Pagi sekali hari ini guru saya datang menjenguk. Batuknya yang khas terdengar sejak beliau berdiri di pagar pondok. Kopi panas kental penuh sahar kesukaan beliau kami suguhkan. Beliau tersenyum. Sementara saya menunggu dawuh.
“Kalau tak ada api, tak ada kopi. Kopi harus disangrai di atas api, airnya dipanasi dengan api, lalu jadilah kopi nikmat seperti ini. Jangan pernah menyalahkan api yang panas, apalagi melaknatnya. Allah menciptakan segala sesuatu itu pasti penuh dengan manfaat dan kebijaksanaan.” Itu kalimat pertamanya, saya paham dan mengangguk pelan.
“Kalau tak ada api, bagaimana pedang, pisau dan celurit bisa tajam? Untuk tajam ia harus dibakar dan dipukul-pukul, anakku. Kalau engkau sabar saat emosimu dibakar dan saat kehidupanmu dipukul-pukul dengan deraan musibah, tentu dengan sabar yang benar, maka mata hatimu dan pikiranmu akan tajam.” Itu kalimat keduanya. Saya menunduk malu, seakan beliau sedang membaca lembaran buku harian saya.
“Kalau tak ada gunting dan jarum, kamu tidak akan berpakaian indah seperti ini. Menjadi indah karena ada penjahit yang menggunting kain untuk memodelnya dan menusuk-nusukkan jarum untuk menjahit serta menyambungnya. Jadi, kalau ada yang mrnggunting kesempatanmu, kalau ada yang menusuk-nusuk hati dan perasaanmu, tak usah kamu balas dengan amarah, anakku. Nikmati, Sang Penjahit sedang bekerja untuk menjadikan kehidupanmu lebih indah dan rapi.” Itu kalimat ketiganya. Hati dan kepala saya seakan tersiram mutiara.
Beliau mengangkat cangkir kopi nya dan menyodorkan ke bibir saya sambil meminta saya meminum setengahnya. Beliau berbisik: “Hari ini hari Ahad Legi pertama di bulan Syawal. Ingat ya. Amalkan apa yang sudah saya ajarkan di malam Jum’at terakhir bulan Ramadlan minggu kemaren. InsyaAllah rizkimu akan terus mengalir.”
Beliau langsung berdiri dan pulang sambil tersenyum bahagia. Terimakasih guru. Salam, A. Imam Mawardi
No responses yet