Sebagai sebuah perkampungan keagamaan Islam yang distigmatisasikan sebagai desa santri, Desa Kajen kini sudah mengalami perkembangan intelektualitas yang cukup mengagumkan. Masyarakatnya tidak hanya kaum agraris tradisional (Kiai,santri dan masyarakat desa), akan tetapi juga para cendekiawan yang berpikir konstruktif dan transformatif. Fenomena yang muncul tersebut sebagai sebuah konskuensi sebagian dari proses pencerahan generasi penerus Syaikh Ahmad Mutamakkin.

Kondisi ini seakan memberikan proposisi awal bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiah manusia untuk berbakti dan memuja Tuhan ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula.

Salah satu penyaluran itu adalah bagaimana percikan-percikan pemikiran atau bacaan atas perjuangan beliau dan penerusnya. Adalah perjuangan ketiga tokoh yang hidup pada zaman yang berbeda, misalnya. Meskipun mereka menghadapi situasi sosio-keagamaan yang berbeda, namun setidaknya mereka mempunyai kesamaan dalam menghadapi dua problematika: Pertama, yang berasal dari dalam (internal): Problem dari dalam ini berupa kebutuhan untuk melakukan penyucian jiwa dan penepisan hawa nafsu.

Dalam hal ini, seseorang tentu melakukan berbagai latihan-latihan (riyadloh) guna tercapainya suatu maqam tertentu dan pada tataran praktis mampu untuk memahami rahasia-rahasia hidup dan agama. Kedua, yang berasal dari luar (eksternal), problem dari luar ini berupa hegemoni dan penetrasi kerajaan ataupun kolonial, pluralitas agama, hegemoni wacana dan Budaya Barat.

Problem yang kedua ini tentu saja menuntut agamawan melakukan reinterprestasi bahkan meminjam istilah Mohammad Arkoun dekonstruksirekonstruksi akibat dari persinggungan kelompok masyarakat yang telah terakumulasi dengan berbagai budaya terlebih datangnya kolonialis dan diskursus modernitas. Persinggungan ini pada akhirnya akan melahirkan corak pemikiran baru dan garis perjuangan yang tetap berpijak kepada khazanah lama, tapi kritis dan apresiatif terhadap berbagai interpretasi baru dan gerakan kontemporer tapi selekif. Al muhafadzah ala qadimis shalih, wal akhdu bi jadidil mashalih.

Kedua problem di atas bisa jadi merupakan sisi perjuangan yang dilakukan oleh ketiga tokoh dalam buku ini. Hal ini dapat disimak bagaimana perjuangan Syaikh KH. Ahmad Mutamakkin menghadapi Kerajaan Kertasuro, bagaimana KH. Siroj menghadapi penetrasi Belanda dan bagaimana KH. Baedlowie menghadapi fasis militer Jepang serta bagaimana mereka menempa jiwanya dalam rangka mencari ilmu dan mencari keridlaan Allah swt. Belum lagi bagaimana mereka harus menghadapi persoalan pemahaman keagamaan yang membutuhkan reinterpretasi sesuai dengan zamannya masing-masing.

Perjuangannya adalah sebuah respon self critiscm terhadap keberagamaan dan kemasyarakatan yang terkadang menimbulkan reaksi balik dari kelangan kiai/ulama yang lain. Ini menunjukkan betapa upaya reinterpretasi apalagi rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran agama sangat berat dilakukan walaupun datang dari dalam sendiri. Namun demikian, upaya reinterpretasi dan rekonstruksi tetap perlu dilakukan demi eksistensinya di masa depan.

Fenomena desa Kajen sebagai pusat perkembangan Islam di wilayah Pati mematahkan sementara teori marxis. Teori marxis memang mengakui kompleksitas unsur-unsur penyangga bangunan masyarakat dengan konsep infrastruktur dan superstruktursuperstrukturnya. Akan tetapi, teori terebut cenderung menempatkan superstruktur seperti agama, politik, hukum dan seni, sebagai lapisan permukaan yang keberadaan sepenuhnya ditentukan oleh tata ekonomi yang menjadi infrastrukturnya.

Sehingga pemahaman terhadapnya dapat direduksi pada batas tata ekonomi itu saja. Karnanya, Teori Bourdieu menawarkan konsep Habitus untuk di satu pihak menolak determinasi penuh dari struktur dan menolak pula pilihan bebas dari individu sebagai agen saja. Habitus adalah disposisi yang dimiliki oleh individu untuk melakukan persepsi dan respon dengan cara-cara tertentu terhadap lingkungan sekitarnya.

Disposisi itu bersifat sosial karena merupakan kemampuan yang ditanamkan oleh lingkungan sosial dan individu yang bersangkutan, ditanamkan ke dalam diri individu itu dari sejak kecil di lingkungan kelompoknya maupun di lingkungan kelompok sasaran yang lain.

Karena merupakan hasil proses sosial, habitus itu dimungkinkan distruktur atau terstrukturkan. Karena kehidupan sosial merupakan medan pertautan antar entitas setiap anggota masyarakat, kelompok sosial, untuk meningkatkan dan mempertahankan posisinya, baik dalam hal penguasaan modal ekonomi, modal simbolik, maupun modal kultural. Dalam pertautan yang kadang berbentuk perebutan itu, tingkat kekuatan anggota masyarakat tersebut amat ditentukan oleh habitus mereka masingmasing.

Kerangka teoritis Bourdieu ini dapat dipakai untuk pembacaan atas pengaruh ketiga tokoh dalam buku ini. Kepemilikan terhadap tempat pembelajaran keagamaan/pesantren dapat dikata modal ekonomi, sementara pernguasaan atas ilmu agama dan ilmu hikmah serta cara tranformasinya dapat dikata modal kultural. Sedangkan faktor keturunan ataupun kekerabatan dengan tokoh-tokoh lainnya dapat dikategorikan modal simbolik.

Habitus Syaikh KH. Ahmad Mutamakkin, KH. Siroj, dan KH. Baedlowi memungkinkan untuk berkiprah mewarnai perjuangan mereka. Nampaknya, para penerus Syakh KH. Ahmad Mutamakkin kini juga berupaya untuk menjaga dan merebut habitus itu.

Tarik menarik habitus terkadang tak dapat dibendung lagi hingga mengakibatkan merosotnya habitus itu sendiri. Apalagi keturunan Syekh Mutamakkin tidak hanya KH. Siroj dan KH. Baedlowie dan bahkan kini semakin meluas percabangan silsilah. Dan pada tingkatan praksis, kadang memunculkan eksklusifitas yang berlebihan (untuk tidak mengatakan egoism sejarah) atas habitus yang dimiliki.

Akan tetapi bervariannya dan makin menyebarnya habitus sampai kadang mengalami tabrakan habitus, bisa jadi memunculkan corak baru yang lebih kondusif dengan perubahan zaman dan tuntutan diskursus modernitas yang marak dengan sisi humanisasi, liberasi, otonomi dan egalitarian. Dan apa yang diharapkan sementara orang tentang civil society dalam kerangka demokrasi akan semakin terwujud jika otoritas habitus tidak terpusat pada satu orang.

Kiranya, dengan kehadiran buku ini tidak menjadi ajang penguatan suatu habitus kelompok tertentu. Apalagi di era sekarang, habitus itu harus diuji dengan apa yang diistilahkan Fit and proper test oleh masyarakat setempat. Akankah habitus itu hanya menjadi Menara gading? Itu juga tergantung responsnya terhadap gejala masyarakat dan perkembangan zaman.

Buku kecil yang ada di tangan pembaca ini dikonsentrasikan pada sejarah Pondok Kajen Wetan Banon (Salafiyah) dan kedua tokoh pendirinya KH. Siroj dan putranya KH. Baedlowie dengan mengemukakan kondisi desa Kajen serta tokoh legendarisnya, yaitu Syaikh KH. Ahmad Mutamakkin. Tentu saja, bukan berarti penerus Syekh Ahmad Mutamakkin hanya ada kedua tokoh dalam buku ini, akan tetapi banyak sekali yang juga berpengaruh di Kajen pada masa mereka.

Tak lain, kehadiran buku ini untuk memperkaya khazanah intelektual dan referensi kesejarahan. Apa yang dikatakan ibnu Maskawih merupakan pertimbangan penulis, “Sejarah bukanlah kumpulan yang terpisah dan statis, tetapi merupakan proses kreatif dinamis harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi manusia. Ia adalah oraganisme yang hidup dan tumbuh, yang strukturnya ditentukan oleh cita-cita dasar serta cita-cita kemasyarakatan dan negara. Ia tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah menentukan bentuk sesuatu yang akan ada.”

Maka, sejarah Pondok Wetan Banon beserta sketsa biografi Syekh KH. Ahmad Mutamakkin, KH. Siroj dan putranya KH. Baedlowie pun tidak hanya terukir dari fakta-fakta yang hampa namun niat yang ikhlas dan cita-cita luhur telah mengukirnya untuk mendapatkan ridlo Ilahi. Atas tersusunnya buku ini, tidak terlepas dari pihak-pihak yang memberikan informasi dan dukungan yang positif bagi penulis. Dapat disebut di sini, KHM. Faqihuddin, KH. Ali Ajib (alm), KH. Abdul Wahab (Alm), KH. Afif Daenuri, KH. Umar Syarif (alm), KHM. Muhibbi Hamzawie, KH. Hadziq Siroj, K. Masruhin dan beberapa sesepuh lainnya.

Juga K. Husain Jabar, H. Zawawi, Bpk. Sholihul Hadi, K.Asmu’i dan para Asatidz Madrasah Salafiyah lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu. Kepada mereka, penulis sungkem dan haturkan terima kasih. Tak lupa, dumateng Mas Ulil Albab, Ka’ Ubaidillah, Mas Kafi, Mas Ashabuddin, Masfu’ dan generasi-generasi muda lainnya yang dengan vibrasi dan integritas tinggi meneruskan estafeta perjuangan leluhur. Dan buat rekan-rekan seperjuangan yang dengan loyalitas tinggi memberikan semangat atas tersusunnya buku ini.

Syukron katsiron. Semoga apa yang kita lakukan, ada manfaatnya dan mendapatkan ridlo Allah swt.

Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thariq

Wassalam

Kajen, 6 Maret 2001 10 Dzulhijjah 1421

Zainul Milal Bizawie

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *