Sebuah kejutan bagi saya karena tiba-tiba yang berkenan hadir di Dialog Petang JTV adalah Ketua Wilayah Muhammadiyah Jatim, Dr. KH Sa’ad Ibrahim. Ini adalah tatap muka kedua saya dengan beliau, sekitar 6 tahun lalu kami diundang oleh Radio Suara Muslim Surabaya. Banyak ilmu yang saya peroleh dari beliau.
Kejutan kedua karena juga tiba-tiba ada guru saya, KH Pakna Majid Makki Nasir (Ketua PCNU Bangkalan sekaligus cicit syaikhona Kholil). Silaturahmi sering saya rajut, dan ini pertama kali di televisi.
Dr. Sa’ad Ibrahim diberi waktu pertama untuk bersikap perihal pelaksanaan Idul Adha. Beliau menyampaikan keputusan PP Muhammadiyah yang meniadakan Salat Idul Adha di masjid dan dilakukan di rumah masing-masing. Ibadah Qurban untuk tahun ini diserahkan kepada pengurus Muhammadiyah untuk dibungkus menjadi kornet.
Giliran saya disebut 2 lembaga, Komisi Fatwa MUI dan Ketua Aswaja NU Center PWNU Jatim. Saya menyampaikan dawuh KH Marzuqi Mustamar, Ketua PWNU Jatim, yang intinya sama dengan Surat Edaran Menteri Agama, bahwa pada zona merah dan yang membahayakan keselamatan untuk tidak melakukan Salat Id di masjid tapi di rumah. Namun jangan sampai Syiar Idul Adha ditiadakan semua. Maka di zona hijau tetap dilaksanakan Idul Adha, tentu dengan menjalankan protokol kesehatan.
Jika Muhammadiyah tahun ini meniadakan Salat Idul Adha secara keseluruhan bagi saya wajar, karena warga Persyarikatan Muhammadiyah berbasis di kota, dan hampir semua kota berada di zona merah. Sementara Nahdliyyin berada di mana-mana, termasuk di pedesaan yang tidak terjangkiti virus. Kedewasaan saudara-saudara kita di Muhammadiyah nyaris tidak terdengar suara “Mengapa umat Islam dilarang Salat Idul Adha? Mengapa umat Islam dihalangi masuk masjid?”.
Landasan para Kiai NU dengan mengambil rujukan dari para ulama, diantaranya:
(مسئلة) يجب منع الأبرص والمجذوم من الجماعة ومن مخالطة الناس سواء الإمام أو غيره ممن قدر على ذلك لأنه من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر اهـ
“Wajib hukumnya untuk melarang orang yang memiliki penyakit (menular) kusta dari salat jamaah dan berbaur dengan masyarakat. Baik dilakukan oleh pemerintah ataupun yang lain bagi yang mampu melakukannya. Hal ini bagian dari menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran” (Bashabrain, Itsmid al-‘Ainain 98)
(فصل ولا يجوز للجذماء مخالطة الأصحاء عموما ولا مخالطة أحد معين صحيح إلا بإذنه ، وعلى ولاة الأمور منعهم من مخالطة الأصحاء بأن يسكنوا في مكان مفرد لهم ونحو ذلك وإذا امتنع ولي الأمر من ذلك أو المجذوم أثم وإذا أصر على ترك الواجب مع علمه به فسق).
“Tidak boleh bagi orang yang punya penyakit (menular) kusta untuk berbaur dengan orang-orang sehat secara umum atau personal kecuali mendapat izin dari pihak yang berwenang. Bagi para pemimpin wajib melarang mereka berbaur dengan orang-orang sehat. Mereka ditempatkan di tempat tertentu (isolasi mandiri). Jika pemimpin dan orang yang sakit kusta diam maka berdosa. Jika mereka bersikukuh meninggalkan kewajiban tersebut padahal tahu maka fasiq (Manshur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Bairut: Dar al-Fikr, 1402 H, VI/126:)
Di statemen terakhir dari Dr. Windhu Purnomo dari Unair, bahwa ada optimis dan harapan kuat jumlah penderita Covid-19 akan menurun ketika para ulama di MUI, NU dan Muhammadiyah sepakat untuk menjaga keselamatan jiwa umat.
No responses yet