Saat acara Salam Sapa Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) yang diisi diskusi tentang pemerintahan Ilahi Ibn ‘Arabi. Saya kaget tapi senang. Kaget karena HISSI mengadakan diskusi pemikiran Ibn ‘Arabi yang bagi sebagian orang bahkan, yg termasuk kategori sarjana Islam, Ibn ‘Arabi adalah seorang ulama yang kontroversial. Bahkan beberapa dari mereka yang mengetahui dari bahan bacaan pengkritik Ibn ‘Arabi seperti Ibn Taymîyah, bahwa pemikiran Ibn ‘Arabi menyimpang dari arus utama doktrin Islam yang mapan (ortodoksi). 

Kontroversi pemikiran Ibn ‘Arabi telah muncul sejak masa hidupnya dan jejak-jejaknya kontroversinya masih ada hingga hari ini. Terutama doktrin Kesatuan Wujud (wahdah al-wujud) yang sering dialamatkan kepadanya dan sering disalahpahami. Karena antara lain tidak membaca secara langsung karya-karya Ibn ‘Arabi dan keliru memahami arti wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi yang sering diidentikan dengan panteisme. Bahwa Tuhan sepenuhnya identik dengan alam dan sebaliknya.Sebuah interpretasi tentang wahdah al-wujud yang jauh dari pemikiran al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabi sendiri. 

Saya cukup senang Ibn ‘Arabi diangkat sebagai tema diskusi dalam suatu forum di mana di situ Para Ahli Hukum Islam Indonesia berada dan dengan narasumber langsung ahli Ibn ‘Arabi, Prof. Kautsar Azhari Noer yang dalam bukunya Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujud Dalam Perdebatan (1995) berupaya meluruskan kesalahpahaman doktrin tersebut yang ia tegaskan pula dalam forum diskusi tersebut. 

Saya senang pula atas sambutan Ketua Umum Majelis Pengurus Nasional (MPN) HISSI yang juga Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma yang dalam sambutannya mengemukakan bahwa diskusi tentang Ibn ‘Arabi ini sebagai upaya membuka sekat-sekat keilmuan yang seolah antara ilmu yang satu seperti fikih dengan ilmu yang lain seperti filsafat dan tasawwuf tidak ada hubungannya. Padahal terkoneksi satu sama lain. Diskusi ini juga sebagai upaya untuk, hal ini yang lebih menyenangkan bagi saya, mengapresiasi pemikiran para ulama meski berbeda dalam perspektif serta untuk meluruskan kesalahpahaman selama ini terhadap pemikiran ulama yang dianggap kontroversial, dalam hal ini Ibn ‘Arabi, lebih-lebih diskusi ini menghadirkan ahlinya, Prof. Kautsar. Diskusi ini diharapkan agar publik dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya pemikiran Ibn ‘Arabi. 

Diskusi yang diselenggarakan HISSI secara online itu menyajikan tema yang menurut saya luar biasa karena pertama kali diadakan langsung kepada tema, “Pemerintahan Ilahi atas Kerajaan Manusia: Psikologi Ibn ‘Arabi tentang Roh”.  Ini tema yang langsung melompat tinggi karena tidak mulai dari dasarnya, misalnya pengantar pemikiran Ibn  ‘Arabi untuk mengenalkan dulu pemikirannya. 

Barangkali, saya berasumsi bahwa hal itu tidak perlu bagi forum yang di situ umumnya adalah para sarjana bahkan guru besar yang tentu sudah tahu siapa Ibn ‘Arabi dan bagaimana pemikirannya.  Karena itu, tema yang diangkat, langsung kepada Pemerintahan Ilahiah Ibn ‘Arabi yang terkesan sebagai pemikiran politik Ibn ‘Arabi. Kemudian menjadi jelas bahwa itu tema metafisik seperti dapat dilihat pada subtema  pemikiran Ibn ‘Arabi tentang roh. 

Siapa yang merumuskan tema diskusi itu, saya tidak tahu. Tapi saya menilai tema itu dirumuskan oleh, barangkali pengurus HISSI  yang betul-betul telah memahami Ibn ‘Arabi dan karya-karyanya. Sebab tidak semua orang, bahkan Pengkaji Ibn ‘Arabi, mengetahui karya-karya Ibn ‘Arabi yang jumlahnya menurut katalog Osman Yahya, Histoire et classification de l’ œuvre d’ Ibn ʿArabī (Damas, 1964) mencapai lebih dari sembilan ratus kitab dan risalah. Salah satu karyanya dan yang menjadi tema besar dalam diskusi forum HISSI adalah tentang Pemerintahan Ilahiah Atas Kerajaan Manusia yang aslinya dalam Bahasa Arab adalah al-Tadbîrat al-Ilâhîyah fî Işlâh al-Mamlakah al-Insânîyah. 

