Kenapa harus menolak pembagian trilogi tauhid? Ada apa sih dalam trilogi itu? Mungkin, pertanyaan di samping merupakan bukti eksistensi keheranan, penasaran, dan keterbatasan akal manusia dalam beragama. Lebih dari itu, potensi pertanyaan yang eksis secara tidak langsung dapat diurai serinci mungkin melalui penalaran ilmiah dalam hukum akal.

Adapun tujuannya ialah menemukan kelogisan kajian ihwal ketuhanan yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi sistem kepercayaan. Apalagi, kajian ihwal tauhid sarat dengan keimanan dan kekafiran. Sebab, telah ditegaskan begitu jelas, bahwa orang yang tidak beriman disebut juga kafir. Sedangkan, jika orang Islam meninggalkan syariat Islam tanpa pengingkaran, maka orang tersebut dapat disebut maksiat. Berbeda lagi jika terdapat orang Islam yang kemudian mengingkari syariat Islam; rukun Islam, baik melalui lisan, tindakan, hingga keyakinan, maka orang tersebut disebut murtad; keluar dari Islam. Dalam hemat saya, pembatasan tersebut penting dikerangkakan dengan tujuan supaya dapat dengan mudah membedakan antara iman, kafir, maksiat, dan murtad.

Meski demikian, ada beberapa hal penting dan harus dipegang oleh umat Islam yakni perbedaan antara iman dan Islam. Pastinya, perihal Islam dapat dilihat secara dhohir; jasmaniahnya; dari mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, puasa, zakat hingga haji merupakan ibadah yang dapat dilihat dan dapat disaksikan secara jasmani.

Sedangkan, ihwal keimanan, hakikatnya hanya Allah yang tahu perihal kafir atau tidaknya seseorang. Sehingga, tidak dibenarkan jika melabeli kafir seseorang, apalagi sesama Islam hanya karena aspek Islamnya saja. Perlu ditegaskan, bahwa ihwal keimanan dapat dibuktikan secara logis argumen-argumen landasannya. Tentu, eksistensi argumen merupakan wilayah penting dalam beriman, karena membutuhkan ilmu juga guru yang teruji; dimana keilmiahan pembuktian keimanan dapat didiskusikan secara objektif-sehat, bukan semata doktrin saja. Artinya, keyakinan tidak sebatas ‘iya’ percaya dalam doktrin melainkan keyakinan yang diperkuat penemuan ‘dalil’ kelogisannya. Sehingga, outputnya ialah beriman melalui nalar logis beragama dengan jalan mengenal Allah melalui konsep dan penetapan nalar logis.

Dalam hal ini, tulisan ini mencoba membedah konsep pembagian trilogi tauhid melalui nalar logis. Secara umum, konsep trilogi tauhid dalam pembagian yang ditawarkan oleh beberapa kalangan Islam terbagi dalam 3 bagian yakni rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa sifat. Konsep ini dipecah dalam 3 bagian. Pemilahannya pun memiliki makna tersendiri-sendiri; antara rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat. Setiap bagian memiliki hukum sendiri-sendiri yang tidak terikat antar satu dan lainnya (ketiga konsep). Alhasil, tidak mesti orang yang lolos dari rububiyah dipastikan lolos juga dalam uluhiyah dan seterusnya. Sehingga, antar satu bagian dengan bagian yang lain kontradiktif, sedangkan ketiga-tiganya sama-sama dalam ruang tauhid.

Dari pemahaman atas ketiga konsep tersebut tentu membuat penasaran, kenapa demikian? Seakan terdapat ketidaklogisan dalam menalar agama, khususnya ihwal ketuhanan dan diksi pembendaharaan di dalamnya. Bagaimana tidak, orang yang telah mendapat label ahli tauhid satu bagian tetapi kafir di bagian lain. Tentu, sangat membingungkan. Sedangkan, eksistensi dan esensi konsep tauhid ialah untuk memudahkan umat dalam menetapkan keesaan Tuhan melalui kemantapan hati dan pikiran. Tidak hanya sebatas kemantapan dan pola pikir kelompok, melainkan juga pola pikir ilmiah yang dapat dibuktikan dalam diskusi objektif.

Pengantar ihwal pembedahan trilogi tauhid di atas tidak lain ialah untuk mengajak siapapun mulai kembali merefresh guna menyegarkan kembali cara mengesakan Tuhan dalam diri dengan tujuan supaya terbentuk individu yang logis dalam beragama dan menetapkan Tuhan dalam kesempurnaan; dimana Tuhan mustahil sama dengan ciptaanNya, salah satunya ialah suci dari sifat butuh.

Tentunya, membutuhkan penalaran kritis dalam menetapkannya, meskipun telah diketahui bahwa  akal terbatas, akan tetapi penting untuk diupayakan sebagai wujud penggunaan modal Tuhan. Maka, penting untuk mengkonsepkan Tuhan dalam nalar; tidak lantas hanya membayangkan, mengawang-awang, apalagi membentuk Tuhan dalam pikiran yang terkena ukuran dan lain-lain, melainkan mendekatiNya melaui penemuan akal dan nurani ihwal keesaan Tuhan. Sebab, salah satu jalan mengupayakan iman ialah mengenalNya yang Esa dan tiada yang serupa.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *