Sebagai anak bangsa, aku sungguh prihatin dengan kondisi negeri ini ‎yang kian hari kian tak menentu. Dunia politik di negeri ini dirundung ‎kegaduhan, nir kearifan.  Ekspresi keagamaan di negeri ini surplus kebisingan ‎dalam kerumunan, defisit perenungan dan penghayatan.‎

Sebuah pertanyaan sederhana patut diajukan. Apakah dalam ‎kegaduhan dan kebisingan, kearifan dan nilai-nilai ketuhanan dapat dihayati?‎

Aku tidak yakin mereka yang membuat kegaduhan atas nama rakyat, ‎dan kebisingan atas nama agama benar-benar berjuang untuk rakyat dan ‎agama.‎

Bukankah penghayatan hanya dapat dilakukan dalam kesunyian dan ‎perenungan? Bukankah kearifan dan nilai-nilai ketuhanan hanya bisa ‎dipahami dan diwujudkan dengan melakukan perenungan (tafakkur) yang ‎mendalam.‎

Melihat ke dalam diri (muhasabah, inward looking) jauh lebih efektif ‎untuk menghadirkan kearifan dan memahami nilai-nilai ketuhanan. ‎Sedangkan kegaduhan, kebisingan dalam kerumunan hanya akan ‎menjauhkan kita dari pemahaman substantif tentang makna kearifan dan ‎nilai-nilai ketuhanan.‎

Yudi Latif dalam karya reflektifnya “Makrifat Pagi” ‎menandaskan bahwa surplus kegaduhan dan kebisingan, serta defisit ‎kesunyian dan perenungan, adalah dua hal utama yang menyebabkan ‎penumpulan otak dan etik sebagian masyarakat negeri ini.‎

Mari kita lihat bagaimana para arif dan bijak bestari mendapatkan ‎pencerahan (enlightenment), bahkan memperoleh makna hidup (the meaning ‎of life) setelah melakukan perenungan mendalam.‎

Nabi Muhammad Saw. mendapatkan wahyu setelah cukup lama ‎bertahannuts, menyendiri, melakukan perenungan mendalam di Gua Hira. ‎Tuhan mendaulatnya untuk menjadi salah satu utusan-Nya, yang kemudian ‎mampu menghadirkan pencerahan kepada umat manusia.‎

Jauh sebelum Nabi Muhammad Saw melakukan perenungan, nun jauh ‎di India sana, berabad-abad sebelumnya, Siddharta Gautama yang hidup di ‎masa kerajaan Mahajanapada, sekitar 2500 tahun lalu, berhari-hari melakukan ‎perenungan di bawah Bodhi Tree.  Ia melakukan tapa brata, meninggalkan ‎seluruh kesenangan duniawi. Akhirnya,  ia pun kemudian mendapatkan ‎pencerahan.‎

Dalam khazanah Islam, sejumlah salik (para penempuh jalan Tuhan), ‎yang belakangan dikenal dengan istilah sufi, pun setali tiga uang. Mereka ‎melakukan perenungan mendalam di tengah kesunyian diri, jauh dari ingar ‎bingar dan hiruk pikuk duniawi. Mereka mendekatkan diri kepada Tuhan ‎sedekat-dekatnya, hinga akhirnya tirai (hijab) kegaiban berliput kebenaran ‎sejati pun tersingkap benderang di hadapan mereka.‎

Dari sejumlah keterangan dan kenyataan ini, dapat kita simpulkan ‎bahwa kearifan dan nilai-nilai ketuhanan hanya akan didapat melalui jalan ‎sunyi, perenungan (tafakkur) mendalam, bukan dengan jalan kegaduhan ‎yang diliputi kebisingan.‎

Dalam politik yang gaduh, kearifan akan hengkang dan lintang ‎pukang. Dalam semarak keagamaan yang penuh kebisingan, nilai-nilai ‎ketuhanan terkubur formalisme keagamaan.   ‎

Hanya melalui jalan kesunyian diri, tafakkur mendalam, jauh dari ingar ‎bingar dan hiruk pikuk retorika politik yang memuakkan, serta formalisme ‎keagamaan yang gaduh dalam kerumunan penuh kebisingan, kearifan dan ‎nilai-nilai ketuhanan akan mewujud dan menjelma dalam diri setiap insan ‎negeri ini. Wahasil, harapan untuk hidup damai, sentosa, sejahtera yang ‎bertabur rahmat Tuhan akan terwujud. Semoga.‎

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *