KH. Darip Klender adalah Haji Mohammad Arif, putra asli Betawi yang lahir di Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur pada tahun 1886 dari pasangan Haji Kurdin dan Haji Nyai. Ia hanya menempuh pendidikan nonformal ngaji di kampung, di antaranya dari gurunya Haji Gayor di Klender. Ayahnya adalah pemimpin gerombolan yang terkenal, Gempur. Darip dimitoskan punya jimat kekebalan dan pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya.

Sebelum menjadi ulama, selama bertahun-tahun menjadi mukimin di Haramayn dan bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Mengawali perjuangannya dengan berdakwah di sebuah mushola kecil4 dan berjuang bersama para ulama lain, yakni KH Mursyidi dan KH Hasbiyallah.

Wilayah kekuasaannya membentang dari Klender hingga Pulo Gadung, dari Jatinegara sampai Bekasi. Setiap orang Cina, Eurasia, bahkan Eropa, jika melewati wilayah kekuasaannya, pasti dijarah serta harus berteriak “merdeka!” dan wajib membayar dua gulden.   Ia pernah memimpin pemogokan buruh kereta api pada 1923. Ia juga pernah mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk menguasainya agar tidak dikeluarkan, apalagi keluar dari klender. Klender dijadikan wilayah pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan.

Ketika pendudukan Jepang, ia memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Sebagai Panglima Perang dari Klender, ia bersama para pemuda dari Menteng 31 yaitu Maruto Nitimihardjo, Sjamsuddin Can, Sidik Kertapati dan MH. Lukman membentuk Barisan Rakyat (BARA) yang terdiri dari pelarian KNIL Pondok Gede dan mempunyai pasukan organik terlatih. Secara umum BARA bertugas memobilisasi penduduk dan bekerjasama dengan para para pejuang di kampung-kampung sebelah timur Jakarta yang sudah diketahui pemimpinnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam menegakkan Republik, BARA juga berperan dalam menumpas gerakan anti Soekarno. 

Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. Sebenarnya, ia sejak dulu sudah berjuang bersama Bung Karno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ketika Perang Kemerdekaan RI Pada 19 Oktober 1945, sebanyak 68 orang serdadu Angkatan Laut Jepang dibantai di Bekasi dalam perjalanan mereka ke Penjara Ciater. Pada 23 November 1945, sekelompok tentara Belanda dan Inggris tewas dihajar kawanan bandit Bekasi. 

Pada suatu penyerangan, wilayah Klender berhasil diduduki Belanda sehingga ia bersama pasukan BARA mundur dan membuka front Cikarang – Karawang – Purwakarta dan  membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler. Setelah Perundingan Renville, ia dan pasukannya harus hijrah ke Yogyakarta memenuhi instruksi pemerintah Rl. Dalam perjalanan hijrah inilah pasukannya disergap Belanda, karena ternyata ada diantara anak buahnya yang menjadi mata-mata Belanda. Mereka disergap di sekitar Cirebon, lalu dibawa ke Jakarta.

Dalam perjalanan, ia mendapat perlakuan yang kejam karena tidak mau mengaku sebagai anggota TNI. Selanjutnya Darip dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota dan dikeluarkan setelah menjalani hukuman kurang lebih selama 2 tahun 8 bulan. Berita tertangkapnya H. Darip sampai ke anak buahnya. Mereka sangat marah ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh Jami. Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami ditangkap dan tewas dibunuh oleh anak buah H. Darip yang setia.

Pada akhir tahun 1949 H. Darip menulis surat kepada Soekarno agar ia dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati, istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan H. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, H. Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya yang hampir 100 orang menyambut H. Darip di luar penjara dan membawa ke rumah Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender.

Rumahnya di Klender sudah habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana untuk H. Darip. Pada Mei atau Juni 1950 H. Darip dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia dijemput oleh Letnan Ishaq Latief. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono.

Soekarno menyambut dan memeluk H. Darip sambil menangis. Soekarno lalu menjelaskan surat H. Darip yang dikirimkan untuknya. Soekarno merasa yakin bahwa H. Darip akan bebas dan tidak akan mati di penjara. Pada tahun 1950 ketika keamanan Jakarta belum sepenuhnya stabil, foto H. Darip terjual habis. Masyarakat Jakarta, khususnya Klender dan terutama keturunan Cina akan merasa aman jika rumahnya terpampang foto H. Darip. Para pencoleng dan gerombolan penjahat tidak akan menggangu rumah atau toko yang terpampang foto H. Darip.

H. Darip adalah rakyat biasa yang kemudian memimpin rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah. Ia memiliki wibawa sehingga bisa menggerakan api semangat perlawanan terhadap penjajah.

Ia juga berjuang tanpa pamrih sehingga ia tidak memperdulikan gelar veteran dan pahlawan. Di akhir masa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan sekitarnya untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat saat belajar di Makkah. (Ahmad Fadli, 2011) H. Darip meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung Jakarta Timur bersebelahan dengan makam salah satu istrinya, Hj. Hamidah.[]

Munawir Aziz, Pahlawan Santri : Tulang Punggung Pergerakan Nasional, hlm. 201

https://www.youtube.com/watch?v=8-h1jiMNIn 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *