Wali Awang atau populer dipanggil sebagai Guru Awang dan Abah Awang alias Tuan Guru H. Masrani bin Jala atau Tuan Guru H. Masrani bin Jailani yang dikenal sebagai wali jadzab yang mustajab doanya hanya dengan menyatakan qabul, qabul dan qabul. Beliau lahir tanggal 29 Maret 1932 dari seorang ibu bernama Rodiyah binti Taruna di Gudang Lukah, Desa Makmur, Handil Masjid, Gambut. Keduan orang tua beliau dikenal sebagai orang kuat beragama dan dekat dengan ulama. Di antara ulama yang akrab adalah Tuan Guru H. Adnan yang bergelar Wali Awang. Ketika beliau berumur dua hari, Guru Adnan datang ke rumah beliau untuk mendoakan dan mengusapkan air liurnya ke beliau. Kata ibu beliau, selama mengandung tak pernah merepotkan dan bahkan ketika hamil hampir mencapai 7 bulan, ia selalu dihampiri rembulan.
Setengah riwayat diketahui, ketika beliau berusia 6-7 sempat sekolah di Madrasah Tashihul Islam, di Tatah Lukah, Handil Masjid, Gambut. Kemudian, berlanjut menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darussalam dan sangat dekat (mungkin berguru khusus) kepada Guru Padang alias Guru H. Salman Bujang (Tuan Guru H. Samman Mulya) paman dari Abah Guru Sakumpul. Juga berguru kepada Abah Guru Sakumpul (Tuan Guru H. Muhammad Zaini Ghani) baik secara lahiriyah saat masih hidup maupun secara ruhaniyah saat sudah wafat.
Ketika dianggap cukup belajar di Darussalam, beliau pulang ke kampung halaman, dan mengajar di Madrasah Hidayatullah Jannah. Beliau dikenal para murid sebagai guru yang baik, penuh kasih sayang dan suka menggembirakan. Tak berapa lama, jadi guru, beliau kawin menyunting Hj. Khadijah bin Khuwaili sebagai isteri yang masih ada hubungan keluarga. Buah perkawinan menghasilkan 5 orang anak yakni Hj. Sa’adah Ratu, Hj. Ausiah Darmawati, Hj. Arbainah Habbah Rabbi, Hj. Hafsah dan H. Zainal Abidin.
Di suatu waktu beliau ikut Undian Haji untuk pertamakali, dan tak disangka beliau dapat undian tersebut dan diberangkatkan haji ke Tanah Suci Makkah. Sepulang dari haji, beliau mengundurkan diri atau berhenti dari mengajar, banyak berada di rumah untuk khalwat dan ibadah. Waktu siang, beliau banyak melakukan puasa sunat, salat sunat Isyraq dan salat sunat Dluha. Waktu malam, beliau banyak Dzikrullah, Salawat, salat sunat Tahajjud, salat sunat Witir dan membaca Alqur’an (konon beliau hafal Alqur’an.
Dikatakan Wali Awang, karena beliau dalam menerima tamu yang datang dari mana saja, beliau menyambut hanya di “Muha Lawang” (depan pintu), tidak memperkenankan masuk kecuali orang-orang yang benar-benar beliau sukai. Para tamu, kebanyakan hanya duduk di pelataran (teras) rumah beliau dan satu-satu antri secara bergiliran mendekat ke Muha Lawang. Melihat kebiasaan beliau begitu ada kemudian salah satu jamaah ziarah yang menyebut Wali Lawang, lalu dalam perkembangan selanjutnya menjadi Wali Awang.
Versi lain, beliau disebut Wali Awang, karena ketika beliau bersepeda melewati jalan setapak yang becek dan berlubang, sungguh aneh sepeda beliau seolah berjalan cepat mengawang-awang di atas jalan seperti tak menyentuh rumput dan tanah. Gara-gara kejadian ini sering terjadi sehingga masyarakat sekitar beliau sepakat menjuluki beliau sebagai Wali Awang.
Versi lain lagi, beliau disebut Wali Awang karena beliau sejak kecil dikatakan oleh Tuan Guru H. Adnan yang bergelar Wali Awang sebagai wali sejak dari dalam kandungan ibunya. Tidak sekadar meramal, ia juga mendoakan dan mengisapkan air liurnya agar beliau akan mencapai maqam atau tingkatan dirinya sebagai Wali Awang.
