Bacaan fasih serta merdu mengiringi takbir dan salam, wajah teduh terpancar ketika uraian kalimah thoyyibah dan dzikir keluar dari lisannya. Badannya kurus dengan balutan baju dan sarung yang sederhana. Setelah sholat berjamaah  Ia membalikkan badan lalu menghadap ke jamaah. Lantas, Ia meminta para jamaah untuk bermuhadasah dengan bhasa arab selama 5 menit dan diakhiri dengan doa.

Begitulah, Ia sosok yang istiqomah mengulang kesehariannya dalam mengasuh santri Pon. Pes Darul Lughah Waddirasatil Islamiyah Pamekasan, Madura. Namanya KH.A.Ghazali Salim.   Kyai yang menghabiskan pendidikan kecilnya di Pesantren Manbaul Ulum Bata-bata  ini begitu telaten membimbing para santrinya agar cakap berbahasa Arab. Tak hayal kalau ratusan santrinya banyak yang melanjutkan studi ke Timur Tengah, seperti Al-Azhar Kairo, Al-Ahqaf Yaman, Hourtum University, Universitas Islam Libiya, Universitas Islam Madinah dan Universitas Al-Jazair.

Kyai yang juga lulusan Sastra Arab Universitas Islam Madinah ini menerapkan metode lengkap dalam memelajari Bahasa Arab. Dalam kesehariannya, pesantren yang diasuhnya selalu diliputi  Bahasa arab, baik maharah kalam (berbicara), maharah kitabah (menulis), maharah istima’ ( mendengar), dan maharah qiraah (membaca). Tentu, materi kecakapan Bahasa arab seperti ini jarang kita temui di pesantren-pesantren lain.

Karena fokus metode pembelajaran komunikasi dan gramatikal ini, pesantrennya semakin dikenal oleh masyarakat luas. Tak heran banyak santri dari luar daerah belajar disana dengan  system daurah bulanan. Mayortias alasan mereka untuk  mempersiapkan diri sebelum mengikuti tes seleksi Timur Tengah.

Kyai Ghazali yang juga menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi Madura seperti, STAIN Pamekasan, An-Nuqayah, Al-Amin, dan Al-Khairat ini tetap meluangkan waktunya untuk mengabdi masyarakat. Setiap malam Sabtu, pesantrennya dipakai untuk majelis pengajian oleh tetangga dekat, namun kali ini ia tidak menggunakan Bahasa arab sebagai pengantaranya,  melainkan Bahasa Madura. Karena warga sekitar terdiri dari berbagai macam usia dan latar belakang pendidikan berbeda.

Begitu kuat perjuanganya untuk menyebarkan Bahasa Al-Quran, lantas ia membuat tugas bagi para santri senior (mutaqaddim), ketika santri sudah keluar dari pesantren, mereka wajib menyebarkan dan mengajarkan Bahasa arab dilingkungan masing-masing. Malahan, Ia begitu senang jika santrinya mampu melahirkan darul lughah –darul lughah baru di tempat mereka.

 

Zainal Abidin, Santri dan Pecinta Kaligrafi

 

 

 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *