Diantara kebahagian saya adalah mendapatkan karya ulama Nusantara masa dahulu yang sudah tidak diterbitkan lagi, terlebih karya tersebut adalah tulisan dari buyut saya yaitu Syaikh Muhammad Zain Batubara. Saya mengucapkan ribuan terima kasih kepada Ustadz Abdul Razak Abdul Rahman, seorang ustadz asal Kuala Lumpur yang menjadi kolektor karya-karya silam ulama Nusantara terutama masyarakat Melayu dan juga sebagai pendiri Pustaka Jawi Al-Qedahi (PJAQ). Bagi peminat naskah dan kitab ulama Nusantara dapat mengunjungi halaman facebook miliknya. Beliau baru saja memberikan saya sebuah kitab langka karya ulama Batubara di atas yang berjudul “Thariqah al-Muhammadiyah.” Karya ini tergolong langka, sebab karya ini tidak pernah masuk dalam daftar nama kitab karya Syaikh Muhammad Zain.

Berawal dari kontak saya dengan Ustadz Abdul Razak Abdul Rahman seperti biasanya melalui media Whatsapp dan Facebook, pada hari ini Ahad, 13 April 2020 M/ 19 Sya’ban 1441 H, beliau memberikan informasi kepada saya bahwa ada karya Syaikh Muhammad Zain dalam koleksinya dan langsung mengirim cover kitab tersebut. Dalam beberapa jam berikutnya, ia mengirim saya kitab tersebut yang merupakan hasil scan dalam beberapa jam tersebut. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada beliau. الحمد لله الذى بنعمته تتم الصالحات. 

Ada dua kitab yang tidak dikenal sebagai karya Syaikh Muhammad Zain; satu kitab adalah ini dan yang lainnya adalah sebuah karya yang masih berbentuk manuskrip berjudul Martabat Ulama Imam Yang Mujtahidin yang diselesaikannya di Mekkah yang saat itu masih menjadi mahasantri di universitas halaqah Masjid al-Haram. 

Tahun 2015, saya menulis buku tentang biografi Syaikh Muhammad Zain Batubara yang berjudul Syaikh Muhammad Zain: Sebuah Biografi dan Kontribusi Pendidikan Islam di Wilayah Batubara (Usuluddin-Fiqih-Tasawuf) yang merupakan karya pertama saya yang ditulis sendiri. Buku ini selesai ditulis selama kurang lebih satu tahun setelah mengumpulkan bahan-bahan tertulis berupa karya tulisnya, catatan pribadi, dan surat menyurat ia kepada guru dan ulama sezaman, dan juga hasil wawancara kepada beberapa anak dan muridnya yang masih hidup saat itu.

Dalam buku itu, karya yang sudah diketahui berjumlah empat kitab: 1) Qathar Laban fi ‘Aqa’id al-Iman (setitik air susu dalam akidah keimanan), 2) Fawa’id az-Zain ‘Ilm al-‘Aqa’id Usuluddin (beberapa manfaat dalam ilmu akidah), 3) Majmu’ Musytamil ‘ala Jumlah Tsalatsah Rasa’il (kumpulan yang tergabung dalam tiga risalah pendek), dan 4) Miftah al-Shibyan fi ‘Aqa’id al-Iman (kunci bagi anak-anak dalam memahami akidah keimanan). Empat karya tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:

  • Qathar Laban fi ‘Aqa’id al-Iman (penerbit Imaballo Medan, 24 Ramadan 1338 H). Kitab ini adalah kitab dasar dalam pembahasan sifat 20 yang isinya hanya memuat 37 halaman. Karya ini ditulis karena kesulitan mengajarkan ilmu tauhid kepada isterinya yang bernama Kemala Intan yang berubah panggilan menjadi Hajjah Fatimah binti Haji Muhammad Thayib Ades yang bersama berangkat haji dengannya dan mertuanya pada tahun 1320 H/ 1902 M. 
  • Fawa’id az-Zain ‘Ilm al-‘Aqa’id Usuluddin (penerbit Mathba’ah al-Taqaddum al-Ilmiyah di Mesir, 7 Rabiul Awal 1342 H). Kitab ini masih berbicara tentang tauhid yang lengkap dan lebih mendalam, sebagai penjelasan atas kitab Umm al-Barahin karya Imam Sanusi al-Maliki. Kitab ini diajarkan kepada para muridnya yang lebih khusus. 
  • Majmu’ Musytamil ‘ala Jumlah Tsalatsah Rasa’il (penerbit United Press Penang, 14 Ramadan 1354 H). Kitab ini terdiri dari tiga risalah pendek tentang amaliyah, sanad keilmuan dan fatwa penulis). Dalam pengamatan penulis, ulama Sumatera Utara generasi beliau yang menuliskan sanad keilmuannya dalam karya tulis adalah Syaikh Muhammad Zain. 
  • Miftah al-Shibyan fi ‘Aqa’id al-Iman (penerbit Imaballo Medan, 11 Shafar 1366 H). Kitab ini juga masih berbicara tentang ilmu tauhid, tetapi diperuntukkan bagi masyarakat umum. Karena ini karya terakhir, ia menulis semua sanad keilmuan bidang ilmu tauhid yang diperolehnya selama menuntut ilu dari ayah dan para gurunya di Mekkah dalam kitab ini.

Baru, setelah setahun penerbitan buku biografi ini, saya memperoleh satu naskah karya Syaikh Muhammad Zain ini kepada seorang ustadz Ja’far asal Desa Lalang juga. Beliau merupakan orang yang pertama menulis dan memperkenalkan biografi ulama Batubara ini dalam sebuah majalah pada saat itu. Berkaitan dengan nama ulama Batubara ini, ada yang mengenalnya dengan Syaikh Muhammad Zain Batubara, Syaikh Muhammad Zain Indrapura dan Syaikh Muhammad Zain Tasak. Semua yang disebutkan adalah benar. Namanya sebelum melakukan ibadah haji pada tahun 1320 H adalah Nuruddin yang diubah menjadi Haji Muhammad Zain. 

Dalam semua tulisannya ia menuliskan lengkap namanya Haji Muhammad Zain Nuruddin bin Imam Abbas al-Khalidi al-Naqsyabandi Batubara Pesisir Dahari bin Haji Muhammad Lashub bin Haji Abdul Karim bin Tuan Fakih Payakumbuh. Ia lahir di sebuah desa bernama Dahari kedatukan Pesisir yang berada di wilayah Batubara. Sebagian muridnya memanggilnya dengan Syaikh Muhammad Zain Inderapura, karena kurang lebih di atas tahun 1354 H/ 1935 M ia hijrah dari kedatukan Pesisir ke kedatukan Inderapura karena ada sebabnya. Sementara ia dikenal dengan Syaikh Muhammad Zain Tasak, karena tempat berdomisinya sekarang yang bernama Kampung Muallim Desa Lalang dulu dikenal dengan Desa Tasak yang secara pemerintahan berada di bawah kekuasaan kedatukan Inderapura. 

Terkait dengan kitab Thariqah al-Muhammadiyah ini (penerbit United Press Penang, 19 Syawal 1355 H) yang secara khusus ditulis tentang amaliyah zikir yang diamalkannya. Naskah ini kemungkinan diberikan kepada muridnya, Syaikh Ahmad Bakri Batubara yang juga belajar ke Mekkah dan berguru kepada ulama, diantaranya Syaikh Abdul Qadir Muthalib Mandailing. Kemudian naskah tersebut diberikan izin mencetaknya kepada junior beliau, Syaikh Syamsuddin bin Haji Muhammad Thayib Inderapura yang pernah menjadi kadi Inderapura.

Kedekatannya Syaikh Muhammad Zain dengan juniornya ini dibuktikan dengan kedua anak dari masing-masing disatukan dalam pernikahan. Ia selesai menulis kitab ini pada masa kerajaan Inderapura yang saat itu rajanya bernama Tengku Abdul Shamad yang bergelar Tengku Busu Basteur Inderapura bin Tengku Sutan Muda Sri Maharaja bin Tengku Sutan Tua yang bersemayang di kota Darussalam

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *