Bagi masyarakat Indonesia dan juga negara tetangga, nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka adalah seorang tokoh ulama yang tidak asing. Ia adalah tokoh ulama Muhammadiyah yang sejak ormas ini masuk pertama sekali ke tanah Minangkabau pada tahun 1925 M. Lahir dari keluarga ulama yang memegang teguh ajaran agama Islam. Ayahnya adalah Syaikh Abdul Karim Amrullah, diantara tokoh pembaharu Indonesia di awal abad 20 masehi, dimana perannya dalam membentuk pandangan pembaharuan keagamaan dalam beberapa masalah sangat besar.

Buku Saya Kembali Ke Rukyah, karya Buya Hamka, tahun 1972

Di samping itu, ayahnya juga pembawa Muhammadiyah kea lam Minangkabau. Sementara kakeknya, Syaikh Amrullah adalah tokoh tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau dan sahabat Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau di Mekkah. Oleh karenanya tidak heran Buya Hamka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan keagamaan yang kuat sehingga menjadi satu tokoh agama yang otoritatif juga.

Baca Juga : Syekh Haji Karim Amrullah dan Sumatera Thawalib

Berbicara Buya Hamka berarti berbicara Muhammadiyah itu sendiri. Konten ini yang ditemukan dalam buku yang berjudul Saya Kembali ke Rukyah: Menjelang 1 Ramadan 1392 M karya Buya Hamka. Buku ini diterbitkan oleh Firma Islamiyah di Medan tahun 1972 M dan menurut saya menurut saya merupakan karyanya yang tergolong langka. Saya berasumsi mengapa sebagian besar karyanya ada diterbitkan di Medan, sebab kota ini sudah menjadi tempat keduanya setelah Minangkabau –walaupun tempat akhirnya berada di Jakarta- dimana sebagian hidupnya besar di kota ini. Ini bisa dilihat dalam karya otobiografinya yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup yang empat jilih tersebut.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, buku ini berbicara tentang perjalanan hidupnya terkait persoalan hisab dan rukyah bulan Ramadan dan Syawal. Karya ini lahir karena memenuhi permintaan fatwa dan jawaban kepada Buya Hamka dari seorang warga Muhammadiyah di Kubang, Payakumbuh, Sumatera Barat yang bernama Hasan Basri Sultan. Konten pertanyaan yang diajukan kepadanya berkisar kepada dua tema umum: 1) fatwa mufti Mesir bernama Syaikh Muhammad Khatir tentang perbedaan negara-negara Islam yang memulai dan menutup puasa setiap tahunnya, dan 2) dapatkah fatwa mufti Mesir tersebut diterapkan di Indonesia.

Secara lebih spesifik, Hasan Basri Sultan sebagai penanya mengajukan sebuah tulisan di majalah “Mimbar Islam”, no. 9 tahun Ramadan 1391 H/ Oktober 1971 M yang diterbitkan oleh lembaga resmi negara Al-Majelis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah di Kairo. Pada halaman 112 berjudul Jaulah Ramadaniyah fi al-Bilad al-Islamiyah (safari Ramadan di negara-negara Islam) yang mewawancarai mufti Mesir, Syaikh Muhammad Khatir dengan pertanyaan: pada tiap-tiap tahun, kita dapati negara-negara Islam itu berbeda permualaan puasanya, apa yang menyebabkan perbedaan itu, dan bagaimana pendapat mayoritas ulama fikih dan tuan tentang itu?

Jawaban yang diberikan mufti tersebut adalah bahwa setiap negara memulai puasanya setidaknya dengan dua pendapat:

  1. Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa setiap negara mempunyai matlaknya sendiri, dengan pengertian bahwa rukyah di satu negeri tidak dapat mempengaruhi negeri yang lain. Argumentasi ini berlandaskan hadis Kuraib (HR. Imam Ahmad, Muslim dan Turmudzi).
  2. Mayoritas ulama berpendapat segala matlak bersatu dalam beberapa negara Islam yang sama sebagian malamnya, dengan pengertian bahwa apabila hilal sudah dilihat di suatu negara, maka negara Islam lain yang sama malamnya harus mengikutinya. Argumentasi ini berlandaskan keumuman maksud dari hadis yang terjemahannya: berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. 

Setelah menghitung secara matematis, ia mengatakan bahwa negara Islam dari Mesir sampai Indonesia, malamnya adalah bersatu, dengan pengertian tanggalnya satu walaupun waktu salatnya berbeda. Ia juga menampilkan empat aliran di Indonesia dalam menetapkan awal Ramadan, yaitu:

  1. Apabila ijtimak terjadi sebelum terbenam, malamnya adalah tanggal satu,
  2. Apabila ijtimak sebelum fajar, malam itu adalah tanggal 1,
  3. Apabila hilal sudah berada di atas ufuk haqiqi sesudah terbenam, maka malam tersebut adalah tanggal satu, dan
  4. Apabila hilal sudah berada di atas ufuk mar’i dan imkan rukyah, maka malam itu adalah tanggal satu.

Untuk memperjelas empat teori hisab tersebut, ia memberikan ilustrasi sebagai berikut: bahwa telah terjadi ijtimak di suatu negeri pukul 14.55 WIB (waktu sore), sementara matahari terbenam daerah tersebut pukul 18.13 WIB. Menurut teori nomor 1 dan 2, sesudah matahari terbenam pada hari tersebut, tentu malamnya adalah tanggal satu, dan besoknya dimulai berpuasa. Sementara teori 3 dan 4, kemungkinan tanggal satu jatuh pada malam berikutnya. Sebab, wujud hilal belum berada di atas ufuk haqiqi ataupun mar’i.

Oleh karenanya, hasil penghitungan hisab hanya digunakan utuk mengetahui apakah di daerah Islam yang malamnya sama sudah ada kemungkinan untuk rukyah. Sementara di Indonesia dan Mekkah yang sama tanggal Zulhijjah, meskipun berbeda waktu salatnya. Ia kemudian meminta pendapat Buya Hamka.

Adalah jawaban yang diberikan Buya Hamka berupa perjalanan hidupnya dalam persoalan hisab yang dianutnya sejak awal yang beralih kepada penggunaan rukyah dalam arti terbatas. Ia mengawali jawaban ini dengan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam kongres ke-20 tahun 1930 di Yogyakarta yang kesimpulannya adalah yang diutamakan rukyah baru dengan hisab.

Ia mengatakan bahwa yang pertama sekali membuka jalan metode hisab adalah ulama Minangkabau yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad Jamil Jambek dan ayanya, Syaikh Abdul Karim Amrullah dalam karyanya Kitab al-Rahmah. Secara umum, mayoritas ulama berpegang kepada rukyah.

Tetapi ada sebagian kecil pendapat ulama Syafi’i yang mengatakan apabila meyakini dengan hisabnya dibolehkan berpuasa dengannya. Tetapi praktiknya di Indonesia, sejak ulama-ulama Minangkabau tersebut berpendapat dengan hisab dan dikuatkan dengan keputusan Majelis Tarjih tahun 1931, metode hisab yang terus dipakai. Sementara rukyah diterapkan oleh kerajaan yang ada di Sumatera Timur sampai sebelum perang.

Bahkan tentang tahun 1931 itu, ia menghadirinya. Bahkan, di Makassar 1932 dan di Medan, ia termasuk yang aktif mempertahankan hisab dan berlawanan dengan Syaikh Mahmud Khayyat sebagai tokoh Penasehat Utama Muhammadiyah di Medan yang mempertahankan rukyah. Pada tahun 1952 di masa Orde Lama, ketika pemerintah menggunakan istikmal 30 Sya’ban, ia sebagai Imam Besar Mesjid Agung Al-Azhar Jakarta memulai puasa lebih dahulu sehari dengan hisab dari ketetapan pemerintah.

Oleh karenanya hal tersebut menjadi salah satu sebab dijebloskan ke dalam penjara.Perubahan dalam sosok ulama besar Indonesia ini dimulai sejak Konferensi Islam Dunia di Kuala Lumpur antara 21 sampai 27 April 1969, dimana ia menjadi salah satu utusan negara Indonesia. Dalam konferensi tersebut hampir mayoritas delegasi dunia itu berpegang kepada rukyah, kecuali dua orang: Buya Hamka dari Indonesia dan lainnya dari negara Iran.

Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan bahwa metode resmi yang dipegang pemerintah Indonesia adalah dengan rukyah, tetapi memberikan kebebasan bagi penganut hisab berpuasa dengan hasil hisabnya. Selain hasil kongres yang berpegang kepada rukyah, juga memberikan rekomendasi penyatuan awal dan akhir puasa dengan rukyah di seluruh dunia. Karena gagasan tersebut, KH. Muhammad Dahlan yang menjabat menteri agama saat itu mendirikan observatorium rukyah di Pelabuhan Ratu yang berada di Sukabumi.

Selain kongres sebagai awal perubahan dalam sosoknya, penyebab lain adalah metode hisab yang diterapkan oleh Haji Sa’aduddin Jambek, tokoh ilmu falak Muhammadiyah dan anak Syaikh Muhammad Jamil Jambek. Sebagai ilmuan ilmu falak dan ketua Majelis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah, ia memperkenalkan dua metode ufuk yang baru, yaitu ufuk haqiqi dan mar’i. Menurutnya, meskipun hilal sudah ada (wujud), apabila belum terlihat di ufuk yang dikenal dengan ufuk mar’i, maka langkah selanjutnya adalah dengan istikmal yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi genap tiga puluh hari. Pendapat ini baru dan berbeda dengan banyak pengamal hisab secara umum, dimana menurut mereka apabila sudah ijtimak berarti bulan sudah ada, meskipun tidak terlihat.

Dalam hal ini tidak perlu dilakukan rukyah lagi sehingga besok dimulai berpuasa. Bagi Haji Sa’aduddin Jambek, bulan tersebut belum masuk dalam imkan rukyah atau memungkinkan dapat dilihat sehingga digenapkan tiga puluh hari. Buya Hamka menambahkan bahwa tahun 1398 H terjadi hasil perbedaan hisab antara Haji Sa’aduddin Jambek dan Majelis Tarjih sendiri. Oleh karenanya hisab tersebut, pemnerintah Indonesia dan Mesjid Al-Azhar sendiri bersama dalam memulai puasa, sementara Muhammadiyah dan beberapa ormas lain sehari sebelumnya. 

Buya Hamka dan Abah Anom Suryalaya, Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Konsekuensi dari pegangan Buya Hamka ini menyebabkan ia banyak dikecam oleh beberapa sahabat dan muridnya, seperti Haji Abubakar Aceh, Amiruddin Siregar, dan Mahmuddin Sudin. Bahasa yang digunakan juga tidak sepantasnya keluar dari seorang berilmu. Kesimpulan yang diberikan Buya Hamka dalam buku ini adalah:

  1. Muhammadiyah tidak melanggar keputusan Majelis Tarjihnya, sekiranya memulai puasa dengan rukyah dan istikmal. Sedangkan hisab sebagai mempermudah rukyah
  2. Jalan mempersatukan ibadah puasa masyarakat Indonesia adalah dengan rukyah
  3. Memulai dan menutup puasa dengan rukyah sudah dipelopori oleh KH Faqih Usman, seorang menteri agama dari ormas Muhammadiyah (cabinet halim, 1950)
  4. Membuat keputusan sendiri dan mendahului keputusan pemerintah adalah suatu hal yang tidak bijaksana
  5. Gagasan yang telah dimulai sejak Kongres Islam Dunia di Kuala Lumpur, kemudian diikuti oleh Persatuan Negara Islam di Mekkah dan Majelis Tinggi Agama Islam di Kairo dengan rukyah seharusnya menjadi perhatian6. Meletakkan persoalan ini dalam konsep Islam, tanpa melihat pro-kontra politik saat itu.

Medan, 3 Mei 2020 M/ 10 Ramadan 1441 H

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *