Demikian juga penetapan hari raya ‘id yang sempat akan membenturkan kalangan nahdiyyin yang mayoritas dengan pemerintah pada waktu itu, mengingat, Ampel pada saat itu merupakan barometer serta tolok ukur bagi segenap umat Islam.
Di periode kepemimpinan beliau netralitas dan keindependenan, Ampel betul-betul terjaga.
Ampelpun merupakan referensi juga literatur yang berfungsi sebagai nara sumber bagi tidak hanya kalangan ormas Islam terbesar yang ada di Indonesia saja, tapi segenap umat Islam yang ada di Nusantara pada umumnya.
Akhirnya beliau KH. Nawawi Muhammad berhasil mengambil titik tengah setelah menghaturkan masalah tersebut kepada Sunan Ampel secara keruhanian syar’iyyah yang beliau kuasai.
Al hasil, hal-hal yang menjurus pada kekisruhanpun tidak terjadi, dengan demikian terciptalah pada saat itu bahwa Ampel benar-benar independent dan menjadi dirinya sendiri.
Kendatipun saat itu fitnahan dan pandangan miring terhadap beliau begitu besar dari banyak kalangan, akan tetapi hal itu beliau terima dan beliau lalui dengan ketabahan dan kesabaran, tanpa keluh-kesah.
Hal ini seperti yang termaktub dalam kitabul hikam, syeh Ibnu ‘athoillah assakandari pernah mendawuhkan, yang garis besarnya adalah belum lengkaplah kealiman maupun keulamaan seseorang, sebelum orang-orang yang di sekelilingnya membenci dan memfitnahnya.
Entah fitnah itu disebabkan dari cara pandang, kesalah pahaman, atau yang memang nyata-nyata karena kehasudan.
Kesabaran beliau seakan mewakili dari apa yang telah disifatkan oleh Ibnu ‘Atho’ dalam As’adurrofiq (ayarah sulamuttaufiq) dengan pernyataan:
هو الفناء في البلوى بلا إظهار شكوى
Kesabaran adalah tenggelam dan sirna dalam besarnya ujian tanpa adanya keluhan,
و قيل ؛ هو القيام مع البلاء بحسن الصحبة كالإقامة مع العافية
Begitu pula dikatakan, bahwa sabar adalah tegar berteman bersama besarnya cobaan, sebagai mana berdiri tegak bersama indahnya kesentausaan.
Ada kaidah yang berbunyi “Jika seorang ulama dikaruniai mukasyafah, maka dalam menentukan hukum hendaknya ulama tersebut lebih mengutamakan syariat dari pada mukasyafah”, dan ikhtiar yang beliau lakukan saat itu juga merupakan gambaran dari syariat yang beliau kuasai, dalam dimensi yang beliau bermaqam di dalamnya, yang tidak lepas dari prinsip dasar “Dar’ûl mafäsid muqaddamun ‘alå jalbil mashölih” (mencegah kerusakan / bencana harus lebih diutamakan ketimbang mengambil kebaikan), serta “Almuhafadzotu ‘ala qadimissolah wa al akhdhu bi al jadîdi al ashlah (mempertahankan tradisi baik dengan tidak meninggalkan / mengambil suatu hal yang baru yang lebih baik), sekalipun pada kenyataannya beliau banyak menerima cibiran dan penyimpulan negatif dari banyak kalangan yang berada dalam perspektif yang berbeda dengan konstruksi ijtihadiyyah yang beliau aplikasikan.
Orang yang ada di hadapan beliau seakan terlepas semua atribut yang menutupi diri orang tersebut, mukasyafah beliau tak terhijab oleh berbagai kamuflase yang mengcover diri orang yang bersangkutan di hadapan beliau.
Filosofi Lafadz/Lêpêt (makanan dari ketan) yang terlilit tali janur (ja’a nur) akan dapat diketahui dan dirasakan rasanya jika ikatan janur dibuka, filosofi tersebut juga berlaku bagi beliau, yaitu: “andai saja beliau tidak mengikat mukasyafah beliau dengan janur (ja’a nur/sinar) syari’at, niscaya akan terbongkar aib maupun peta kehidupan orang yang ada di hadapan beliau dengan lafadz perkataan beliau.”
(semoga dapat berlanjut pada part berikutnya)
sumber: FB Kawijayan
No responses yet