Ritual yg satu ini dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu hasil “reproduksi budaya agama” oleh para ulama nusantara.

Bagi kaum pengikut dan pecinta tahlil, berbagai macam wirid yg pahalanya dikirimkan kepada mayyit (semacam basmalah, hamdalah, tahlil, takbir, tahmid, tasbih, istighfar, sholawat, dan do’a), berbagai makanan dan suguhan yang dihidangkan kepada para tamu (sebagai shodaqoh yg pahalanya dikirimkan kepada mayyit), berbagai obrolan yang terjadi dalam majlis tahlil (mulai dari masalah keluarga, kampung, ekonomi, kriminalitas, sepakbola, hingga konstalasi politik), merupakan elemen-elemen pokok dalam ritual tahlil serta perekat hubungan sosial kemasyarakatan.

Di sisi lain, bagi saya pribadi, elemen penting yang “seharusnya” ada dalam “ritus sosial” ini adalah proses “mengingat” (adz-dzikru), baik mengingat masa lampau, mengingat keluarga maupun rekan yg sudah mati, maupun mengingat kematian itu sendiri. Terjadi semacam imajinasi masa lampau dan bayangan di masa mendatang; ada rasa kesejarahan dan kemendatangan di dalamnya (sense of historicity and futurity).. hee..

Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam ritual tahlil terdapat usaha untuk “meruwat” ingatan masa lalu, menjaga silsilah, menjaga hubungan kekeluargaan dan ketetanggaan, mempertahankan rasa kesejarahan didalamnya serta berproses menuju masa depan yang lebih baik.

Tak heran, jika saudara kita yg “anti tahlil” di timur tengah memiliki kecenderungan anti-simbol sejarah. Banyak situs-situs sejarah islam yang berkaitan dengan “jejak lampah” habibuna Muhammad dan keluarga yang tidak dipelihara dan kemudian dihancurkan. Bahkan, kejadian terakhir yang membuat marah “dunia sejarah” adalah upaya penghancuran patung Buddha Bamiyan oleh pejuang Thaliban dan penghancuran situs-situs sejarah dunia oleh pejuang ISIS di Irak dan Syria, yang terindikasi juga “anti tahlil”. Hee..

Pelajaran yang bisa kita petik atas fenomenologisasi tahlil adalah disamping menjadi wujud kecintaan kita pada keluarga dan rekan, pengingat masa lalu dan masa mendatang, perekat hubungan sosial kemasyarakatan, tahlil sebenarnya dapat menjadi “obat mujarab” atas merebaknya isu fundamentalisme agama.

Sikap-sikap fundamentalistik agama yang berwujud atas penolakan pada situs sejarah (kuburan), ziyarah, kebudayaan lokal, kesenian daerah, toleransi, gampang mengkafirkan, gampang menuduh syirik, sebenarnya dapat terobati dengan ritual ala islam nusantara yang berupa “tahlilan”. Hahaha

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *