Pengantar

Beberapa teman meminta saya untuk menuliskan apa yang dirasakan dan dialami terkait dengan COVID-19 yang sempat hinggap ke tubuh saya. Pengalaman ini dipandang penting untuk pembelajaran bagi siapa saja agar terhindar dari COVID-19 dan jika terlanjur positif bisa mengatasinya dengan tenang, penuh optimis, dan bisa sembuh secara sempurna. Amin. 

Baiklah, dalam masa pemulihan ini, saya coba tuliskan satu per satu apa yang saya rasakan dan alami terkait dengan COVID-19 ini. Sebetulnya, kemarin saya sudah menuliskan korasan pertama di bawah judul “Disambut dengan Spanduk dari Kerudung”. 

Jawaban atas Keraguan

Awal-awal COVID tersebar di Indonesia sekitar Maret 2020, banyak orang ragu terhadap keberadaan virus ini. Ada yang bilang, pada dasarnya virus ini tidak ada. Ini adalah konspirasi politik dan ekonomi global, politik dagang, bahkan cara Cina atau Amerika untuk mengubah tatanan ekonomi dunia. 

Ada lagi yang bilang, COVID 19 adalah kutukan Tuhan untuk negara-negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Ini adalah pasukan Tuhan untuk menghancurkan mereka.

Faktanya, berdasarkan data Worldometers pada Senin (19/10/2020), virus ini telah tersebar ke 215 negara, termasuk negara-negara Islam. Bahkan ibadah haji dan umrah pun sempat ditutup sementara waktu. Sekarang, total kasus COVID-19 di dunia sudah mencapai 40.278.207 kasus, dan 1.118.321 orang meninggal dunia akibat COVID-19. 

Amerika Serikat dan India menjadi negara penyumbang kasus COVID-19 terbanyak di dunia. Sementara Indonesia menjadi negara ke-19 tertinggi di dunia yang melaporkan kasus positif Corona, yakni 361.867 kasus.

Mengapa Saya Terpapar?

Banyak teman bertanya kepada saya, kenapa kok kamu terpapar (terkonfirmasi positif COVID-19)? Bagaimana ceritanya? Tentu tidak bisa saya jawab saat saya masih dalam masa isolasi di RS Tugurejo Semarang selama 13 hari.

Sekarang, saya sudah pulang ke rumah setelah dinyatakan negatif COVID-19 oleh pihak RS. Dalam masa pemulihan ini, saya coba jawab pertanyaan itu.

Saya adalah orang yang sejak awal percaya pada ilmu pengetahuan tentang keberadaan virus corona ini. Saya juga memandang bahwa tidak ada suatu peristiwa di dunia di luar kehendak Allah, termasuk pandemi global COVID-19 ini. 

Akan tetapi, saya tidak pernah memandang bahwa COVID-19 ini sebagai azab atau kutukan, melainkan sebagai kejadian (musibah) untuk menguji kehidupan kita agar ke depannya lebih baik, lebih teliti, lebih peduli, dan lebih bisa merawat alam semesta ini.

Setiap ke luar rumah, saya selalu berusaha untuk menaati protokol kesehatan, yakni memakai masker, cuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, dan menjaga jarak (physical distancing). 

Hanya saja, saya berbeda dengan sebagian teman yang sangat ketat untuk tidak keluar rumah. Sejak masa COVID ini, aktivitas saya seperti biasa. Silaturrahim ke keluarga, menghadiri acara walimatul ‘urs, menulis, mengedit buku, menghadiri acara secara online dan offline di Jakarta, Makassar, Garut, dan Cirebon.

Meskipun setiap keluar rumah berusaha menggunakan masker, tetapi tidak jarang saya abai mengenakannya, terutama ketika di Cirebon dan silaturrahim dengan keluarga. Di sinilah, saya menyadari (post-factum) potensi tertular sangat tinggi.

Sepanjang masa pandemi COVID-19 yang hampir satu tahun ini, saya merasa sehat wal afiat, tidak ada keluhan medis sama sekali. Kami hidup seperti biasanya. 

Namun, suatu hari setelah perjalanan maraton dari Makassar, Jakarta, dan Garut, setelah mengikuti acara online di rumah, tiba-tiba badan saya terasa pegal-pegal, lalu saya istirahat (tidur). Eh, setelah bangun tidur badan saya menjadi panas dan kepala terasa mumet, sehingga saya minum obat paracetamol.

Gejala Awal

Gejala badan panas, kepala mumet, dan badan terasa pegal-pegal, semua ini saya rasakan selama 6 hari. 

Pada hari pertama, untuk mengatasi ketidaknyamanan tubuh, saya melakukan mandi dengan air serei yang dipanaskan. Air panas itu saya kasih minyak kayu putih, lalu saya hirup uapnya. Sesuai dengan saran Kyai Iftah Deh  Siddiq, pengurus Lakpesdam PBNU, yang katanya resep dari Maulana Habib Luthfi, saya juga makan 3 bawang merah mentah.

Namun dalam dua hari, kondisi fisik saya tidak ada perubahan. Akhirnya, saya kontak saudara saya yang menjadi dokter umum, dr. Faisal Afif Ichal, suami dari Minhatul Maula, untuk minta resep obat-obatan yang harus saya konsumsi. 

Pada hari ketiga, saya pun curiga bahwa ini bukan sakit biasa. Saya mengalami anosmia, yakni kehilangan indra penciuman. Saat di kamar mandi, saya tidak bisa membedakan bau shampoo dan bau sabun. 

Karena gejala anosmia ini, saya bilang ke istri dan anak-anak, “Saya akan mengisolasi diri di kamar lantai dua”. 

Anakku Reaktif

Pada hari yang sama, anakku Nilna Zahwa Zaharah  video call sambil nangis minta dijemput sekarang juga. Alasannya, karena hasil Rapid Test-nya di Pesantren al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes  adalah reaktif. Kalau tidak dijemput, dia akan diisolasi di Pesantren. Dia tidak mau. Rapid Test ini dilakukan setelah dia diisolasi selama 1 minggu di Pesantren. 

Akhirnya, istri saya Nurul Bahrul Ulum dan adiknya Nafidah Inarotul Huda menjemput anakku Nilna Zahwa Zaharah ke Pesantren al-Hikmah 2.

Isolasi Mandiri

Setelah datang ke rumah, anakku Nilna Zahwa Zaharah langsung diisolasi mandiri di kamarnya lantai 2. Namun, selama perjalanan dari Pesantren ke rumah, Bunda Nurul Bahrul Ulum kontak langsung dengan ananda Nilna Zahwa Zaharah. Bahkan, Nilna tiduran di pangkuan Bundanya. 

Akhirnya, saya dan anakku Nilna Zahwa sama-sama isolasi mandiri di lantai 2 pada kamar yang berbeda. 

Kami gak keluar kamar. Semua kebutuhan konsumsi dilayani oleh istri dan anak-anak di rumah. 

Selama sakit ini, saya sendiri sempat Rapid Test oleh dr. Faisal Afif. Hasilnya non-reaktif. Saya tenang bahwa sakit saya bukan karena COVID-19. 

Sesak Napas Menyerang

Nah, pada hari ke-6, kondisi saya masih tidak berubah. Kepala tetap mumet, badan masih panas, batuk-batuk mulai muncul, ditambah dengan sesak nafas. Nafas saya tersengal-sengal, pendek-pendek. Namun, makan dan minum tetap lancar.

Karena kondisi inilah, saya telepon dr. Faisal Afif bahwa nafas saya tersengal-sengal dan pendek-pendek. Saya harus dirawat dan memperoleh penanganan medis. 

Pada waktu yang sama, saya juga telepon Gus Yasin (KH.  Taj Yasin Maimoen), Wakil Gubernur Jateng bahwa saya sudah 6 hari sakit, dan pada hari ini nafas saya tersengal-sengal. “Gus, adakah kamar RS di Semarang yang bisa menangani sakit saya  ini?”

Gus Yasin dengan cekatan, “Sebentar kang, saya telp dulu RS-nya dulu.” “Kang, sementara ini kamar RS penuh. Tapi, sebentar kita tunggu.” Dalam beberapa menit kemudian, Gus Yasin memberi tahu melalui staf Wagub bahwa kamar telah tersedia. “Monggo Pak Kyai ke Semarang.”

Pilih RS Tugurejo Semarang

Banyak teman bertanya, “Kenapa ke RS Semarang? Tidak ke RS Cirebon saja yang dekat?” 

Ini mungkin soal psikologis dan informasi yang saya dapat bahwa RS Tugurejo Semarang memiliki peralatan yang lengkap dan pelayanan yang baik untuk kasus COVID-19.

Sebelumnya, sepupu saya Walid KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Pengasuh Pesantren Darul Qur’an Arjawinangun, pernah dirawat di sana dan sehat kembali secara sempurna. Kakak iparku juga KH. Dr. A. Zaeni Dahlan, Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, dan istrinya Ny. Hj. Dr. Ade Marina serta anaknya Nuha Qonita, Lc.,MA juga saat itu sedang dirawat di sana. 

Itulah di antara pertimbangan saya menelepon Gus Yasin selaku Wagub Jateng. Gus Yasin adalah suami dari sepupu saya, Ny. Hj. Nawal Yasin, Lc dari Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon. 

Allah Menyelamatkanku

Saya yakin ini bagian dari skenario Allah. Selain tersedia kamar di RS Tugurejo, juga beberapa menit sebelum saya berangkat ke Semarang, tiba-tiba dr. Faisal Afif datang membawa tabung oxygen dengan peralatan lengkap.

Akhirnya, saya berangkat ke Semarang dilengkapi dengan oxygen. Ini sungguh sangat membantu pernapasan saya. Napas saya yang tersenggal-senggal terbantu dengan oxygen ini. Saya pun bisa tidur selama perjalanan ke Semarang.

Saya berangkat ke Semarang hanya ditemani istri setia saya Nurul Bahrul Ulum. Istriku duduk di kursi depan, saya tiduran di kursi tengah. Tiba di RS Tugurejo Semarang sekitar jam 00 dini hari. 

Kami langsung masuk IGD RS Tugurejo Semarang. Di IGD, saya langsung ditangani secara professional dan cekatan. Saya diberi oxygen, dicek tensi dan suhunya, diambil darahnya, dirongsen, dan diinfus. Suhu badan saya saat itu 39 derajat celcius. Ini dilakukan perawat sampai azan subuh terdengar. 

Setelah itu, saya kemudian dibawa ke kamar isolasi gedung Amarylis lantai 2 RS Tugurejo.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *