Kala mau mendapatkan ilmu ladunni terus prediksinya joss, harus zuhud dulu.

Imam Ghozali meriwayatkan dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW

من أراد أن يؤتيه الله علما بغير تعلم، وهدى بغير هداية، فليزهد في الدنيا

“Siapa mengharap dianugerahi Gusti Allah ilmu langsung tanpa proses belajar (ilmu ladunni) dan ilham langsung tanpa didahului tanda-tanda (weruh sak durunge winarah), maka zuhudlah pada dunia”

Imam Al Iraqi berpendapat hadits ini laa ashlu lah (belum didapat sandaran yang valid). Tapi Imam Az Zabidi berpendapat sebaliknya yg disandarkan pada Sayyidina Abu Nuaim RA.

Ini hadits yang menggembirakan buat yang ngebet jadi orang wingit. Asal habis dapet ilmu ladunni, jangan sampai jadi dukun trus ejadi tukang ramal nomer togel aja.

Menurut Imam Ghozali, latihan zuhud masalah makanan ini bisa dibagi jadi 3 tahapan :

  1. Kelas bulu, makan ketika sudah lapar banget hingga kemejer atau makan maksimal sekali sehari, makan tidak lebih dari satu mud atau 576 gram setiap hari.
  2. Kelas menengah, makan sekali untuk minimal dua hari. Total makan sebanyak setengah mud atau sekira 288 gram untuk sekali makan.
  3. Kelas bantam, makan sekali untuk 40 hari maksimal. Makan dengan jumlah yang sekira cukup buat menghilangkan lapar, tapi tidak sampai kenyang.

Jenis yang dimakan, Imam Ghozali menyarankan memakan khubz atau roti dari gandum dengan lauknya. Itu untuk awal-awal latihan. Kalau tidak nemu ya sepiring nasi pecel atau nasi padang ya boleh, tapi untuk seharian.

Yang pertengahan, roti atau makanan dengan bahan dasar juwawut atau jawawut tanpa lauknya. Kalo tidak nemu ya makan beras merah, beras hitam atau ketan.

Kalau sudah terbiasa, maka makan lauk yang mengandung gula saja. Kalo tidak nemu ya makan buah aja juga bisa.

Tapi Imam Ghozali menyarankan untuk lebih fokus pada volume dan durasi jam makan saja. Karena sesehat apapun makanan, kalo tidak diatur volume dan durasinya, maka tetap jadi penyakit lahir batin.

Latihan ini untuk memunculkan rasa nyaman saat lapar. Kalo kita bisa menemukan kenikmatan perut kosong, pelan-pelan syahwat menurun, thomak pun surut. Dari situ akan menurunkan juga keinginan-keinginan terhadap semua jenis kenikmatan duniawi. Sifat konsumtif pun bisa dikurangi pelan-pelan, pikiran dialihkan pada produktifitas kita.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW dawuh

أفضلكم عند الله تعالى أطولكم جوعا وتفكيرا، وأبغضكم إلى الله تعالى كل أكول شروب نؤوم

“Paling bagusnya kalian semua menurut Gusti Allah Ta’ala adalah orang yang hobby lapar dan suka berpikir (produktif), golongan orang yang paling dimurkai oleh Gusti Allah Ta’ala adalah tukang makan, tukang minum dan tukang tidur”

**

Kita mungkin boleh mencaci dan prihatin dengan kelakuan pejabat-pejabat kita yg demi nuruti makan mewah, kudu korupsi dulu. Trus kita ghibah skala nasional tentang pejabat itu via medsos.

Tapi kita, sebagai pengghibah, juga harus prihatin sama nasib kita sendiri yang tidak kalah memprihatinkan. Karena kita sebenarnya punya keinginan sama, cuma bukan pejabat. Lebih ngenes malah.

Kita boleh membela diri atas kenyataan, merasa lebih mulia karena tidak korup atau bersyukur via medsos Tuhan tidak ngasih kita jabatan. Tapi selama kita punya keinginan yg sama dgn pejabat korup itu, potensi keburukan kita gak kalah hebat sama pejabat korup itu, levelnya ya sederajat. Cuma kita lebih ngenes karena terjerat kekèrèan, akhirnya cuma bisa ghibah aja.

Tentang ghibahin pejabat, ada anekdot.

Ada desas-desus di masyarakat bahwa RSUD kota itu sangat diskriminatif. Mereka membedakan pelayanan hingga makanan orang kaya dan orang miskin.

Komisi independen pun ingin membuktikan kebenaran desas-desus tersebut. Dilakukanlah timbang badan serentak untuk semua bayi yang ada di RSUD.

Ndilalah, ketahuan kalo bayi-bayi orang kaya itu lebih berat daripada bayi-bayi pemegang kartu tanda orang miskin. Masyarakat kaget, desas-desus itu ternyata benar. Segera direksi RSUD mengadakan konferensi pers.

“Untuk semua warga, jangan salah sangka dulu,” kata Sarip mewakili pihak RSUD, “Kami memang sengaja melakukan program penggemukan bagi mereka, guna menyiapkan bayi-bayi orang kaya itu untuk diekspor,”

Pergeseran Kebutuhan Dasar Manusia

Orang dulu hanya mengenal 3 kebutuhan dasar manusia yaitu: sandang, pangan, papan. Sehingga orang dulu pun zuhud-zuhud dan terkenal banyak waliyullah-nya. Tapi di era milenial seiring maraknya medsos, kebutuhan itu berubah.

Kebutuhan manusia era milenial ada 4 : sandang, pangan, papan dan pandang. Bahkan kebutuhan pandang ini didahulukan ketimbang kebutuhan pangan. Sehingga sekarang banyak wali pansos (panjat sosial).

Misal masalah korupsi di Indonesia dan di manapun, salah satunya disebabkan keinginan untuk hidup terpandang dan glamor. Sedangkan sobat miskin pun punya prinsip tidak makan tidak papa, pokoknya jadi trending topic dulu. Akhirnya ngemis follower dan subscriber di medsos.

Nah, tentu saja akal sehat kita akan bilang aneh dengan kehidupan semacam itu. Artinya, ada yang salah dengan pola pikir kita.

Ada resep sekaligus kritikan bagi manusia milenial dari Sayyidina Ali KWH yang dawuh

إن الله عز وجل أخذ على أئمة الهدى أن يكونوا في مثل أدنى أحوال الناس، ليقتدي بهم الغني ولا يزري بالفقير فقره

“Jikalau para pemimpin itu bisa berperilaku lebih manusiawi dan sewajarnya manusia pada umumnya, Gusti Allah ‘Azza wa Jalla pasti memberi hidayah-Nya pada mereka, sehingga para pemimpin dan rakyatnya tersebut diberi kesejahteraan dan golongan fakirnya tidak akan merasa miskin,”

Para pemimpin (aimmah) ini kalo diperluas artinya, bisa sampai tingkat keluarga dan diri sendiri. Artinya, jika masing-masing elemen masyarakat hingga level pribadi bisa bersikap wajar dan manusiawi, tidak neko-neko, terima apa adanya pemberian Gusti Allah, hatinya akan dipenuhi kekayaan dan mau berbuat lebih bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.

Hati yang kaya, saat bergelimang kekayaan, akan hidup biasa saja, tidak berbeda dengan masyarakat umum. Tidak merasa sok tinggi. Bahkan saat jatuh miskin, hati yang kaya tidak akan susah dan putus asa. Tidak akan minder. Nah, itulah inti zuhud.

Dawuh ulama arif

الزهد في الدنيا أن لا تأسى على ما فاتك منها، ولا تفرح بما أتاك منها

“Zuhud di dunia itu jika sampeyan tidak merasa susah dan putus asa melihat buntunya rejeki dan sampeyan pun tidak merasa gembira berlebihan terhadap rejeki yang datang”

Jadi, orang yang perilakunya biasa saja baik di saat susah atau senang. Seakan-akan dia terlihat gak pernah terlihat susah maupun uforia dalam urusan dunia. Dialah orang yg zuhud yang gak bakal dipusingkan urusan “pandang”.

Maka, urusan “pandang” manusia itu harusnya gak ada dalam daftar hajat kita. Udah dikasih sandang, pangan dan papan yg cukup, itu saja kita syukuri dan kita kelola. Tujuannya cuma dipandang Gusti Allah dan Kanjeng Nabi dengan syafaat di hari kiamat.

Masalah sandang atau Pakaian

Latihan zuhud tentang sandang tersebut ditujukan terutama untuk meredam selera nafsu kita agar tidak biasa dituruti sehingga ketergantungan. Karena ketergantungan ini yang akan melalaikan kita pada tugas utama kita. Yaitu penghambaan pada Gusti Allah.

Untuk pakaian, Imam Ghozali mensyaratkan pokoknya pakaian sekedar untuk melindungi diri dari panas dan dingin dan menutup aurot. Tidak penting jenis pakaiannya, modelnya, harganya, bahannya atau merknya. Yang penting sudah memenuhi syarat syari’ah dan syarat kebutuhan paling minimal, itu sudah cukup.

Memang menurut syariat, pakaian paling utama adalah gamis. Namun untuk melatih hati zuhud, disyaratkan oleh Imam Ghozali, cukup punya satu saja. Di mana bila gamis itu dicuci, Tidak ada cadangannya. Orang yang punya gamis lebih dari satu, menurut Imam Ghozali, belum bisa disebut zuhud.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW memang suka gamis, namun beliau cuma punya satu. Itupun sering ditambal.

Sayyidina Abu Dzar RA meriwayatkan Siti Aisyah RA keluar menggunakan pakaian kusut dan sarung dari kain yang keras. Siti Aisyah dawuh “Bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW mencukupkan diri dengan pakaian seperti ini di tiap hari,”

Siti Aisyah RA meriwayatkan

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في خميصة لها أعلام، فنظر إلى أعلامها نظرة، فلما انصرف قال : اذهبوا بخميصتي هذه إلى أبي جهم وأتوني بأنبجانية أبي جهم، فإنها ألهتني آنفا عن صلاتي

“Kanjeng Nabi Muhammad SAW satu saat sholat menggunakan gamis yang bermotif, maka Kanjeng Nabi pun sempat memperhatikan motif gamisnya yg mencolok, saat berganti pakaian, Kanjeng Nabi SAW dawuh : Bawalah kain bermotif ini ke Abu Jahm dan bawakan kepadaku kain milik Abu Jahm yang polos (tanpa motif), sebab kain yang bermotif tersebut sempat melalaikanku dari shalatku”

Begitu juga masalah sandal atau sepatu. Satu hari, sandal Kanjeng Nabi sudah usang, lalu menggantinya dengan yang baru. Lalu beliau pun sholat dgn sandal baru itu. Dulu jaman Kanjeng Nabi dan shahabat, sholat di masjid pakai sandal. Saat seusai salam, Kanjeng Nabi SAW dawuh

أعيد الشراك الخلق، فإني نظرت إليه في الصلاة

“Ambilkan sandalku yang lama, sesungguhnya pandanganku terganggu sandal baruku ketika sholat”

Satu hari Kanjeng Nabi SAW mendapat sandal baru. Lalu beliau mengagumi sandal tersebut, tiba-tiba beliau menjatuhkan diri sambil bersujud. Lalu Kanjeng Nabi SAW dawuh

أعجبني حسنهما، فتواضعت لربي خشية أن يمقتني

“Aku mengagumi bagusnya kedua sandal ini, lalu aku sadar dan cepat-cepat merendahkan diri karena takut pada Gusti Allah jangan-jangan Dia murka padaku gara-gara kekagumanku pada sandal ini”

Sayyidina Umar RA pernah menghitung tambalan pada gamisnya, beliau dapati ada 12 tambalan dan beberapa ditambal dengan kulit. Sayyidina Ali Ridhwanullahi Alaih pada saat jadi kholifah membeli gamis yg harganya 3 dirham (sekitar 1,5 juta rupiah), lalu dipotong pergelangan tangan gamisnya. Sehingga terlihat usang.

Kesimpulannya, kita boleh saja memakai baju apapun, asal sesuai syariat dan jangan sampai bikin kita ketergantungan dan menginterupsi hati. Jangan sampai pakaian kita jadi penyebab terdistraksinya hubungan batin kita dengan Gusti Allah ketika sholat dan di luar sholat.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *