Categories:

Oleh: Nurman Kholis (Cikal 1994)

Berikut ini liputan ringkas tentang in memoriam kyai Rifa’i (pendiri Pesantren Daar el Qolam Tangerang dan La Tansa Lebak) setelah berziarah ke makam beliau pada Sabtu/ 26 Juni 2021. 

Di antara beberapa peserta yang hadir secara silih berganti juga menyampaikan pengalamannya tentang beliau. 

Ada yang menyampaikan ingatannya tentang salah satu peristiwa yang membuat Pak Kanta, seorang jawara di Cipanas Lebak yang pernah sekian kali masuk penjara, tapi bisa tunduk kepada kyai Rifa’i. Setelah ia dipercaya kyai Rifa’i menjadi penjaga pondok, pada suatu dini hari pak Kanta berpapasan dengan kyai Rifai yang juga sedang berkeliling di sekitar komplek La Tansa. Selanjutnya pak Kanta berpisah dengan beliau. Pak Kanta pun berjalan sekitar setengah kilo meter, naik menuju kaki gunung Gibas yang di bawahnya terdapat rumah peristirahatan kyai Rifai. Namun, saat ia sampai ke rumah yang juga akan dikontrolnya itu, ia kaget karena ternyata kyai Rifa’i terlebih dahulu sudah ada di rumah itu. Sementara, pak Kanta sebelumnya tidak melihat beliau berjalan hingga dapat sampai lebih dahulu ke rumahnya. Cerita ini rupanya berkembang pada alumni Cikal 1994 dan juga pada angkatan OPEL 1997. Dua angkatan pertama kali saat La Tansa berdiri tahun 1991. 

Sementara seorang alumnus yang tinggal di Jakarta juga bercerita tentang pengalamannya. Ia menemukan pisau di rumahnya. Lalu membawa pisau itu ke guru orang tuanya. Pisau tersebut tadinya karat, namun setelah dibersihkan oleh sang guru itu dengan minyak dan didoakan, muncul tulisan aksara Arab yang terbaca “Ahmad Rifa’i Arif” dan disatu sisi lainnya terbaca “la Ilaha Illallah”. Suatu pengalaman yang membuatnya kaget. Sebab, ia tak menduga akan muncul nama kyai Rifa’i di balik salah satu sisi pisau itu.

Dua kejadian tersebut merupakan salah satu sisi kehidupan dari kyai Rifa’i yang jadi bahan renungan untuk mempertanyakan sisi spiritual (ruhani) beliau. Hal ini sehubungan dengan gedung asrama pertama kali di La Tansa bernama Ibnu Taimiyah. Seorang sosok ulama abad ke-13 yang dikenal anti terhadap pengkultusan kepada orang-orang dan benda-benda yang dikramatkan, mengharamkan musik, dan sebagainya. Namun, jelang akhir hayatnya, Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai pengamal tarekat qadiriyah. Ia juga dikisahkan pernah berdebat dengan Syekh Ibnu Ath-Thailah as-Sakandari, salah seorang mursyid dalam rangkaian sanad keilmuan tarekat Syadziliyah.

Cerita tentang Pak Kanta dan seorang alumnus La Tansa berkenaan dengan kyai Rifa’i yang tak masuk akal bagi orang-orang awam tersebut, juga mengingatkan pengalaman saya waktu tiga kali ke Afrika Selatan. Ada seorang teman yang berguru kepada Mursyid tarekat Qadiriyah Syadzilyah Darqawiyah Habibiyah, Syekh Abdal Qadir as Sufi. Ia pernah dengar. Menurut sang Syekh, para wali itu ada yang berkiprah di daratan di keramaian. Ada juga yang berkiprah di gunung, dan sebagainya. 

Ia yang juga atlet berselancar ini supel dalam bergaul. Karena itu, temannya bukan hanya muslim juga penganut agama lain, bahkan atheis. 

Suatu saat ia pun berkesempatan berselancar di Bali bersama temannya yang orang Indonesia. Setelah berselancar, keduanya pun berangkat ke Banyuwangi. Bahkan ke hutan di kota itu. Saat di hutan. Rupanya, ada ulama sufi yang ‘uzlah. Saat teman dari Afrika Selatan ini berjumpa dengannya, sang ulama sufi itu bilang: “Kamu muridnya Syekh Abdal Qadir as ya? 

Karena itu, betapa tampak sempit dan kecil bumi ini yang seolah-olah dilipat setelah dengar cerita pengalaman teman itu, yang jauh-jauh dari Afrika Selatan dan berjumpa ulama sufi yg ‘uzlah di hutan di Banyuwangi tersebut. Padahal, kami yang di Indonesia saja tak tahu hingga tak pernah bertemu Syekh yang ‘uzlah di hutan di ujung timur pulau Jawa itu. Dengan demikian, jadi terbayang pula gambar bola dunia yang kecil pada lambang La Tansa.

Dalam perjalanan pulang setelah ziarah itu, saya pun ngobrol dengan seorang adik kelas, angkatan Salsabila 1998 yang menyupiri mobil menuju Jakarta itu. Ia juga adik dari teman saya sesama Cikal 1994 namun berbeda rombongan sehingga setelah ziarah perjalanan kakaknya itu menjadi berbeda arah. Ia dan beberapa alumni angkatan lainnya melanjutkannya menuju komplek pesantren La Tansa di Lebakgedong, Cipanas, Lebak.

Dalam obrolan di kursi mobil bagian depan dan juga diikuti alumnus angkatan Opel 1997 yang duduk di kursi bagian belakang itu, adik kelas angkatan Salsabila 1998 ini menuturkan. Apa yang ia, kakak, dan keluarganya capai hingga kini merupakan buah dari keberkahan ayahnya yang semula Hindu dan menjadi Muslim (muallaf). Saat kedua anaknya itu masih mondok di La Tansa, sang ayah juga pernah mendapatkan bacaan wirid dari Kyai Rifa’i. Wirid tersebut ditulis tangan menggunakan qolam beliau pada dua lembar kertas polio berkop surat Pondok Pesantren La Tansa. Manuskrip (naskah tulisan tangan) ini disimpan dan dirawat oleh keluarganya yang semula tinggal di Pejompongan Jakarta Selatan dan sejak beberapa tahun lalu tinggal di Sawangan Depok. Karena itu, meskipun manuskrip tersebut telah berusia 30 tahunan, kini kertas dan tulisannya masih dalam kondisi bagus. 

Adapun pada manuskrip beraksara Arab tersebut antara lain berisi permohonan kepada Allah “…wa sakhkhir lii qulµba ‘ibaadika ajma’iin kamaa sakhkharta al-bahra li sayyidinaa Musaa ‘alaihis salaam..” (dan tundukkanlah bagiku hati para hamba-Mu semua, sebagaimana telah Engkau tundukkan laut bagi sayyidina Musa ‘alaihis salam). Dengan demikian, diketahui bahwa wirid tersebut merupakan bagian dari Hizib Bahr susunan Syekh Abu Hasan Syadzili atau salah satu variannya yang disebarluaskan secara turun temurun khususnya oleh para ulama sufi tarekat Syadziliyah dan umumnya para ulama tarekat lainnya.

Karena itu, diperkirakan wirid ini juga merupakan salah satu yang dibaca oleh kyai Rifa’i hingga Allah beri kemampuan kepada beliau untuk menundukkan hati pak Kanta, pada awal-awal pendirian pesantren La Tansa sebagaimana sebelumnya sudah diulas. Demikian pula dalam berbagai kondisi lainnya yang dihadapi oleh kyai Rifa’i. Namun, dalam tradisi tarekat ada aturan-aturan tertentu untuk mengamalkan wirid tersebut. Dengan demikian, meskipun wirid tersebut sama-sama dibaca oleh satu orang, dua orang hingga banyak orang, namun hasil atau tidaknya hingga berbuah berkah dari yang dibaca itu, bergantung kepada adab dan hati orang yang membacanya. 

Entah dari siapa kyai Rifa’i memperoleh wirid tersebut? 

Wallahu a’lam bis showab.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *