Cover buku sebagaimana dalam gambar adalah cover buku terjemahan ke dalam bahasa Arab, Mystical Dimensions of Islam yang dalam edisi Arabnya berjudul, al-Ab’âd al-Şûfîyah fi al-Islâm wa Târîkh al-Taşawwûf karya, seorang sarjana ahli Islam asal Jerman, Annemarie Schimmel. 

Dalam buku ini, taşawwûf (tasawuf) atau sufisme digambarkan sebagai “arus spiritual terbesar yang mengalir dalam semua agama, dan dalam arti yang lebih komprehensif, tasawuf dapat didefinisikan sebagai realisasi kebenaran mutlak, apakah kebenaran ini disebut “kebijaksanaan” (hikmah) atau “cahaya” (nûr) atau “cinta” (ishq) atau “ketiadaan” (‘adam). Nama-nama ini, setidaknya, hanyalah penanda dalam perjalanan, karena “tujuan” (al-ghâyah) para sufi adalah fakta yang tidak dapat dijelaskan, dan tidak mungkin untuk dipahami atau (tidak dapat) diungkapkan dengan persepsi dan metode biasa. (Tasawwûf) adalah pengalaman spiritual yang tidak ada hubungannya dengan pendekatan intelektual atau mental, dan itu adalah pengalaman yang dicari oleh para pejalan spiritual dalam pencariannya akan kebenaran hakiki seperti disebutkan di atas. Wahyu di mana Via illuminativa (melalui jalan iluminasi) dan pengetahuan esoterik (al-ma’rifah al-bâținîyah) yang hakiki hanya dilimpahkan (kepada pejalan rohani) setelah pemurnian diri yang lama, yang dalam mistisisme Kristen, disebut Via purgative (jalan pemurnian), yang setelah menempuh jalan pemurnian itu  kemudian dapat dicapai tahapan mistik tertinggi, yaitu, kesatuan  eksistensi ketuhanan (al-tawhid ma’a dhât ilâhîyah), Dhât Yang Maha Mutlak. Kesatuan Dhât Ilâhîyah  dapat diperoleh, dan didefinisikan oleh penyatuan cinta (bi ittihâd al-hubb) atau dengam penyaksian  eksistensi Ketuhanan (mushâdah al-dhât al-ilâhîyah)  ketika jiwa melihat segala sesuatu yang ada didukung oleh cahaya abadi Tuhan (binûrillâh sarmidî), dan dapat juga digambarkan sebagai “tersingkapnya selubung ketidaktahuan” (shaf hijâb al-jâhilîyah), selubung yang menghalangi kesatuan Tuhan dan makhluk. 

Tasawuf dapat didefinisikan sebagai “cinta mutlak” (hubb al-muțlaq). Dengan cinta ini, mistisisme sejati dibedakan dari ritual asketisme lainnya, dan cinta Tuhan membuat pejalan rohani menanggung semua rasa sakit dan malapetaka yang ditimpakan Tuhan dengan menguji cintanya dan menyucikannya. Sebaliknya, para pejalan rohani menikmatinya, dan cinta itu memungkinkan hati kekasih untuk berkomunikasi dengan “Hadirat Ilahi” seperti “elang yang membawa mangsanya jauh” dan membuatnya menghilang dari keberadaannya (fânâ).  

Seseorang dapat mendekati fenomena tasawuf dengan menggunakan beberapa metode, dan tampaknya tidak mungkin untuk menganalisis pengalaman sufi dengan sendirinya karena kata-kata tidak pernah dapat menyelidiki kedalaman pengalaman spiritual ini, bahkan analisis psikologis yang paling akurat pun memiliki keterbatasan mengenai hal itu. 

Sufisme lebih mudah dipahami dengan menganalisis strukturnya, dan sarjana Prancis Henri Corbin, dalam karya-karyanya tentang Ibn Arabî, telah menyatakan sejauh mana penelitian dapat mengarah pada struktur sistem filosofis Sufi.  Analisis bahasa tasawuf dan pengembangan “Kamus Sufi” (Louis Massinon dan yang lebih baru Paul Noya) dapat membantu untuk mengangkat tirai pada tahap pembentukan pemikiran sufi, termasuk simbol dan gambar yang digunakan, dianalisis, dan digunakan oleh penelitian para sufi dan bagaimana beberapa hal dan gambar tumpang tindih satu sama lain, sebagai pembuka jalan Studi-studi ini memimpin jalan ke penelitian lain tentang kontribusi tasawuf bagi perkembangan bahasa, sastra, dan seni Islam, dan karena tasawuf didasarkan pada prinsip rasa (dhawq), berbagai pendekatan pendidikan spiritual dan tarikat (țarîqah) yang dianut dalam tarekat sufi, tingkat kemajuan psikologis dan pembentukan jalan, dan pendekatan sosial dan budaya berperan membuka bidang penting dan bermanfaat untuk penelitian berkelanjutan. Dan apa yang layak disebutkan di sini adalah penelitian sarjana studi Islam Swiss Fürz Meyer. Posisi ulama dan orang Eropa terhadap fenomena “tasawuf Islam” bervariasi, kontak pertama dengan ide-ide sufi Islam pada Abad Pertengahan, pada abad XIX, banyak karya dan sumber sejarah tentang sejarah tasawuf dicetak, yang secara bertahap dipublikasikan sehingga memungkinkan para sarjana untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang awal mula dan perkembangan tasawuf Islam.  

Sejarah tasawuf Islam lebih seperti sebuah peta yang di atasnya beberapa situs jalan membimbing pembaruan penafsiran dengan penafsiran yang lebih mendalam dan lebih akurat, beberapa bentuk yang menjadi sarana pengungkapan dari masa ke masa, dan beberapa cara di mana para sufi, baik individu atau kelompok, mencari tujuannya, baik melalui pengetahuan atau melalui cinta, baik dengan mempertimbangkan asketisme atau melalui ritual hati nurani yang mengarah pada ketiadaan dari kehadiran. 

Hal inilah yang coba peneliti ungkapkan melalui buku ini, yang bertujuan untuk menjelaskan dimensi-dimensi sufi (al-ab’âd al-şûfîyah) dan sejarah tasawuf dalam Islam (tãrîkh taşawwûf fî al-islâm). Bekasi, 21/8/2021.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *