Categories:

Sebuah kitab puisi tentang kematian mungkin tak biasa. Ujung kehidupan bukan tema yang ingin dibaca orang. Pada umumnya, orang ingin sebaliknya. Lupa akan akhir nafas yang pasti datang. Teknologi hiburan hari ini membantu menawarkan beragam pengalih perhatian. Saling berjejal memenuhi ruang fisik, maya, dan imaji setiap insan.

Namun barangkali justeru itu tujuan kiai penyair ini. Susunan syi’ir mengingatkan apa yang ingin dilupakan. Beliau berpesan:

سكارات فاتي مولا دين توتور – اڠ ايكي شعير كڠݢو فيتوتور
ماراڠ ووڠ اوريف كڠ فادا لالي – ماراڠ فاتينى سبب مردولي
اولهى ݢوليك ماراڠ دنيانى – اڠدالم رينا سرط وڠينى

sekarat pati mula dén tutur – ing iki syi’ir kanggo pitutur
marang wong urip kang pada lali – marang patiné sebab merduli
oléhé golék marang dunyané – ingdalem rina serta wenginé

Sekarat kematian ini dituliskan dalam syair ini supaya menjadi wejangan. Bagi mereka yang hidup namun lupa pada kematian karena perhatiannya hanya kepada duniawi semata, siang dan malam.

Kitab memilih tampil sederhana. Berbicara dalam bahasa Jawa ngoko ala masyarakat Jawa pada umumnya. Bahasa keraton terlalu tinggi. Apalagi bahasa Jawa Kawi. Orang perlu dimudahkan. Apalagi pada sebuah ajakan yang tidak akan populer.

Usaha mempopulerkan tetap dilakukan. Syi’ir menjadi jalan agar ajaran bisa dinyanyikan. Dalam pujian setiap salat. Dalam majelis kecil mingguan. Dalam pengajian lebih akbar bulanan. Di banyak desa, syi’ir berbahasa daerah karya ulama sekitar masih sering dibaca. Sebagai panggilan pada jamaah untuk segera berkumpul, karena pengajian akan dimulai.

Syi’ir bukan hal yang asing bagi masyarakat. Ia dekat dengan tradisi yang dulu pernah hidup makmur. Di masa lalu, puisi macapat berisi beragam ajaran budi pakerti luhur memenuhi memori kolektif masyarakat. Saat hamil tujuh bulan. Saat memperingati maulid Nabi. Bahkan saat menidurkan anak. Macapat dilagukan.

مولا دين شعير سوفايا دمن – اڤا اتينى لن اورا بوسن
تريما لووڠ بؤمناوانى – دادي سبابى ايليڠ اتينى
ماراڠ ڤڠىران كاڠ ماچا شعير- بانجور روماڠسا جرونى فيكير

Mula dén syi’ir supaya demen – apa atiné lan ora bosen
terima luwung bok menawané – dadi sebabé iling atiné
marang pengéran kang maca syi’ir – banjur rumangsa jeroné pikir

Oleh sebab itu ditembangkan supaya disukai oleh hati, pun tidak merasa bosan.
Menerima ikhlas dan semoga bisa menjadi sebab terbukanya mata hati.
Ingat pada Tuhan, mereka yang menembangkan syi’ir. Lalu berkenan merenung dalam pikir.

Kitab berjudul “Sekar Melati” mengingatkan prosesi pasca mati. Aroma bunga melati mengikuti dari rumah duka hingga kubur. Keluarga menaburkan bunga sebelum meninggalkan pusara.

Kitab memberikan wedaran. Sebelum seorang mengalami, kematian tidak dapat dipasti. Kapan datangnya. Bagaimana caranya. Dan dalam keadaan baik atau buruk. Seorang sering menginginkan. Muda foya-foya. Tua taubat. Mati masuk surga.

Namun kitab mengingatkan. Orang yang tidak persiapan akhirnya tak bisa diharapkan. Kematian datang tiba-tiba. Saat kenikmatan dunia justeru pada puncaknya.

نيڠ ايكي زمان باڠت اكيهى – كڠ فدا ݢودا ووڠ ساهى-ساهى
تركاداڠ كاتوت باب كومڤولانى – ووڠ فدا لاچوت كلاكوهانى

ning iki zaman banget akéhé – kang pada goda wong sahé-sahé
terkadang katut bab kumpulané – wong pada lacut kelakuhané

Dunia hari ini penuh cobaan. Kiai penyair berpesan betapa banyak godaan menimpa orang yang baik. Itu karena mereka berkumpul entah terpaksa atau sukarela dengan para pelaku tindakan hina.

Tahun 1940 sebelum merdeka kitab ditulis. Jika kiai penyair ini masih hidup mungkin beliau akan heran. Di masa kini, orang justeru berebut. Apa yang disebut kiai penyair dengan godaan duniawi. Harta dan kedudukan.

Fase saat mengalami kematian hingga dikubur juga diurai. Dengan format pengisahan imajiner kiai penyair mengajak pembaca mengikuti plot cerita.

: Seorang yang baik akan diizinkan kembali menemui jasadnya. Dia melihat, berpesan, dan menjerit.

هي فرا دولور اڠكڠ نوچيني – فون سروسرو سبب تاتونى
لابيتى نزاع ديريڠ دا سرنا – يين پوفوت جاريك الون الونا

Hé para dulur ingkang nucéni – pun seru seru sebab tatuné
labeté naza’ déréng da sirna – yén nyopot jarik alon-alona

Wahai saudaraku yang sedang mensucikan diriku – jangan keras-keras, karena luka bekas pisahnya nyawa dengan jasad belum hilang. Saat melepas “jarik” pelanlah.

Saat dimasukkan ke dalam liang lahat, ruh mayit berpesan:

اڠ اواك اڠسون بچيك كريما – لوان فاتحة صدقة سيڠ لوما
اجا كؤ ݢلا سيرا ڠيريمي – براڠكڠ دادي بوڠهنا مامي

Ing awak ingsun becik kirima – lawan fatihah shadaqah sing luma
Aja ko’ gela sira ngirimi – bangkang dadi bungahna mami

Terhadap diriku hendaklah kirim fatihah dan sedekah yang banyak. Janganlah kalian menyesal mengirimkan sesuatu yang dapat menyenangkanku.

Di alam barzah ruh tidak bisa lagi melihat keluarga. Apalagi menemui mereka yang di dunia. Hingga akhirnya hari kiamat tiba.

Kisah kiai penyair selesai. Kitab ditutup dengan menyebut jati diri kiai. Kitab ditulis oleh seorang kiai yang lebih suka menyebut nama anak dan ayahnya. Anaknya adalah Muhammad Sholeh. Ayahnya adalah Haji Nur Salim. Kiai penyair berasal dari bawah gunung di Pati, desa Kajen Juwana. Namun telah hijrah ke Kelaling Kudus. Kitab lebih tua dari usia bangsa Indonesia, selesai ditulis pada pukul 9 malam pada hari Jumat, 19 Rajab 1359 atau 23 Agustus 1940.


Terima kasih diucapkan kepada saudara Nanal Ainal Fauz dan Yayasan Turots Ulama Nusantara yang telah mengumpulkan karya-karya ulama nusantara. Di dalamnya, saya menemukan kitab yang saya bahas di atas.

Mohon fatihah untuk saudara-saudara tenaga medis yang telah berjuang dan gugur dalam menjalankan tugas mereka. Semoga arwah mereka tenang dan bahagia.

Wallahu A’lam
Semarang, Sya’ban 1441 Hijri/April 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *