Berterima kasih terhadap orang yang menyebabkan adanya nikmat adalah keharusan. Seperti dalam hadist:
لم يشكر الله من لم يشكر الناس
Seseorang belum dikatakan benar-benar bersyukur kepada ALLOH atas nikmat yang dianugerahkan, bila ia belum mensyukuri orang yang menjadi perantara datangnya nikmat itu.
Wujud kita adalah sebuah nikmat. Dan mensyukuri perantara wujudnya nikmat adalah wajib. Sehingga kita wajib untuk memuliakan orang tua yang menjadi perantara wujud kita di dunia ini.
ووصينا الإنسان بوالديه.
ووصينا الإنسان بوالديه حسنا.
ووصينا الإنسان بوالديه إحسانا.
Menjadi alim memang anugerah dari ALLOH. Akan tetapi salah satu dari perantara seseorang menjadi alim adalah didikan, ajaran, tarbiyah, ta’lim dan doa dari guru. Maka wajib bagi kita untuk mensyukuri nikmat itu dengan salah satunya menghormati atau ihtirom kepada guru.
Kadang dari kita ada yang menghormati kyai yang mendidik kita. Tetapi kadang kurang menghormati keluarga dan putra-putri kyai itu. Lebih-lebih terhadap putra guru yang dulu diasuhnya. Atau putra guru itu menjadi adik kelas atau teman kelas.
Kadang kita mengaji kepada kyai, dan juga kepada putranya. Maka kita menghormati putra itu karena dua hal:
1. Hormat karena putra kyai itu sebagai guru.
2. Mencintai putra kyai itu sebagai bentuk cinta kita guru.
Di dalam suatu hadist disebutkan:
فاطمة قطعة مني من أحزنها كأنه أحزنني ومن فرحها كأنه فرحني
Fatimah adalah putri dari Nabi Muhammad, orang yang membuat sedih Fathimah juga membuat sedih Rosululloh. Orang yang menggembirakan Fathimah, juga menggembirakan Rosululloh sebagai ayah beliau.
Dari hadits itu kita mengambil hikmah bahwa menghormati putra atau putri guru, juga termasuk menghormati guru. Begitu juga dengan cinta.
قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى
Hal itu, karena cinta tidak akan tumbuh sendiri. Cinta akan menyeret orang yang mencintai untuk juga mencintai hal yang berhubungan cinta itu.
Orang yang cinta terhadap Mbah Maimoen, akan mencintai hal-hal yang berhubungan dengan Mbah Maimoen. Sandal, Pakaian, saudara dan orang tua Mbah Maimoen juga turut dicintainya.
Sehingga kadangkala rasa cinta itu menjadikan lupa terhadap hukum. Setelah tersiar kabar wafatnya Mbah Maimoen, maka sebagian barang yang dulu akrab dipakai oleh beliau diambil oleh orang yang bukan ahli waris dengan alasan tabarruk (ngalap berkah). Padahal barang itu tentu sudah menjadi barang warisan. Dia wajib mengembalikan kepada ahli waris, untuk kemudian dibagi sebagai harta warisan. Atau dia wajib untuk meminta halal kepada semua ahli waris.
Padahal mestinya dia tahu bahwa berkah tidak akan wujud dari sesuatu yang haram atau syubhat. Cinta memang memang membuat orang lupa.
Saat saya masih di pondok dulu, saya berkali-kali membeli serban dan sajadah dengan uang pribadi, kemudian saat menjelang berangkat Jum’atan saya haturkan serban itu untuk dipakai oleh Syaikhona Maimoen Zubair. Di masjid saya menata sajadah itu untuk beliau. Setelah pulang dari Jum’atan, saya menunggu Syaikhona sampai istirahat dan mencopot serban yang dipakai oleh beliau. Saya ambil lagi sajadah dan sorban itu untuk dipakai lagi Jum’at depan. Setelah beberapa waktu, saya ganti dengan yang baru untuk dipakai kembali oleh beliau.
Mulai 2014 saya membeli kitab-kitab yang akan dibaca oleh beliau saat ngaji setelah ashar dan ngaji romadlonan. Saat beliau menanyakan kitab yang akan beliau baca, saya haturkan kitab itu, untuk dibaca sampai khatam. Setelah khatam, kitab itu saya ambil lagi, karena kitab itu milik saya.
Barang-barang milik saya pribadi yang telah dipakai oleh beliau, saya bawa pulang semua ke rumah di Kramatsari.
Mungkin juga salah hal yang saya lakukan, tetapi saya meminjamkan barang saya untuk dipakai, bukan memberikan. Walaupun mungkin secara syariat kurang pas. Tetapi minimal tidak mengambil barang pribadi beliau.
Semoga kesalahan-kesalahan kita diampuni.
Ditulis oleh Kanthongumur
di Majlis Ta’lim Sabilun Najah
Kramatsari III Pekalongan Barat
No responses yet