Betapa menakjubkan

Aku dapat mengambil gayung

Aku dapat menyiduk air—

*^^^**

Puisi sang sufi itu sangat sederhana dibiarkan tergeletak di antara lantai masjid, tempat di mana sang sufi shalat dan berdzikir meneteskan air mata, berserak diantara debu— 

Lantas apa yang istimewa dari puisi itu. Tertulis diantara pelepah korma. Tinggal di dusun pojok kota Baghdad. Ia tak dikenal dan tak pernah disebut namanya. 

Bagi awam semisal saya, puisi itu teramat sederhana. Tapi, bagi sang sufi, puisi itu sungguh hebat karena ia mengungkapkan ketakjuban yang luar biasa dari kemampuan 

dirinya. Apa yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berjalan, membaca, makan, dan minum — tampaknya sangat sederhana. Tapi tidak bagi sang sufi.

*^^^*

Orang awam tak merasakan sedikit pun bahwa semua itu merupakan rangkaian pelbagai proses yang amat rumit, kompleks, dan melibatkan perubahan fisika, kimia, dan biologi.

Berjalan, misalnya, sepintas tampak sederhana. Padahal di mata saintis, saat orang berjalan,   terdapat ribuan reaksi biokimia — mulai dari instruksi otak, pembuluh darah, hingga kontraksi otot kaki. Bagi si lumpuh, berjalan sungguh merupakan suatu keajaiban luar biasa. 

Manusia di disain Tuhan dalam bentuk terbaik : ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang seindah-indahnya” (QS 95:4).

Kemudian memberinya petunjuk agar tak jauh menyimpang dari jalan Tuhan, : ‘Siapa yang menerima petunjuk itu, maka manfaatnya untuk dirinya sendiri, dan siapa yang mengingkarinya, maka akibatnya untuk dirinya sendiri juga’ (QS 39:41).

^****

Lihatlah ratusan ribu dokter bekumpul melakukan berbagai riset, ribuan milyar dihamburkan untuk biaya riset menyembuhkan penderita stroke agar seseorang kembali bisa ‘mengambil gayung dan menyiduk air —‘ dan tak satupun bisa, meski mengembalikan satu sel saraf agar kembali normal. 

Sang sufi hanya bisa menangis karena takjub, ketika dirinya bisa mengambil air wudhu, mengusap wajah dan kaki dengan sempurna.Bisa berdiri, rukuk dan sujud dengan tuma’ninah di saat shalat. Bisa berhaji, bisa berpuasa dan mengnatar sedekah dengan tangan sendiri kepada tetangga sebelah, bagi sang sufi ibadah itu menciptakan kerendahan hati, halus budi dan merasa hina bukan sebaliknya. 

*^^^^*

Sampai disini sang sufi tak berani menghitung-hitung kebaikan dan meminta pahala dari amal salehnya — sang sufi hanya melihat kasih sayang yang besar dari Rabb yang dicintainya tanpa batas—

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *