Dalam graduate seminar senin kemarin, kami dan para mahasiswa membahas buku John Kelsay, Arguing the Just War in Islam (Harvard, 2007). Ringkasan pembahasan kami sebagai berikut: 

Buku ini ditulis pasca kejadian teror 11 September 2001 di AS oleh kelompok Muslim. Banyak di Barat memunculkan anti-Islam dan slogan “war on terror”, dan ada kelompok Al-Qaida, memperdebatkan apa itu jihad, dan adakah peperangan yang adil (just war) dalam sejarah Islam seperti dalam sejarah Kristen barat? 

John Kelsay berpendapat Islam sebagai tradisi yang hidup (living tradition) yang pemahaman dan prakteknya dipengaruhi banyak faktor tekstual dan kontekstual. Salah satu karakteristik di kalangan banyak tokoh dan umat Islam adalah penggunaan SHARI’A REASONING: mencari dalil Al-Quran, sunnah, dan preseden historis, untuk menjawab erbagai persoalan baru, termasuk dalam hal konflik dan perang dan kepemimpinan politik. 

Kapan perang dilakukan? Siapa yang memiliki otoritas menyatakan perang? Dalam kondisi apa peperangan bisa dilakukan? Misalnya, mengutip ayat 22: 39-40, perang hanya dilakukan ketika diserang.  Perang juga dilakukan untuk melawan ketidakadilan, dan menghindari fitnah atau musibah yang lebih besar. 

Sejauh mana kekerasan dalam konteks perang diperbolehkan? Apa saja etika dalam peperangan? Bolehkan membunuh warga sipil, anak-anak, perempuan, orang tua? Dalam shari’a reasoning yang mainstream, warga sipil yang bukan tentara perang harus dilindungi, tidak boleh diserang. 

Buku ini membahas juga beberapa pandangan ulama Sunni termasuk Al-Shafi’i, Ibnu Taimiyyah, beberapa dari Mutazilah, Syi’ah, lalu di era moderen termasuk Ali Abdul Raziq yang berpendapat khilafah bukan ajaran universal Islam, bahwa kepemimpinan politik Nabi tidak berhubungan lansung dengan perannya sebagai Nabi. Berbeda dengan Al-Raziq, Rashid Rida tidak memisahkan agama dan politik secara tajam, dan mengusulkan adanya semacam badan konsultatif atau perwakilan dan khilafah yang mengawasi Mekah dan Madinah dan mengurus haji.  

 Buku ini membahas dua kecenderungan yang berbeda: militan dan demokrat. Yang militan dibahas dokumen Al-Faridhah Al-Ghaibah oleh M. Abdul Salam Faraj (1981), Charter HAMAS (1988), dan Declaration on armed struggle against jews and crusaders (1998), yang menekankan ideologi dan aksi perlawanan terhadap siapa yang mereka anggota musuh. Pihak Al-Azhar Mesir berusaha mengkritik pemahaman militan ini, sambil mengingatkan kaum Khawarij yang mencap kelompok lain sebagai kafir. Buku ini juga mengutip ulama kontemporer Yusuf Al-Qardhawi yang berpendangan bahwa masyarakat Israel pada dasarnya bersifat militaristik, termasuk warga sipil di dalamnya. Namun, pemahaman Al-Qardhawi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan shari’a reasoning ulama abad pertengahan yang tidak memasukkan warga sipil sebagai bagian dari militer atau tentara. Pembahasan juga mengutip pendapat menarik dari Presiden Iran waktu itu Ahmadinejad tentang Israel dan AS. Dibahas juga sejauh mana hukum bunuh diri dan hukum balas dendam dibenarkan shari’ah.

Selain itu, penulis membahas pandangan orang-orang yang ia sebut sebagai Muslim demokrat, seperti AbdulAzis Sachedina, Abdullahi An-Naimi, Khaled Aboe El-Fadl, yang menekankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusi dengan tetap menggunakan shari’ah reasoning.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *