Ikhtilaf adalah istilah dalam kajian hukum Islam atau fiqhul Islam yg berarti perbedaan, perselisihan, dan pertukaran. Kata ikhtilaf, sering pula disebut dgn kata “khilafiyah” yg mempunyai arti perbedaan pandangan atau pendapat, di antara ulama terhadap suatu persoalan hukum tertentu.

Masalah khilafiyah adalah masalah yg hukumnya belum atau disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan ulama dan umat Islam, bukan hanya terdapat dalam masalah fiqhiyyah saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal

Ikhtilaf Suatu Kewajaran Historis

Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja, khususnya masalah hukum agama, termasuk dalam masalah2 pandangan agama adalah sangat wajar dan suatu kelaziman sunnatullah. Sesuatu yg mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban, apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, kelompok, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu’iyyah, apalagi siyasah (politik). Bagai ruang mimpi dalam kamar ketidakmungkinan, jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia, dapat bersatu padu dalam satu istimbat (menggali dari teks asal/dasar) hukum Islam, atau istinbath al- ahkam. Belum lagi kita simak, ketika para ulama ahli fiqih, berdiskusi tentang satu masalah hukum, yg mengacu pada kitab2 ushul fikih, melakukan istinbath jama’i, dgn membuat metode istinbath al-ahkam sederhana, seperti metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi dan istilah atau pendekatan lainnya.

Sejak dulu, para ulama dan umat Islam sudah terbiasa memperdebatkan masalah hukum Islam. Mulai dari masalah ibadah, sampai pada bidang muamalat. Tapi, jika tidak proporsional dalam menyikapinya, akan dapat memicu rusaknya persatuan umat Islam di Indonesia.

Merasa Paling Benar

Kini yg terjadi, adanya perbedaan dalam paham keagamaan, dimanfaatkan oleh suatu kelompok minoritas umat Islam, yg pergerakannya makin hari justru sering didorong untuk saling menyindir, menghujat, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan antar sesama. Keadaan ini menjadi salah satu gejala kekhawatiran terjadinya “pertengkaran” siapa yg paling benar, harusnya cukup menghukumi, bukan menghakimi, semua yg bukan kelompoknya atau berbeda dgn pemahamannya adalah salah semua. 

Kelaziman masalah perbedaan pendapat dalam fikih terkadang dibesar2kan, dgn seringnya menuduh sbg ahli bid’ah, lantaran cara shalatnya berbeda. Akibatnya, perbenturan atau membentur2kan masalah fiqih ikhtilaf tsb tidak terhindarkan lagi.

Kajian mayoritas para ulama dahulu hingga sekarang, tentang faktualitas berselisihan pendapat suatu hal yg biasa. Ketidakfahaman terhadap ikhtilaf pada umumnya berangkat dari kelemahan konsep dalam memahami syariat Islam secara lengkap. Serta hanya belajar agama lewat satu versi seorang ustadz atau Kiai saja. Sehingga, pada saat perbedaan dalam hukum fikih muncul, internal umat Islam pun menjadi gaduh dan sengaja digaduhkan, agar ummat Islam mempertanyakan kualitas dan keabsahan faham mayoritas.

Yang sangat disayangkan, penyikapan ruang perbedaan tsb, dibumbui dgn sikap2 yg kurang elegan dan kurang adab minus akhlaq, serta terkesan mau menangnya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu fikih ikhtilaf penting untuk dijelaskan dan dipelajari oleh umat Islam, di tengah kondisi bangsa dan negara yg masih banyak problematika.

Tipologi Kualitas 

Jika dalam masalah yg khilafiyah (perbedaan pendapat) mampu memberikan wawasan, dalil-dalil ilmiah dijabarkan, kitab-kitab rujukan diberikan, lalu kemudian dirajihkan, sesuai sandaran pemahaman dan ilmunya, dgn tetap memiliki sikap sahaja menghormati orang yg berbeda pandangan dgnnya, inilah adalah salah satu tipologi orang yg berkualitas.

Tetapi, jika ada orang menulis permasalahan khilafiyah, tanpa melakukan pemeriksaan akar masalahnya dan historisitas perbedaannya, arogan, dalilnya itu-itu saja dan cenderung menyalahkan yg berseberangan dengannya, memvonis sesat, biasanya seperti inilah salah satu tipologi orang yg belum luas cakrawala dan wawasan keilmuannya, citek historisitas fiqhiyyahnya, kurang faham betapa luasnya ruang masalah khilafiyah. Bahkan, model seperti ini malah menganggap bukan masalah khilafiyah. 

Kesalahan awal inilah yg menyebabkan banyak orang semakin arogan dan tidak punya adab toleransi faktual adanya perbedaan. Tidak pernah merasakan lelah dan suka duka rihlatul ‘ilm. Insya Allah, jika mengalami masa lamanya belajar dihadapan guru dgn sungguh2, akan berubah dan menyesali kedangkalannya.

Mengapa Harus Faham Khilafiyah ? 

Seringkali kita mendengar yel-yel “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”, seperti tidak percaya dgn ijtihad dan keluasan ilmu para ulama yg ahli di bidangnya, seolah dirinya paling otoritatif menafsirkan Al-Qur’an dan hadits dibandingkan dgn para ulama tsb. Bukankah seluruh ulama tsb, semuanya memakai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukankah seluruh ulama tsb sama2 memakai acuan Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan mereka hafal Alquran, hafal ratusan ribu hadits, mengarang ribuan kitab dgn keahlian masing2, tetapi kenapa para ulama bisa berbeda pendapat dalam hal ini ? Hal ini yg harusnya dipelajari dan disadari, bukan malah meremehkan kepakaran mereka dlm bidang Al-Qur’an, hadits, fiqih dan lain2.

Aneh kalau ada yg berkata, “Kesampingkan akal di hadapan sunnah”, atau “Agama Islam sudah sangat sempurna. Kita cukup Copy Paste saja,” dan ungkapan2 lain yg senada. Seolah2 sebuah nash, baik ayat maupun hadits, bisa langsung diamalkan tanpa dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal dan pendapat ulama. Tak ada yg lain.  

Dari dulu para ulama sudah memperingatkan, akibat kalau sebuah hadits tidak dipahami dgn baik. Hebatnya, yg memperingatkan itu justeru para ulama pakar hadits itu sendiri. 

Siapapun, yg belum mendalami ilmu fiqih, ada kemungkinan besar mengalami sedikit-banyak kebingungan dan pertanyaan. Bahkan bisa jadi, dgn sikap arogansinya, berani menyalahkan para ulama salaf, khususnya ulama 4 madzhab.

Seolah dibangun struktur-anggapan kepada generasi awam, bahwa para ulama tsb tidak mengerti dgn Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan mungkin bisa bingung dgn tidak mengakui istilah2 yang muncul dalam kitab fiqih atau bisa juga tidak mau belajar fiqih, karena dianggap bid’ah yg tidak sesuai dgn Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Akhirnya, muncul adagium yg seolah benar padahal berbusa kedangkalan, “Kenapa tidak langsung saja menyebut menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah”. 

Jika kita menarik sedikit saja, keterbalikan adagium diatas, misalnya apakah ulama yg mengarang kitab2 tafsir tidak memahami Alquran? Terus penafsiran yg dilakukan tsb, bukankah acuannya Al-Qur’an ? Apakah ulama2 pensyarah hadits membuat kitab syarah tsb tidak berdasarkan hadits? Padahal mereka hafal ribuan bahkan ratusan ribu hadits dengan sanad dan matannya. Sungguh yg dilakukannya adalah laksana kampanye hitam dalam suatu pemilihan.

Memahami Historisitas Perbedaan

Bagi orang yg faham adanya historisitas perbedaan, dan mau belajar serta mendalami ilmu fiqih, maka pasti akan mengetahui dan memahami bahwa ilmu fiqih itu merupakan ilmu yg didasari atas dalil2 syar’i. Dalil2 syar’i itu bukan hanya Al-Qur’an dan as-Sunnah saja. 

Mari kita masuk dalam kajian acuan para ulama fiqih. Dalil2 fiqih yg disepakati mayoritas ulama, di antaranya adalah Al-Quran, Al-Hadis, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Adapun dalil yg hingga sekarang masih diperselisihkan para ulama di antaranya ada dalil istilah Maslahah Mursalah, Saddu adz-Dzariah, istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf dan syar’u man qoblana. Sehingga dgn banyaknya dalil yg ada tsb, bisa menyebabkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.

Boleh bagi kita untuk memilih atau condong ke salah satu madzhab yg ada dgn pembelaan dalil. Namun, jika memiliki kesadaran dan sikap ta’dib, pilihan tsb juga harus diiringi dgn rasa hormat dan menghargai pendapat yg berbeda.

Jadi cukup bagi kita pilih satu pendapat dan juga tetap menghargai pendapat mazhab lain. Karena semua pendapat ini lahir dari tangan para ulama ahlus sunnah wal jamaah yg ikhlas menyebarkan agama Allah Ta’ala.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (17 Maret 599 M Ka’bah Makkah – 29 Januari  661M Kufah Iraq) berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad bin al-Nahik al-Nakha’i al-Shuhbani al-Kufi atau Imam Kumail bin Ziyad rahimahullah (wafat 82 H / 701 M di Kufah Iraq)

يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yg terbaik adalah hati yg paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik2 apa yg akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yg berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yg terus mau belajar, dan orang inilah yg berada di atas jalan keselamatan. Orang yg tidak berguna dan gembel, dialah seorang yg mengikuti setiap orang yg bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yg tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yg kuat.” (Termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya wa thabaqatul Ashfiya’, 1/70-80 karya Al-Allamah Ahmad ibn `Abdullah ibnu Ahmad ibnu Ishaq ibn Musa ibnu Mahran al-Mihrani al-Asbahani Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau Imam Abu Nuaim Al-Isfahani rahimahullah, 947 – 1038 M Isfahan, Iran)

Wallahu a’lam bish Shawab

Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi  Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *