Ada pepatah mengatakan, musuh terbesar dalam hidup kita bukan datang dari luar. Musuh berbahaya bukan berada di sekeliling kita, tetapi dalam diri kita. Musuh dimaksud adalah hawa nafsu dgn beragam latar belakangnya.
Hawa nafsu, merupakan salah satu jalan masuknya pengaruh syaithon untuk menjerumuskan manusia kepada jurang kenistaan, pembangkaan dan kemaksiatan. Inilah sifat utama hawa nafsu secara umum, kecuali jiwa2 “bersih”, yg dirahmati oleh Penciptanya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
Akibat yg lebih parah lagi, ternyata hawa nafsu ini pun, mampu membuat seseorang menganggap baik, sesuatu hal yg sebelumnya atau sebenarnya dia anggap sebuah hal yg buruk.
Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Muhammad bin Hamdan bin ‘Umar bin ‘Isa bin Ibrahim bin Sa’d bin ‘Itbah bin Farqad Al-‘Ukbari Al-Hanbali atau Imam Ibnu Baththah Rahimahullah (917 – 997 M / 304 – 387 H), menukilkan dalam kitab Syarhu Wal Ibanah Ala Ushulis Sunnah Wad Diyanah, bahwa :
“Abdullah bin ʿAun bin Artaban al-Muzani al-Hafidh atau Imam Abdullah Ibnu ‘Aun rahimahullah (66 – 151 H / 685 – 768 M di Bashrah Iraq), mengatakan bahwa : “Jika hawa nafsu sudah menguasai hati, maka seseorang akan menilai baik, bagus hal2 yg sebelumnya dia anggap buruk / hina”.
Tapi dalam konteks tulisan ini membatasi pada ” hawa nafsu” terkait hal buruk yg harus dikendalikan sehingga perilaku buruk tadi tidak semakin menumpuk. Hal buruk dimaksud selain sifat serakah yg melahirkan perilaku korup, juga sifat mau menang sendiri, benar sendiri, sombong dan tinggi hati.
Dalam cakupan yg lebih luas lagi adalah perbuatan buruk lainnya yg tidak saja melanggar norma hukum dan agama, juga etika, adat dan budaya. Meremehkan orang lain, merendahkan orang lain, sementara menganggap dirinya paling baik memperlihatkan belum adanya niat pengendalian diri. Menganggap orang lain sbg penghambat lajunya prestasi, menuduh orang lain sebagai penyebab kegagalan, mencerminkan belum adanya upaya mawas diri atas kegagalan diri sendiri. Selagi masih terus menghakimi orang lain, mencari2 aib orang lain, tapi lupa atas aib diri sendiri, cermin masih rendahnya kemampuan mengontrol diri ( self control), terhadap hawa nafsu yg bermukim dalam diri.
Maka dari maqalah ulama tabi’in tsb, efek negatif dari hawa nafsu, ternyata dapat membutakan dan membuat tuli seseorang. Hawa nafsu dapat membutakan seseorang dari kebenaran, sehingga dia tidak mampu melihatnya. Hawa nafsu pun dapat membuat tuli seseorang sehingga dia tidak mampu mendengar kebenaran. Hawa nafsu juga dapat membisukan seseorang sehingga dia tidak mampu mengatakan kebenaran.
Jika hati seseorang telah dikalahkan hawa nafsunya, maka dia akan menganggap baik perbuatan maksiat. Namun, bila hawa nafsu sudah menguasai hatinya maka dia akan menganggap baik, indah suatu maksiat yg sebelumnya faham atau dia anggap hina dan buruk. Sehingga, jadilah kemaksiatan itu menjadi sebuah kebaikan dalam jiwanya, padahal sebelumnya adalah sebuah keburukan, sebab hawa nafsu sudah menguasainya.
Maka, sebenarnya hukumnya wajib, bagi seseorang untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsunya dari dalam jiwanya. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآَثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)
“Adapun orang yg melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Maka sesungguhnya, nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang2 yg takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya, surgalah tempat tinggal(nya)”. (QS. An Nazi’at : 37-41)
Hati2lah dari menilai sesuatu hanya berdasarkan hawa nafsu kita. Boleh jadi ketika kita kendor dari mengekang hawa nafsu yg buruk dalam hati dan jiwa kita, bukan tidak mungkin kita terjerumus dalam sikap ‘menganggap baik’ suatu maksiat yg sebelumnya buruk di hati dan jiwa kita.
Ada filosofi yg sekiranya menjadi inspirasi, yakni “Kendalikan hawa nafsumu sebelum ia menghancurkanmu.” Kita tentu sepakat jadilah hamba Allah subhanahu wa ta’ala, bukan hambanya nafsu.
Mintalah agar Allah Subhana wa Ta’ala selalu menjaga hati kita di atas agama Nya. Yaa Muqollibal Quluub, Tsabbit Qolbi ‘ala Diinik.
Wallahu a’lam dan semoga bermanfaat
From various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
CHANNEL YOUTUBE SARINYALA
No responses yet