Kitab ini diterjemahkan ke bahasa Inggris, Divine Governance of the Human Kingdom oleh Tosun Bayrak. Ibn ‘Arabi menulis: “Buku kecil ini berisi pengetahuan luas yang sangat bermanfaat bagi semua orang. Buku ini dikumpulkan dari Taman Firdaus dan dari Pemeliharaan Ilahi. Dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi orang beriman. Tidak ada dugaan atau keraguan di dalamnya. Bahkan jika beberapa mungkin menemukan kesalahan di dalamnya, mereka akan mengakui bahwa hal itu (hanya bagian kecil), (yang tidak mengurangi) kebaikan dan keindahannya. Aku menyebutnya: Kitab al-Tadbîrat al-Ilâhîyah fî Işlâh al-Mamlakah al-Insânîyah.” 

Ibn Arabi melanjutkan, “Kitab ini dibagi menjadi dua puluh satu bab. Setiap bagian berisi petunjuk untuk mencapai kesatuan, pemberian Tuhan kepada umat manusia. Kitab ini menunjukkan bagaimana menjaga ketertiban dalam Tatanan Ilahi sambil meningkatkan diri kita sendiri; Bagaimana membimbing hidup kita dengan cara yang benar; Bagaimana melindungi Kerajaan-Nya, yaitu manusia, dari kelalaian; Bagaimana memerintah Kerajaan Manusia dengan cara yang dimaksudkan untuk diperintah, oleh jiwa (roh) yang telah Tuhan tempatkan di dalam diri manusia sebagai Wakil (Khalifah)-Nya. Bahwa baik yang tinggi maupun yang rendah akan dapat memuaskan dahaga mereka dengan meminumnya. Bagi mereka yang mampu melihat di bawah bukti, ada tanda-tanda yang, jika diikuti, akan mengarah ke Sumber (Pusat semesta, Allah). Bagi mereka yang melihat permukaan, ada hal-hal yang (nampak) sejelas mungkin.” 

Kitab ini dibutuhkan bagi Para Pencari Jalan Spiritual.  Bagaimana menata diri yang dimulai dengan menjaga kefitrahan roh manusia, yang adalah Roh Ilahi yang ditiupkan kepada manusia. Bagaimana akal mengendalikan hawa nafsu dan syahwat dan seterusnya sehingga Tatanan Ilahiah mewujud dalam diri manusia (mikrokosmos) dan dalam tatanan dunia (makrokosmos). 

Dalam Versi Bahasa Inggris, buku ini sebuah karya yang kuat tetapi sedikit diketahui. Volume ini berisi tiga teks mistik. ‘Al-Tadbîrât,’ yang terbesar, adalah risalah yang menarik tentang Desain dan Pemerintahan Ilahi Atas Dunia, dan peran sentral yang dimainkan model manusia dalam proses kreatif dan pemerintahan. Dua lainnya adalah ‘Kitab Kun Ma La Budda Minhu Lil-Murid’ (“Apa yang Dibutuhkan Pencari”), panduan singkat bagi mereka yang ingin mengikuti Jalan Sufi. Dan ‘Kitab Al-Ahadiyyah’ (“The One Alone”), sebuah esai esoteris tentang Kesatuan Transendental. 

Akhir kata, diangkatnya pemikiran Ibn ‘Arabi ke dalam forum-forum diskusi dengan narasumber yang kompeten oleh berbagai kalangan merupakan hal yang cukup menggembirakan. Dengan begitu diharapkan publik lebih mengetahui pemikiran yang sesungguhnya sehingga kesalahpahaman dapat dikikis habis dan pemikiran Ibn ‘Arabi semakin diminati dan diapresiasi. Seperti yang sudah lama muncul dalam Kesarjanaan Barat di mana minat dan antusiasme terhadap Ibn ‘Arabi begitu fenomenal seperti ditunjukkan dengan munculnya publikasi karya-karya Ibn ‘Arabi dan tentang Ibn ‘Arabi baik dalam bentuk terjemahan, komentar, biografi maupun pemikiran Ibn ‘Arabi dalam berbagai aspeknya. Termasuk aspek hukumnya. Seperti yang Michel Chodkiewicz, William Morris, Eric Winkel dan lainnya termasuk karya penelitian saya, Filsafat Hukum Islam Ibn ‘Arabî (2020). Fenomena ini yang barangkali seperti dikatakan Chodkiewicz sebagai fenomena “Kebangkitan Ajaran Ibn ‘Arabi”  (Akbarian Renaissance). 

Wallahu a’lam. (29-06-2021).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *