Berbeda tipis dengan filsafat, tauhid juga dikonstruk sebagai suatu ilmu yang rumit hingga sesat, meskipun berbeda pada landasan argumentasi pelabelannya. Tentu, sangat berbahaya konstruksi seperti demikian. Sebab, jika tauhid dikonstruk sedemikian rumit hingga sesat, dampaknya ialah hilangnya motivasi belajar tauhid hingga menganggap bahwa dalam bertauhid harus taklid dengan guru tidak dibenarkan jika melalui penalaran. Akibatnya, generasi baru Islam yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita Islam yang penuh ‘ruh’ kasih sayang terlebur pada konstruksi yang demikian, hingga kader menjadi ‘buyar’ dalam mendudukan posisi tauhid bahkan jelas ‘mamang’ dalam berkeyakinan.

Tidak hanya itu, tauhid juga dikategorikan ke dalam ilmu yang ‘berat’, sebab isi kajiannya perihal Tuhan. Ketuhanan dipandang sebagai objek kajian yang terberat dalam suatu ilmu. Bahkan, tulisan-tulisan yang memfokuskan objek kajian ihwal tauhid digolongkan ke dalam tulisan ‘berat’. Alhasil, peminatnya pun sedikit. Sedangkan, tulisan-tulisan yang berbau fiktif dan rekaan, yang umumnya membawa inspirasi dan motivasi cenderung digolongkan ke dalam tulisan ‘ringan’. Tulisan berat dan tulisan ringan merupakan hasil konstruksi sosial. Tulisan berat cenderung diabaikan, tidak (mau) mengerti hingga tidak (mau) memahami, yang akhirnya tidak dipahami secara konsep dan ilmunya. Sedang tulisan ringan cenderung digemari dengan bahasa yang lebih luwes dan mengajak, meskipun ada kekeliruan dalam penalaran. Sebab, tidak sedikit, yang merangkai tulisan mengikut sertakan agama, keyakinan, Islam, iman, Tuhan, Nabi dan lain sebagainya. Tentu, berimbas pada kekeliruan paham yang mudah meluas.

 Tauhid dikonstruk sulit dan rumit oleh sebab adanya penalaran kritis yang dibuktikan; samahalnya filsafat yang identik dengan berfikir radikal (mengakar). Tauhid dikonstruk dengan batasan cukup mempercayai saja, tidak perlu ribet mencari argumentasi atau dalilnya untuk membuktikan kebenaran logika konsep ketuhanan. Konstruksi ini sangat ‘sering’ muncul ditatanan masyarakat yang minor dalam tauhid; cenderung mengacuhkan hingga mengabaikan dengan alasan bahwa tauhid merupakan keyakinan individu dengan Tuhannya, cukup mempercayainya saja. Selain itu juga terdapat beberapa kalangan yang menganggap bahwa tauhid itu tidak perlu diselami serius dengan alasan bahwa mayoritas yang mempelajarinya bisa tersesat dan keluar dari Islam. Kalangan ini umumnya memilih berdzikir melalu ucapan dengan dipimpin oleh gurunya. Tidak sedikit yang beralasan bahwa ‘tauhid’ dalam berdzikir dapat melalui gurunya. Artinya, gurunya bertanggung jawab atas tauhid murid-muridnya, sedangkan sifat mempelajari tauhid tidak dapat diwakilkan. Tentu, kekeliruan ini sangatlah fakta dalam masyarakat, ketika majelis-majelis tauhid santrinya tidak sebanyak santri fikih, membahas Tuhan dianggap tabu dan tidak penting. Tentu, sangat miris dn ironis paradigma dewasa kini hwal ketuhanan.

Pelabelan sulit dan rumit atas tauhid ‘hanya’ berlandaskan pada ketidakpahaman yang tidak (mau) diupayakan. Lazimnya, disebabkan oleh normalissi adat pergaulan, keluarga dan pendidikan agama di lingkungan sekitar. Bukan hanya dari kalangan masyarakat desa dan kota semata, akan tetapi boleh jadi juga terjadi di kalangan santri, gus dan kiai. Umumnya, hal ini dikarenakan budaya pesantren yang cenderung dogmatis, meskipun dewasa kini ‘mungkin’ ada beberapa pesantren yang menerapkan sistemnya untuk mencetak cendekiawan Islam, intelektual Islam yang tentunya dibutuhkan atas pemikirannya dan pembaharunya dalam segala ranah. Namun, persoalannya terletak pada pembiasaan hafalan yang memforsir ruang gerak analisis individu, meskipun eksistensi dan esensi hafalan ‘seharusnya’ bukan sebatas tulisan, melainkan juga kajian atau ‘seperti’ teori yang dapat digunakan untuk membedah berbagai problem agama secara tepat; mengingat basicnya ialah pesantren. Artinya, menempatkan secara berlebihan ruang hafalan dapat berimbas pada tercetaknya individu yang ‘boleh jadi’ cenderung taklid dalam berkeyakinan; tidak dapat menemukan Tuhan dalam keyakinannya melalui logika dan kemantapan hati. Sehingga, melabeli dengan berbagai argumentasi dan kata-kata bijak (umumnya) untuk membela diri, supaya tidak terlihat sia-sia.

Tidak sebatas sulit dan rumit seperti yang terurai di atas, melainkan juga sampai pada taraf ‘sesat’. Artinya, mempelajari tauhid dikhawatirkan oleh beberapa kalangan ‘hanya’ akan mengantar santru menuju kesesatan. Sehingga, untuk menghindari kesesatan tersebut, solusinya tidak lain ialah mempercayai saja ihwal tauhid, tidak perlu mendalami, apalagi menyelami maknanya. Sebab, kekhawatiran dalam mempelajari tauhid memberi dampak cukup besar berupa paradigma yang tentunya menciptakan respon dalam episteme individu hingga tindakan ekstrem seperti mengabaikan untuk menyelami tauhid. Meskipun, beberapa kalangan diantaranya sudah mengetahui eksistensi dan esensi tauhid dalam Islam dan bagi umat. Akan tetapi, tetap saja alasan khawatir ‘sesat’ dilambungkang. Akibatnya, tauhid sekan bukan menjadi ilmu yang diprioritaskan, melainkan sebaliknya, diakhirkan. Alhasil, berbagai paham dapat dengan mudah terkonsumsi tanpa melalui filterisasi nalar dan sangat besar kemungkinannya kemudian teraktualisasikan dalam tindakan.

Dari rumit, sulit hingga khawatir sesat, akhirnya individu tidak mempelajari tauhid secara otodidak terbimbing, melainkanhnya sekadar melihat berbagai kajian di internet. Tentu sangat berbahaya, jika yang menjadi acuan yang kemudian diidolakan merupakan paham yang tidak memiliki karakter santun. Secara logis, rumit, sulit hingga khawatir sesat adalah normal. Sebab, umumnya umat juga demikian. Namun, yang menjadi tidak logis ialah ketika ‘malah’ memilih untuk tidak mempelajarinya, melainkan taklid semata pada yang diidolakan secara fanatik. Tentunya hal tersebut adalah problem besar; dimana orang tidak belajar tauhid karena menganggap bahwa tauhid itu sulit, rumit hingga dapat menyesatkan. Secara sehat dan idealnya, jika seseorang membutuhkan sesuatu ia akan mengusahakannya, bukan memilih diam saja bahkan mengabaikannya, namun yakin bahwa yang dibutuhkan akan datang. Tentu tidak logis. Pun dalam tauhid. Orang yang sehat, tentu tidak akan mengatakan bahwa tauhid itu sulit, rumit dan dapat mengantarkan sesat tanpa mengaktualisasikan. Sedangkan, untuk bilang bahwa air dalam gelas itu manis, asin, tidak enak, seseorang harus menyicipinya /wajib dipelajariterlebih dahulu. Bedanya, air itu harus diminum dan dihabiskan layaknya tauhid harus , mau tidak mau, pilihannya hanya satu; melatih otot berfikir dan memantapkan kebenaran hati.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *