Sebenarnya sejak lama saya ingin menulis sedikit coretan tentang dayah di Aceh. Namun niat tersebut kadang-kadang timbul tenggelam, mengingat aktivitas lain yang harus diselesaikan. Tepatnya pada hari Rabu lalu, saya bersilaturahmi dengan Kepala Dinas Dayah Aceh H. Zahrol Fajri, S.Ag, MH. Dalam dialog yang berdurasi lebih kurang dua jam, kami berbincang banyak hal dengan beliau, di antaranya adalah; bagaimana Dayah Aceh mampu menjawab tantangan era kekinian atau zaman sekarang.
Sebagai Kadis Dayah, Bapak Zahrol Fajri atau yang akrab saya sapa dengan Ustad Zahrol, bukanlah orang baru dalam bidang dayah, karena sebelumnya beliau pernah dipercayakan sebagai Kadis Dayah Kota Banda Aceh pada awal dibentuk dinas dayah tersebut. Pertemuan silaturahmi saya dengan beliau, dalam rangka menyampaikan tentang berdirinya dayah yang kami pimpin di Jeumpet Ajun Aceh Besar dengan nama Dayah Terpadu Samudera Pasai yang berorientasi semangat keislaman dan Keacehan.
Berbicara tentang dayah di Aceh, tentu sudah sangat banyak, apalagi bila ditambah dengan balai-balai pengajian, yang semuanya memiliki tujuan mencerdaskan umat dalam bingkai keislaman. Diskusi kami sampai pada pembahasan bagaimana Dayah Samudera Pasai atau Dayah-Dayah lainnya yang ada di Aceh bisa maksimal mengambil peran dalam mencerdaskan umat, sehingga bisa menghasilkan lulusan yang mampu menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat dan sanggup menjawab tantangan zaman.
Ada beberapa poin catatan yang mengemuka dalam perbincangan kami, di antaranya adalah menyangkut kurikulum dayah yang sudah digagas oleh para ulama kita mulai dari masa Abu Hasan Krueng Kalee hingga kurikulum yang diterapkan di Dayah Darussalam Labuhan Haji Abuya Muda Waly Al Khalidi. Setelah dihitung jumlah kitab kurikulum sekitar 50 puluhan judul kitab pegangan, mulai dari kelas rendah Tajhizi, hingga sampai kelas tinggi Bustanul Muhaqqiqin.
Kitab-kitab kurikulum dayah umumnya ada yang berjilid-jilid, dan adapula yang tipis satu jilid. Dan mengenai kurikulum dayah, buku yang paling luas membahasnya setau kami adalah karya Prof Mahmud Yunus, dimana beliau mengkaji sejarah dan kitab-kitab kurikulum pesantren yang diterapkan di seluruh Indonesia, mulai dari Dayah/pesantren di Aceh hingga pesantren yang berada di Sumatera Barat, Palembang, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, beliau bahas semua. Dan sejauh amatan, belum ada karya yang membahas kurikulum seluas tulisan beliau, tentu tidak mengherankan, karena Prof Mahmud Yunus merupakan ulama pendidik yang ahli, dan beliau juga murid dari Syekh Muhammad Thaib Sungayang yang tersambung sanad dengan Syekh Ahmad Khatib yang dikenal dengan pikiran moderatnya.
Kitab-kitab yang telah diterapkan dalam standar kurikulum dayah, tentunya diharapkan mampu dipahami oleh para peserta didik/santri dalam tempo yang singkat dan waktu yang tidak terlalu lama. Contohnya Teungku Syekh Muda Waly, beliau belajar dalam masa yang relatif singkat, belajar kepada beberapa ulama seperti Abu Syech Mud Blangpidie, Abu Muhammad Ali Lampisang, namun telah mengantarkan beliau menjadi seorang alim yang memiliki sanad keilmuan yang sangat mumpuni, dan bahkan masa beliau melaksanakan haji sekitar 1 tahun, beliau bisa memperoleh ijazah kitab Asybah Wan Nazair dan sanad keilmuan dari Syekh Muhammad Ali Al Maliki yang masih guru dari Syekh Muhammad Yasin Padang musnidul ashr.
Hal yang sama juga berlaku pada para ulama kita lainnya seperti Abu Hasan Kruengkalee yang belajar di Yan Kedah Malaysia kepada Teungku Chik Arsyad dalam beberapa tahun, kemudian melanjutkan ke Mekkah dalam waktu yang relatif singkat, namun telah mengantarkan beliau menjadi alim yang rasikh ilmunya.
Bahkan para ulama segenerasi Abu Kruengkalee umumnya mendirikan dayah dalam usia kurang dari tiga puluh tahun seperti Abu Cot Kuta, Teungku Meunasah Meucap, Teungku Hasbi Siddieqy yang memperoleh ijazah dari Abu Idris Tanjungan dalam usia 25 tahun, dan para ulama lainnya. Jadi poin pertama ialah bagaimana dalam waktu yang singkat, namun lulusan dayah mampu memahami kitab-kitab standar kurikulum yang telah ditetapkan dengan pemahaman yang mendalam, sehingga sampai pada target pencapaian dari visi dan misi Dayah Aceh yang mampu bersaing secara nasional dan global.
Catatan lainnya ialah para santri dayah Aceh hendaknya memiliki daya saing yang global ialah dengan mendalami Al Qur’an secara baik, hafalan yang berupa tahfidh, maupun ilmu-ilmu pendukung seperti Ulumul Qur’an maupun Ulumul Hadits yang terkesan sedikit dikaji di tempat kita.
Catatan lainnya bagi para santri hendaknya memiliki life skill atau keahlian khusus. Karena dahulu para ulama kita memiliki terobosan dalam hal ini. Sebagai contoh Teungku Abdul Wahab Kenaloi pendiri Dayah Najdiyah yang merupakan murid khusus dari Teungku Chik Jakfar Lamjabat adalah seorang yang ahli dalam menjahit pakaian. Juga demikian dengan Teungku Syekh Ibrahim Lamnga pendiri JADAM Jamiah Diniyah Al Montasikiah murid utama dari Teungku Chik Abbas Lambirah juga seorang yang memiliki ide-ide yang melampaui zamannya seperti yang diutarakan oleh Prof Ali Hasjmi dalam bukunya.
Catatan lainnya, bagi dayah yang berada di daerah tertentu, seperti berada di daerah ‘neuheun’ atau perikanan, maka para santri sejatinya dibekali ilmu mengenai pengolahan ikan. Begitu pula dayah yang berada di kawasan kelapa sawit, maka santri diharapkan mampu dan memahami pengelolaan kelapa sawit secara baik sehingga kalau pun tidak semuanya menjadi ulama, maka mereka memiliki skil dan keahlian khusus yang bisa dikembangkan ketika berada dalam masyarakatnya kelak.
Harapan kita dari berbagai dayah di Aceh dengan berbagai model pembelajaran, semuanya bertekad ingin melahirkan para lulusan yang berilmu mendalam, beraklakh mulia, memahami Al Qur’an secara baik, rasikh dalam memahami kitab kuning, serta bisa menjadi oase di tengah masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan, baik keummatan maupun kebangsaan. Semoga!.
Nb. Silaturahmi Pimpinan Dayah Terpadu Samudera Pasai dengan Kepala Dinas Dayah Aceh, Banda Aceh 24-02-2021.
No responses yet