Wali Awang sebagai ulama yang sedang dan sudah mengalami Khariqul ‘Adah jauh hari. Khariqul ‘Adah artinya kelakuan di luar kebiasaan normal atau istilah lain Jadzab atau Majdzub dan Syathahat. Adapun Jadzab didefinisikan sebagai :
الجذب حال من أحوال العبد يغيب فيها القلب عن علم ما يجري من أحوال، لانشغاله بالحق سبحانه، وتغشاه غبطة شاملة، ويكون أقرب إلى العالم العلوي
“Jadzab adalah suatu keadaan dimana hati seorang hamba menghilang dari kesadaran tentang kejadian-kejadian karena tersibukan dengan Allah yang haq subhanahu wata’ala. Dia telah tertutupi oleh tirai yang meliputi dirinya, pada saat itu keadaan dirinya lebih dekat dengan alam ulwi (alam langit)”. Atau akalnya yang basyariyah (kemanusiaan) telah diganti Allah dengan akal yang rabbaniyah (ketuhanan). Kemudian, syathahat adalah kata-kata mabuk perjalanan suluk seorang sufi untuk mencapai maqam fana wal baqa.
Beliau, memang sudah mengalami khariqul adat, jadzab dan syathahat, dasar lain pada orang biasanya atau tidak lazim tingkah lakunya. Selain menerima tamu di depan pintu, juga dalam berpakaian beliau tidak lazim. Surban yang dipakai biasanya bermotif kotak-kotak warna merah-putih atau hitam sebagaimana orang baru berhaji, tapi beliau tampilan surbannya seperti kain kerudung perempuan bermotif bunga berwarna hijau. Wajah beliau dasar putih bersih, murah senyum dan lembut gemulai, sambil baucap “qabul qabul qabul”.
Ujar beliau:”aku mun ada urang baelang silakan haja, tapi aku jarang manamui, rancak bila ada orang baelang pasti mambari duit lawan diaku. Untung aku baisi guru nang mambimbingku yaitu alhm.guru Sakumpul, Sidin mun aku tasalah ditagur Sidin lewat alam bathin. Rancak aku bila di elangi urang pasti dibari duit, tapi aku baisi guru jadi Sidin madahi aku mana duit nang halal, mana nang syubhat wan mana nang haram. Adapun nang haram disuruh Sidin bakar duitnya, nang syubhat disuruh Sidin tapas wan nang halal disuruh Sidin bariakan lawan anak angkatku lawan bubuhan kampung sini. Aku kada mamakan duit barian urang, ada haja Allah ta’ala nang mambari ku rezki”. (Kata beliau:”Jika ada orang yang bertamu, silahkan saja, tapi aku jarang menemui, sering jika ada orang bertamu, seringkali mereka memberi uang padaku. Untung, aku punya guru yang selalu membimbingku yakni Abah Guru Sakumpul, Beliau kalau aku salah ditegur lewat alam batin, Beliau juga, ngasih tau, mana uang haram, uang syubhat dan uang halal. Jika uang itu haram, aku diperintah Beliau untuk dibakar. Jika uang itu syubhat, maka harus dicuci bersih. Jika uang itu ternyata halal, Beliau memintaku untuk diberikan kepada anak angkatku, orang kampung dan sekitarnya. Aku tak mengambil sepeserpun pemberian orang, ada Allah Swt yang memberiku rezki”).
Namun ada sebagian orang tertentu, yang beliau terima sebagai tamu dan masuk ke dalam rumah beliau. Teman karibku H. Asikin Nor pernah tiga kali berkunjung ke rumah beliau, selalu beliau persilahkan masuk. Lebih dari itu, ada seseorang (mengaku sebagai alfaqir) bertamu ke rumah beliau, bukan saja beliau persilahkan masuk, (saat itu beliau hanya bersarung dan berkaos biasa), tapi langsung diminta dan di suruh beliau memilah-milah uang yang ada didalam plastik, mana uang yang harus dibakar karena haram, mana yang harus dicuci karena syubhat dan mana yang dibagikan karena halal.
Ini pembicaraan beliau di tahun 2006, Abah Guru Sakumpul sudah wafat, tapi Abah Guru Sakumpul sering menemui Guru Awang ke rumah, tidak dalam mimpi dan tak di dalam perjumpaan alam ruhani, melainkan langsung bahadapan di alam nyata. Ini menjadi bukti bahwa Guru Awang, termasuk salah satu yang sangat diistimewakan oleh Abah Guru Sakumpul.dan memang dahulu, Abah Guru Sakumpul semasa masih hidup pernah menyatakan bahwa Guru Awang itu seorang wali (waliyullah). Kalau Abah Guru Sakumpul sudah menyatakan Guru Awang sebagai wali berarti Guru Awang memang wali sebab hanya wali yang tahu bahwa seseorang itu wali, la ya’riful wali illal wali. Sayangnya, kewalian Guru Awang jarang ada yang tahu hanya orang-orang tertentu saja, padahal beliau bukan Wali Mastur (tersembunyi), tapi Wali yang sudah penglihatan Khisysyi dan Maknawi.
Kemudian, salah satu guru yang acapkali ke rumah Guru Awang adalah Guru Busu (Tuan Guru H. Qomaruddin) dari Banjarmasin sehingga dia banyak memperoleh ilmu, amalan dan pengalaman ruhani tinggi (ilmu patikaman) dari beliau. Beliau dalam kutipan manaqib dikatakan mempunyai sifat Kasih Sayang, Zuhud, Penolong, Pemurah, Ramah dan Tawadlu’.
Karena Guru Awang adalah seorang Wali dan disebut sebagai Wali Awang, sudah barang tentu banyak keramat beliau. Di antaranya, beliau sering sembahyang jum’at di Masjid Al-Karomah, Martapura hanya dengan berjalan kaki dari rumah beliau di Gambut, tapi anehnya beliau lebih dahulu sampai ke sana daripada orang yang berkendaraan menuju masjid yang sama, bahkan beliau sudah lama tiba beberapa jam.
Ada juga, karamat beliau yang lain, banyak jamaah haji dari Kalimantan Selatan yang melihat beliau, tiap tahun menunaikan ibadah haji ke Haramain (Makkah dan Madinah). Padahal, beliau nampak berada dirumah saja, tak bergerak ke mana, mungkin beliau sudah mampu membagi awak. Bagi, seorang wali dunia ibarat lingkaran kecil (mikro kosmos), ne selangkah saja bergerak sudah sampai ke tempat yang dituju, karena sang Wali menjadi kekasih Allah (makro kosmos), kehendak Wali menjadi Kehendak Allah. Kalau sudah berkehendak bersama orang pilihan-Nya, pasti terjadi, tak ada yang mustahil. Apalagi beliau adalah sahabat dekat dengan Abah Guru Sakumpul dan juga akrab dengan Guru Bakry (Tuan Guru H. Bakry).
Ada lagi seorang ibu yang selalu menyisihkan sebagian hasil panen padinya untuk acara Haul beliau (Wali Awang), setiap tahun tanggal 3 Safar dengan tulus ikhlas. Sangat ajaib setiap tahun hasil sawah-ladangnya selalu berlimpah dan tak ada yang rusak sedikitpun. Padahal sawah yang bertetangga dan berdekatan dengannya banyak gagal panen dan mengalami kerusakan serta sedikit memperoleh hasil, tidak kembali modal dan mengalami kerugian besar.
Demikianlah Mukhtasar Manaqib Wali Awang yang bisa kupaparkan. Semoga senang orang yang memposting dan membacakannya, karena sabda :”Barang siapa membaca kisah para Nabi dan para Wali akan diturunkan Allah bagi yang membaca dan mendengarkannya. Ditambahka oleh ulama, di samping rahmat, juga rezeki yang luas dan banyak serta segala hajat dunia ataupun akhirat akan mujarrab alias segera kabulnya. Wali Awang meninggal dunia pada tanggal 3 Safar 1429H/10 Februari 2008M, dalam usia 72 tahun, setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Sari Mulia selama 5 hari, kemudian beliau minta pulang ke rumah pada tanggal 5 Februari 2008 dan 4 hari kemudian beliau dipanggil Ilahi. Allah Yarham.
No responses yet