantren, termasuk kitab-kitab lain yang secara prinsip memiliki kemiripan dengan nalar tasawuf Sunni Ghazalian, yakni tasawuf yang mampu berharmoni dengan shari’ah dengan mengutip sumber-sumber pokoknya dari Al-Qur’an dan hadits serta pendapat para tokoh sufi yang dikenal memiliki integritas, tanpa memasukkan di dalamnya pikiran-pikiran kefilsafatan.
Kontribusi pemikiran tasawuf al-Ghazali dalam khazanah keislaman di pesantren termasuk dalam kajian tasawuf Jawa (Simuh, 2002), menunjukkan bahwa tasawuf model ini lebih mudah beradaptasi dengan realitas kebangsaan yang karakter penduduknya memiliki keragaman nilai-nilai lokal. Karenanya, bila dilihat dalam perspektif sosiologi pengetahuan, pilihan terhadap tasawuf model pemikiran al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari faktor di atas, sebab pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan, namun lembaga yang berparadigma moderat dalam memandang kehidupan dunia, sekaligus sebagai lembaga yang selalu konsisten terhadap cita-cita leluhurnya untuk menebarkan paradigma itu pada semua santri-santrinya. (Wasid, 2016: 9)
Kiai Maimoen Zubair dalam kitab karyanya, al-‘Ulama al-Mujaddidun, berpendapat bahwa ulama Nusantara yang kali pertama membawa pulang dan mengajarkan kitab Ittihaf Sadat al-Muttaqin Syarah Ihya Ulumuddin karya Sayyid Murtadla al-Zabidi adalah KH. Abdul Manan Dipomenggolo, pendiri Pesantren Tremas, Pacitan. Kitab ini merupakan salah satu karya yang memberi penjelasan terbaik mengenai kitab Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghazali. Kiai Manan Dipomenggolo pernah berguru kepada Grand Syeikh al Azhar Mesir ke-19, Ibrahim al-Bajuri. Sehingga di berbagai pesantren di Jawa ditemukan kitab Fath al-Mubin, syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syekh Ibrahim al-Bajuri. Ia adalah kakek Syekh Mahfudz al-Tarmasi yang menjadi salah satu mata rantai penting dalam pengajaran Ihya Ulumiddin. Dalam kitab karyanya tersebut, KH. Maimoen Zubair menjelaskan jika ia mempelajari kitab Syarah Ihya Ulumiddin itu dari ayahnya, KH. Zubair Dahlan, yang belajar dari KH. Faqih Maskumambang Gresik, dari Syekh Mahfudz Tremas, dari ayahnya, Kiai Abdullah dari ayahnya, Kiai Abdul Manan Dipomenggolo. (Maimoen, tt: 9)
Sampai saat ini, kitab Ihya ulumuddin ini masih terus diajarkan di berbagai pesantren. Dengan penekanan pada tazkiyatun nafs, ajaran Imam al-Ghazali, terus diwariskan sehingga membentuk karakter para santri lebih menekankan aspek akhlaqi dalam bertasawuf dan berfiqh. Aspek akhlaqi dalam bertasawuf lebih mengonsentrasikan pada teori-teori perilaku, akhlak, dan budi pekerti. Dengan kata lain, tasawuf berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (madzmumah), baik maksiat batin; sombong, riya’, ‘ujub, buruk sangka, kikir, dan sebagainya, maupun maksiat lahir yang dihasilkan dari anggota badan; mata, mulut, dan kaki.
Lantas, bagaimana mengkaitkan pengaruh Imam al-Ghazali dalam konteks penguatan jatidiri bangsa di Indonesia? Tulisan ini berupaya mengungkap dua ulama yang telah meneruskan sekaligus mentransformasikan ajaran tasawuf akhlaqi Imam al Ghazali di Nusantara, yaitu Syekh Sholeh Darat dan Syekh Ihsan Jampes. Bagaimanakah pemikiran Imam al-Ghazali melalui karya mereka masing-masing, yaitu Minhaj al-Atqiya’ fi Sharh Ma’rifah al-Adhkiya’ ila Thariq al-Awliya dan Siraj al-Thalibin (Lentera bagi Para Pencari). Siraj al Thalibin ditulis menggunakan bahasa Arab, dan Minhaj al Atqiya’ ditulis menggunakan bahasa daerah agar lebih mudah dipahami dan membumi di sanubari umat.
Sebelum membicarakan kedua ulama tersebut, perlu diungkap ulama yang membuat tasawuf akhlaqi dominan dan populer dibandingkan dengan corak tasawuf falsafi yang lebih rumit, yaitu Syekh Abdusshamad bin Abdullah al-Falimbani (1704-1789). Pengaruh Syekh Abdusshamad dalam mengukuhkan corak tasawuf Ghazalian tampak dalam penyusunan kurikulum tazkiyat al-nafs melalui beberapa karya Imam al-Ghazali, seperti Hidayat al-Salikin yang merupakan adaptasi bebas dari Bidayat al-Hidayah. Adapun Sair al-Salikin Ila Ibadati Rabb al-‘Alamin yang ditulis antara tahun 1779 hingga 1788 M ini merupakan terjemahan sekaligus uraian dalam bahasa Melayu atas Ihya Ulumuddin.
Sebagai seorang yang menguasai peta pemikiran tasawuf dengan baik, al-Palimbani menyarankan agar kitab-kitab tasawuf falsafi yang rumit ini tidak dibaca oleh mereka yang masih tahap pemula. Dia menyarankan apabila sebaiknya kitab-kitab Imam al-Ghazali itulah yang dijadikan rujukan standar. Dalam karya-karyanya, Syekh al-Palimbani bukan hanya menyebarkan gagasan neo-sufisme Ghazalian, melainkan juga mengimbau kaum muslimin melancarkan jihad fi sabilillah melawan kaum penjajah, yang berusaha menundukkan entitas-entitas politik Islam di Indonesia. (Azra, 2004: 314)
Bersambung ke bagian 2
No responses yet