Jika sebutan As Syaikhon dalam ilmu Hadits berarti Bukhori dan Muslim, dalam ilmu Fiqih berarti Nawawi dan Rofi’i atau Ibnu Hajar dan Romly, maka dalam kalangan kami istilah tersebut berarti dua ulama besar juga Mufti Tarim yang telah mengajar di Ahgaff sejak awal berdirinya 25 tahun lalu. Hampir semua dosen dan guru kami di Tarim adalah murid mereka berdua. Kedua sosok ini adalah Syaikh Muhammad bin Ali Al Khotib dan Syaikh Muhammad bin Ali Ba’audhon.

Dan Haul Masyhad kemaren mengingatkan saya saat pertama kali bertemu dengan Syekh Khotib di Haul 5 tahun lalu. Waktu itu di depan saya ada tempat kosong karena tidak ada alasnya. Tiba-tiba ada seseorang berjubah yang duduk di tempat tersebut tanpa khawatir baju yang dikenakannya akan kotor. Akhirnya kakak kelas yang waktu itu duduk sebelah saya berkata, “Kamu tau beliau itu siapa? Beliau adalah Syekh Muhammad Al Khotib, Mufti Tarim juga dosen kami dalam pelajaran Minhaj”.

Saya pun takjub dengan adab dan ketawadhuan beliau. Apalagi tatkala melihat sandal yang beliau pakai adalah sebuah sandal jepit sejenis swallow yang diberi tanda potongan berbentuk x sebagaimana kebiasaan sandal milik santri di beberapa pesantren. Bahkan di tahun-tahun setelahnya ketika bertemu beliau di Tarim seringkali beliau masih terlihat memakai sandal jepit biasa. Dan untuk kisah-kisah lain tentang As Syaikhon insyaallah akan datang di tulisan selanjutnya. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah adab dan ketawadhuan itu terlihat juga pada guru besar kami Habib Abdulloh bin Muhammad Baharun saat haul kemaren.

Jumat pagi setelah ziaroh Habib Ali bin Hasan Al Attas para Munshib, Habaib, dan ulama duduk bersama di depan Qubbah untuk menyambut para tamu. Kemudian beliau-beliau pun berdiri untuk maju ke depan dan duduk di tempat yang sudah dipersiapkan. Akan tetapi Abuya Baharun tiba-tiba jalan ke arah belakang dan kami pun mengikuti beliau. Ketika melihat ada tempat kosong di belakang kameramen beliau duduk di situ dan bagaikan pengawal kami langsung mengisi tempat kosong di sekitar beliau.

Di Bagian depan jajaran para Munshib, Habaib, dan ulama Abuya Alwi bin Abdurrohman At Attas sudah menyiapkan kursi kosong di samping beliau untuk Abuya Baharun. Setelah Abuya Alwi menyadari Abuya Baharun hilang dari pandangannya Abuya Alwi pun mencari-cari sampai akhirnya kami menunjukkan posisi Abuya Baharun. Datanglah salah satu ustadz kami seraya menyampaikan pesan abuya alwi agar beliau maju. Dengan tetap menunduk Abuya Baharun menolak seraya berkata “Ana Ma Bagho Takallam” (Saya tidak ingin berceramah). Tatkala Abuya Alwi dan beberapa Habaib memberi isyarat untuk maju pun beliau hanya menolak dari jauh. 

Sampai akhirnya ada salah satu petugas yang datang kemudian berkata, “Antum harus duduk di depan wahai Habib karena sudah disediakan kursi untuk antum”. Beliau hanya menjawab, “Barokallahu fiik ya walady, ana murtah ajlis hina ma’ahum” (Semoga Allah memberkahi dirimu wahai anakku, saya nyaman duduk di sini bersama mereka). Perkataan tersebut benar-benar menyentuh hati kami. Akhirnya setelah dipaksa sekian lama beliau pun maju dan menjadi penceramah ke 3 setelah putra Munshib Habsyi Seiwun dan putra Munshib Habsyi Hauthoh.

Benar-benar mencerminkan akhlak Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al Wasail Al Wushul Ila Syamail Ar Rosul

وكان لا يعرف مجلسه صلى الله عليه وسلم من مجالس أصحابه لأنه كان حيث انتهى به المجلس جلس

“Dan seringkali tidak diketahui tempat Rasulullah SAW duduk saat bersama para sahabat, karena di manapun ada tempat kosong di akhir majlis di situlah Rasululloh SAW duduk“. Semoga kita bisa meneladani dan mendapat keberkahan guru-guru kita.

 #abuya_baharoon #abuya_alwi #ahgaff #ahgaffy #ahgaffuniversity #ahgaff_lovers #masyhad #mukalla #tarim #hadramaut #yaman

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *